Mendorong Upaya Perdamaian dan Menghentikan Kekerasan di Papua
JAYAPURA-Kasus kekerasan di Papua masih marak terjadi dan beberapa korbannya adalah anak-anak dan perempuan di wilayah konflik, hingga terjadinya pengungsian.
Berangkat dari kasus kekerasan yang kerap terjadi di Papua, Komnas HAM membentuk Tim Pemantauan dan Negosiasi kasus-kasus kekerasan di Papua. Tim ini bermitra dengan jaringan yang ada di beberapa daerah di Papua, melakukan negosiasi terhadapĀ berbagai kasus kasus kekerasan antara TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata (KKB).
āKita mendorong adanya upaya perdamaian dan menghentikan kekerasan yang berkepenjangan dan ketegangan yang terjadi di beberapa wilayah di Papua,ā ucap Kepala Komnas HAM Frits Ramandey kepada Cenderawasih Pos, Selasa (14/12).
Tim ini juga mendorong agar para bupati dan kepala kepala kampung harus diberdayakanĀ untuk menangani konflik yang kerap kali terjadi di wilayah mereka. Sebab, para bupati dan kepala kampung yang lebih tahu siapa pelaku kekerasan yang ada di wilayahnya.
āJika bupati dan kepala kampung berjumpa dengan kelompok sipil bersenjata, sepanjang itu dalam konteks negosiasi dan mengupayakan penyelesaian masalah. Mereka jangan lantas dicurigai,ā tegas Frits.
Dalam catatan Komnas HAM kata Frits, ketika para bupati dan kepala kampung tidak dilibatkan, itu justru konfliknya berkepanjangan terutama soal pengungsian dan lainnya.
āMereka ini (bupati dan kepala kampung-red) dilibatkan tetapiĀ kemudian ada faktor ketakutan, keraguan karena ada kecurigaan kepada mereka. Apalagi jika mereka orang asli papua,ā kata Frits.
Yang paling penting saat ini menurut Frits, para bupati dan kepala kampung yang ada di wilayah konflik harus diberi akses seluas luasnya dalam rangka menyelesaikan konflik bukan kemudian memperpanjang konflik.
āKepala daerah dan kepala kampung menjadi bagian dari struktur negara yang harus dipercaya, jangan dicurigai oleh satuan lainnya,ā tegasnya.
Menurut Frits, dari 13 markas KSB yang didatangi, ketika mengedepankan para kepala kampung dan bupati, itu jauh lebih cepat menyelesaikan konflik, ketimbang konflik itu diambil alih penyelesaiannya oleh TNI-Polri.
Sementara itu lanjut Frits, dalam data Komnas HAM, terdapat 24 basis KKB di Papua dan Papua Barat. Namun, yang baru didatangi Komnas HAM adalah 13 Markas. Nantinya, mitra dari 13 wilayah ini nantinya akan berkomunikasi melakukan evaluasi terhadap kerja kerja yang sudah dilakukan, serta merumuskan bersama agenda apa yang harus ditindak lanjuti kedepannya dalam rangka upaya negosiasi dan mediasi lanjutan dengan para pihak.
āTim ini bekerja selama 8 bulan dan bertemu dengan berbagai pimpinan KSB, tetapi juga kami bertemu dengan Dandim, Danpos, Kapolres dan Kapolsek yang ada di setiap daerah yang kami kunjungi untuk menyampaikan situasi dimana kami datang,ā terang Frits.
Hasil dari peninjauan yang dilakukan di lapangan selanjutnya disampaikan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, Kapolda, Pangdam, Kepala BIN dan Menkopolhukam bahwaĀ penanganan Papua harus berdasarkan standar HAM.
āJangan sampai pendekatan yang digunakan oleh negara justru menimbulkan reaksi baru terhadap korban,ā tegasnya,
Adapun dampak dari yang dilakukan Tim Pemantauan dan Negosiasi kasus-kasus kekerasan di Papua yakni memberi rekomendasi bagaimana posisi Kogabwilhan dengan Kodam dan Polda bisa disingkronkan, dengan adanya kemauan presiden dan Kapolri mengedepankan pendekatan humanis, sementara Panglima menyelesaikan papua tanpa menggunakan perang. (fia/nat)