Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Konflik Bersenjata, Jangan Korbankan Masyarakat Sipil

JDP Minta Presiden Diminta Mulai Langkah Dialog, LBH  Dorong Gunakan Pendekatan Humanis

JAYAPURA – Rentetan peristiwa terjadi di beberapa wilayah di Papua sepanjang Desember tahun 2022. Mulai dari pembantaian tukang ojek di Pegunungan Bintang, penembakan karyawan Bank Papua di Sinak, kontak tembak yang menewaskan warga sipil di Yapen dam beberapa peristiwa lainnya.

 Terkait dengan peristiwa itu, Jaringan Damai Papua (JDP) menyerukan para pihak yang terlibat konflik, baik TNI-Polri maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) untuk segera menempuh jalan damai berbentuk dialog dan atau perundingan, guna menyudahi konflik bersenjata di seluruh tanah Papua.

“Langkah mengangkat senjata dan saling tembak menembak diantara mereka sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan mengenai situasi saat ini, maupun masa depan tanah Papua,” tegas Juru Bicara JDP  Yan Christian Warrinusy, SH kepada Cenderawasih Pos, Kamis (15/12)

Yan menyerukan agar Presiden Republik Indonesia Joko Widodo segera mempertimbangkan untuk memulai langkah dialog dengan para pihak yang terlibat konflik bersenjata di seluruh tanah Papua.

“Presiden dalam kapasitasnya selaku Panglima TNI dan petinggi Polri dapat menginisiasi disediakannya ruang sipil  bagi para warga masyarakat di sekitar wilayah konflik. Rakyat sipil mesti diberikan ruang untuk memperoleh akses terhadap layanan kesehatan, layanan pendidikan dan layanan sosial yang diperlukan,” pintanya.

JDP sendiri kata Yang telah menerima laporan tentang terjadinya tindakan penembakan terhadap seorang warga sipil bernama Darius Yumame pegawai Bank Papua Kantor Kas Sinak, Distrik Sinak, Kabupaten Puncak yang ditembak di pasar tradisional Sinak, kampung Gigobak, Selasa (13/12).

  Juga penembakan terhadap seorang warga sipil atas nama Yeferson Sayori di pertigaan Saubeba, Kampung Tindaret, Distrik Yapen Utara, Kabupaten Kepulauan Yapen.

  Kesemua kejadian ini, menurut pandangan JDP merupakan akibat dari pilihan model pendekatan kekerasan bersenjata yang sama sekali tidak memiliki efek damai. Sehingga pilihan jalan damai sudah semestinya dipertimbangkan oleh para pemimpin pihak yang bertikai tersebut.

“Presiden selaku Kepala Negara menurut JDP sudah saatnya mengambil langkah mula dalam mendorong diakhirinya konflik bersenjata yang sudah terjadi dan berlangsung berulang kali selama lebih dari 50 tahun terkahir ini,” tegasnya.

Menurut JDP, Presiden juga dapat mengambil keputusan tegas untuk menarik seluruh pasukan non organik TNI-Polri dari tanah Papua demi kepentingan membangun perdamaian dengan mengedepankan cara persuasif melalui satuan-satuan organik yang sudah ada.

Baca Juga :  Kapolda : Sebby Jangan Terus Lakukan Pembohongan Publik

“JDP menyerukan kepada para pemimpin TPN PB untuk ikut memiliki kemauan baik dalam mengakhiri konflik bersenjata demi kedamaian dan keselamatan rakyat Papua di atas tanah airnya sendiri,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay menyerukan TNI-Porlri dan TPN-PB  wajib mematuhi prinsip-prinsip konvensi jenewa 1949 demi melindungi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata di Papua.

LBH meminta Presiden segera mengunakan pengalaman di Aceh Atau Timor-timor untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua demi menghentikan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang mengorbankan masyarakat sipil.

Emanuel memaparkan, sesuai dengan hasil penelitian tim kajian Papua LIPI ditemukan ada 4 persoalan besar yang kerap menjadi pemicu konflik di Papua yang disebut dengan Papua Road Map.

Adapun permasalahan pertama masalah marginalisasi dan diskriminasi. Permasalah kedua, kegagalan pembangunan di berbagai aspek. Permasalahan ketiga, kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua dan permasalahan HAM  yang mendasar di Papua.

“Dari keempat akar persoalan itu, sudah banyak kebijakan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan di tanah Papua. Namun semuanya mubasir alias menabur garam ke dalam air laut,” tuturnya.

Dengan melihat fakta konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua,  sehingga sudah sewajibnya para pihak yang menjadi peserta agung (istilah konflik bersenjata dalam Konvensi jenewa) yang bertikai mengedepankan prinsip-prinsi Konvensi Jenewa 1949.

Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2018 sampai 2022 konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB terus terjadi awalnya dari satu kabupaten terus merambah ke beberapa kabupaten dalam dua Provinsi Papua.

Dalam konflik bersenjata antara kedua pihak selama ini telah melahirkan banyak sekali peristiwa yang memilukan pada masyarakat sipil baik Papua maupun non Papua yang berada di wilayah konflik bersenjata.

Berdasarkan kasus yang ditemukan secara garis besar terbagi kedalam 2 bentuk kasus yaitu kasus pembunuhan atau penembakan yang dilakukan oleh TNI-Polri terhadap masyarakat sipil Orang Asli Papua dan atau TPN-PB terhadap masyarakat sipil non OAP juga kasus pengungsian yang dialami oleh masyarakat sipil yang berada di sekitar konflik bersenjata sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan Kabupaten Yapen Waropen (Desember 2022).

“Apabila kedua pihak dalam konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua mengedepankan prinsp-prinsip dalam Konvensi Jenewa 1949, tentunya tidak akan ada banyak masyarakat sipil baik Papua maupun Non Papua yang menjadi korban. Sebab pada prinsipnya ketentuan terkait perlindungan hukum terhadap masyarakat sipil dalam daerah konflik bersenjata secara tegas diatur pada Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa tahun 1949,” tuturnya.

Baca Juga :  Pemprov Papua Komitmen Tingkatkan PAD Daerah

Menurutnya, apabila Pemerintah Pusat yang sudah mengetahui salah satu akar persoalan di Papua adalah kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua sesuai hasil penelitian LIPI dan memilih alternative peyelesaian persoalan politik mengunakan pendekatan penyelesaian politik yang pernah dipraktekan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh pada tahun 2000 atau antara Pemerintah Pusat dengan Timor-Timur pada tahun 1999 yang pasti tidak akan ada cerita konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN –PB di Papua yang terus melahirkan peristiwa memilukan pada masyarakat sipil baik Papua maupun non Papua yang berada di tengah wilayah konflik bersenjata.

“Berdasarkan fakta pemerintah pusat yang tidak mau mengunakan pengalaman penyelesaian persoalan politik kasus Aceh dan kasus Timor-Timor dalam kasus Papua, justru memilih pendekatan keamanan yang memicu terjadinya konflik bersenjata di Papua yang  melahirkan kasus pelanggaran HAM dan penggungsian secara langsung menunjukan ketidaktaatan pihak TNI-Polri dan pihak TPN-PB dalam menjalankan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 khususnya dalam melindungi masyarakat sipil yang berada di sekitar atau di tengah-tengah Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN –PB di tanah Papua,” tuturnya.

Diharapkan TNI-Polri dan pihak TPN-PB dapat menjalankan kebijakan perlindungan bagi masyarakat sipil yang berada dalam wilayah konflik bersenjata sesuai dengan perintah Pasal 3 angka 1, Konvensi Jenewa 1949 agar dapat tercipta perlindungan HAM milik masyarakat sipil bagi Papua maupun Non Papua dalam konflik bersenjata yang sedang terjadi.

LBH menegaskan kepada presiden segera mengunakan pengalaman di aceh atau Timor-timor untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua demi menghentikan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang mengorbankan masyarakat sipil.

TNI-Polri dan TPN-PB sebagai para peserta agung konflik bersenjata di Papua segera menaati dan menjalankan prinsip-prinsip konvensi jenewa 1949.

TNI-Polri dan TPN-PB wajib melindungi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata di Papua sesuai perintah pasal 3 angka 1, konvensi jenewa 1949. Palang Merah Indonesia segera menangani penggungsi akibat konflik bersenjata di Papua sesuai perintah pasal 10, PP nomor 7 tahun 2019 junto undang-undang nomor 1 tahun 2018. (fia/rel)

JDP Minta Presiden Diminta Mulai Langkah Dialog, LBH  Dorong Gunakan Pendekatan Humanis

JAYAPURA – Rentetan peristiwa terjadi di beberapa wilayah di Papua sepanjang Desember tahun 2022. Mulai dari pembantaian tukang ojek di Pegunungan Bintang, penembakan karyawan Bank Papua di Sinak, kontak tembak yang menewaskan warga sipil di Yapen dam beberapa peristiwa lainnya.

 Terkait dengan peristiwa itu, Jaringan Damai Papua (JDP) menyerukan para pihak yang terlibat konflik, baik TNI-Polri maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) untuk segera menempuh jalan damai berbentuk dialog dan atau perundingan, guna menyudahi konflik bersenjata di seluruh tanah Papua.

“Langkah mengangkat senjata dan saling tembak menembak diantara mereka sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan mengenai situasi saat ini, maupun masa depan tanah Papua,” tegas Juru Bicara JDP  Yan Christian Warrinusy, SH kepada Cenderawasih Pos, Kamis (15/12)

Yan menyerukan agar Presiden Republik Indonesia Joko Widodo segera mempertimbangkan untuk memulai langkah dialog dengan para pihak yang terlibat konflik bersenjata di seluruh tanah Papua.

“Presiden dalam kapasitasnya selaku Panglima TNI dan petinggi Polri dapat menginisiasi disediakannya ruang sipil  bagi para warga masyarakat di sekitar wilayah konflik. Rakyat sipil mesti diberikan ruang untuk memperoleh akses terhadap layanan kesehatan, layanan pendidikan dan layanan sosial yang diperlukan,” pintanya.

JDP sendiri kata Yang telah menerima laporan tentang terjadinya tindakan penembakan terhadap seorang warga sipil bernama Darius Yumame pegawai Bank Papua Kantor Kas Sinak, Distrik Sinak, Kabupaten Puncak yang ditembak di pasar tradisional Sinak, kampung Gigobak, Selasa (13/12).

  Juga penembakan terhadap seorang warga sipil atas nama Yeferson Sayori di pertigaan Saubeba, Kampung Tindaret, Distrik Yapen Utara, Kabupaten Kepulauan Yapen.

  Kesemua kejadian ini, menurut pandangan JDP merupakan akibat dari pilihan model pendekatan kekerasan bersenjata yang sama sekali tidak memiliki efek damai. Sehingga pilihan jalan damai sudah semestinya dipertimbangkan oleh para pemimpin pihak yang bertikai tersebut.

“Presiden selaku Kepala Negara menurut JDP sudah saatnya mengambil langkah mula dalam mendorong diakhirinya konflik bersenjata yang sudah terjadi dan berlangsung berulang kali selama lebih dari 50 tahun terkahir ini,” tegasnya.

Menurut JDP, Presiden juga dapat mengambil keputusan tegas untuk menarik seluruh pasukan non organik TNI-Polri dari tanah Papua demi kepentingan membangun perdamaian dengan mengedepankan cara persuasif melalui satuan-satuan organik yang sudah ada.

Baca Juga :  Kapolda : Sebby Jangan Terus Lakukan Pembohongan Publik

“JDP menyerukan kepada para pemimpin TPN PB untuk ikut memiliki kemauan baik dalam mengakhiri konflik bersenjata demi kedamaian dan keselamatan rakyat Papua di atas tanah airnya sendiri,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay menyerukan TNI-Porlri dan TPN-PB  wajib mematuhi prinsip-prinsip konvensi jenewa 1949 demi melindungi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata di Papua.

LBH meminta Presiden segera mengunakan pengalaman di Aceh Atau Timor-timor untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua demi menghentikan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang mengorbankan masyarakat sipil.

Emanuel memaparkan, sesuai dengan hasil penelitian tim kajian Papua LIPI ditemukan ada 4 persoalan besar yang kerap menjadi pemicu konflik di Papua yang disebut dengan Papua Road Map.

Adapun permasalahan pertama masalah marginalisasi dan diskriminasi. Permasalah kedua, kegagalan pembangunan di berbagai aspek. Permasalahan ketiga, kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua dan permasalahan HAM  yang mendasar di Papua.

“Dari keempat akar persoalan itu, sudah banyak kebijakan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan di tanah Papua. Namun semuanya mubasir alias menabur garam ke dalam air laut,” tuturnya.

Dengan melihat fakta konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua,  sehingga sudah sewajibnya para pihak yang menjadi peserta agung (istilah konflik bersenjata dalam Konvensi jenewa) yang bertikai mengedepankan prinsip-prinsi Konvensi Jenewa 1949.

Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2018 sampai 2022 konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB terus terjadi awalnya dari satu kabupaten terus merambah ke beberapa kabupaten dalam dua Provinsi Papua.

Dalam konflik bersenjata antara kedua pihak selama ini telah melahirkan banyak sekali peristiwa yang memilukan pada masyarakat sipil baik Papua maupun non Papua yang berada di wilayah konflik bersenjata.

Berdasarkan kasus yang ditemukan secara garis besar terbagi kedalam 2 bentuk kasus yaitu kasus pembunuhan atau penembakan yang dilakukan oleh TNI-Polri terhadap masyarakat sipil Orang Asli Papua dan atau TPN-PB terhadap masyarakat sipil non OAP juga kasus pengungsian yang dialami oleh masyarakat sipil yang berada di sekitar konflik bersenjata sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan Kabupaten Yapen Waropen (Desember 2022).

“Apabila kedua pihak dalam konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua mengedepankan prinsp-prinsip dalam Konvensi Jenewa 1949, tentunya tidak akan ada banyak masyarakat sipil baik Papua maupun Non Papua yang menjadi korban. Sebab pada prinsipnya ketentuan terkait perlindungan hukum terhadap masyarakat sipil dalam daerah konflik bersenjata secara tegas diatur pada Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa tahun 1949,” tuturnya.

Baca Juga :  Pemprov Papua Komitmen Tingkatkan PAD Daerah

Menurutnya, apabila Pemerintah Pusat yang sudah mengetahui salah satu akar persoalan di Papua adalah kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua sesuai hasil penelitian LIPI dan memilih alternative peyelesaian persoalan politik mengunakan pendekatan penyelesaian politik yang pernah dipraktekan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh pada tahun 2000 atau antara Pemerintah Pusat dengan Timor-Timur pada tahun 1999 yang pasti tidak akan ada cerita konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN –PB di Papua yang terus melahirkan peristiwa memilukan pada masyarakat sipil baik Papua maupun non Papua yang berada di tengah wilayah konflik bersenjata.

“Berdasarkan fakta pemerintah pusat yang tidak mau mengunakan pengalaman penyelesaian persoalan politik kasus Aceh dan kasus Timor-Timor dalam kasus Papua, justru memilih pendekatan keamanan yang memicu terjadinya konflik bersenjata di Papua yang  melahirkan kasus pelanggaran HAM dan penggungsian secara langsung menunjukan ketidaktaatan pihak TNI-Polri dan pihak TPN-PB dalam menjalankan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 khususnya dalam melindungi masyarakat sipil yang berada di sekitar atau di tengah-tengah Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN –PB di tanah Papua,” tuturnya.

Diharapkan TNI-Polri dan pihak TPN-PB dapat menjalankan kebijakan perlindungan bagi masyarakat sipil yang berada dalam wilayah konflik bersenjata sesuai dengan perintah Pasal 3 angka 1, Konvensi Jenewa 1949 agar dapat tercipta perlindungan HAM milik masyarakat sipil bagi Papua maupun Non Papua dalam konflik bersenjata yang sedang terjadi.

LBH menegaskan kepada presiden segera mengunakan pengalaman di aceh atau Timor-timor untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua demi menghentikan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang mengorbankan masyarakat sipil.

TNI-Polri dan TPN-PB sebagai para peserta agung konflik bersenjata di Papua segera menaati dan menjalankan prinsip-prinsip konvensi jenewa 1949.

TNI-Polri dan TPN-PB wajib melindungi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata di Papua sesuai perintah pasal 3 angka 1, konvensi jenewa 1949. Palang Merah Indonesia segera menangani penggungsi akibat konflik bersenjata di Papua sesuai perintah pasal 10, PP nomor 7 tahun 2019 junto undang-undang nomor 1 tahun 2018. (fia/rel)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya