Marinus Yaung: Komnas HAM Sebaiknya Fokus Tuntaskan Paniai Berdarah
JAYAPURA-Pernyataan Presidium United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda yang menganggap Komnas HAM tidak memiliki kapasitas untuk memfasilitas dialog Papua-Jakarta guna meredam dan mengurai benang kusut persoalan yang terjadi selama ini mendapat tanggapan dari akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Marinus Yaung.
Dosen Fisip Uncen ini membedah cukup luas terkait sanggahan Benny Wenda atas niatan Komnas HAM, termasuk hitung – hitungan soal kekuatan Benny Wenda yang saat ini berjuang untuk Papua merdeka dari luar negeri.
Ia menjelaskan bahwa saat ini Indonesia berstatus associate member dalam Melanesian Sparehead Group (MSG) sedangkan ULMWP berstatus observer member. Anggota associate member seperti Indonesia memiliki hak berbicara dan hak voting. Sementara anggota observer member seperti ULMWP juga memiliki hak bicara tetapi tidak memiliki hak voting. Itu menjadi regulasi saat ini di MSG.
Lalu isu Papua di forum MSG adalah bentuk serangan langsung terhadap konvensi Geneva dan Piagam PBB. “Karenanya negara – negara MSG juga sangat berhati – hati memainkan isu Papua agar kepentingan ekonomi dan politik dengan negara – negara major power kawasan Pasifik tidak terganggu dan merugikan kepentingan nasionalnya negara sendiri,” ujar Yaung melalui ponselnya, Senin (14/3).
Nah dari semuanya, negara Vanuatu satu – satunya negara di dunia yang setia dukung kemerdekaan Papua. Kesetian Vanuatu menurut Yaung hanya karena mereka memiliki hutang budi dan beban moril terhadap keluarga Dirk Ayamiseba, anak dari almarhum Andy Ayamiseba yang selama ini berjuang lebih dulu.
Vanuatu dikatakan tidak memiliki hutang budi dengan Benny Wenda dan kelompoknya. Pasalnya setelah Andy meninggal pada Februari 2020, isu Papua perlahan – lahan mulai redup di Vanuatu.
Ayamiseba dan grup Blackbrothers ketika itu diminta bantuannya untuk mencari uang oleh bapak bangsa Vanuatu, Walter Hyde Lini pada saat proses dekolonisasi Vanuatu tahun 1979 – 1983, saat Pemilu pertama Vanuatu.
Black Brothers kemudian tampil manggung di Pasifik dan tampil Eropa untuk cari dana bagi proses kemerdekaan Vanuatu. Karena sejarah inilah, keluarga Lini di Vanuatu dan bangsa Vanuatu berutang budi serta memiliki beban moral umtuk perjuangan Papua merdeka oleh keluarga Ayamiseba dan Black Brothers. Karenanya isu Papua hanya bertahan dan menjadi agenda politik para elit dan PM yang berasal dari Vanua’aku Party. Sedangkan partai politik di luar Vanua’aku Party sudah tidak lagi bicara isu Papua.
Sementara basis politik utama ULMWP yaitu di Port Villa, Vanuatu, namun setelah Benny Wenda ‘menendang’ Oktovianus Mote dari ketua ULMWP tahun 2017 secara sepihak, Benny kemudian memindahkan basis politik dan perlawanan dari Port Villa ke kota Oxford, Inggris.
Terkait ini dikatakan Yaung, Vanuatu kecewa tapi karena rakyat dan elit politik Vanuatu masih menghormati keluarga Walter Lini yang memiliki ikatan emosional yang cukup baik dengan keluarga Ayamiseba akhirnya Benny masih diterima meski dengan sejumlah kelemahan.
Menariknya Presiden Jokowi memiliki sebuah doktrin foreign policy, yang dikalangan dosen Hubungan Internasional disebut dengan istilah “The Jokowi’s Doctrine”.
Doktrin ini berbunyi : Setiap negara adalah sahabat baik Indonesia tetapi persahabatan itu memiliki batasan saat kedaulatan negara direndahkan dan kepentingan negara dirugikan. Dan dari The Jokowi Doctrine ini, tuntutan Benny Wenda, ULMWP dan orang Papua untuk meminta dialog dengan melibatkan pihak asing sebagai pihak ketiga yang bertindak menjadi mediator agak sulit untuk direalisasikan.
Yaung mencatat mediator dan fasiltator dialog Papua – Jakarta adalah pihak yang sudah disetujui dan diterima oleh kedua pihak, Papua dan Jakarta. Niatan Komnas HAM sendiri sudah diterima Jakarta akan tetapi ditolak Papua. Jika Papua meminta pihak asing (state atau non state) sebagai mediator maka disarankan Komnas HAM dan mediator asing tersebut bertemu lebih dulu. Membicarakan dan menyepakati posisi mereka sebagai mediator baru kemudian sang mediator mulai membangun dialog Papua – Jakarta.
“Tugas pertama sang mediator dalam dialog tersebut adalah mencari terlebih dahulu bibit – bibit perdamaian di Papua dan di Jakarta. Apakah bibit – bibit perdamaian tersebut baik person maupun velues ada di Jakarta dan di Papua? Dan kalau sudah temukan bibit – bibit perdamaian tersebut, berikutnya melangkah ke langka kedua dan langka ketiga yakni pasca dialog,” saran Yaung.
Komnas HAM sendiri kata Yaung mempunyai tugas yang diamanatkan undang – undang yakni mengawasi dan memastikan negara memenuhi tanggung jawab dalam melindungi, menjamin dan memajukan HAM setiap warga negara Indonesia. Namun di sini Yaung juga menyoroti kinerja Komnas HAM yang menurutnya sebaiknya Komnas HAM jujur dan terbuka kepada orang Papua bahwa mereka gagal dan tidak mampu tuntaskan kasus pelanggaran HAM berat Papua.
Lalu lebih baik Komnas HAM melakukan judicial review ke MK untuk pasal – pasal yang mengatur tentang tugas dan kewenangan Komnas HAM dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 agar Komnas HAM memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan di pengadilan dari pada bermanufer mengurus dialog Papua – Jakarta yang sudah di ranah politik.
“Menurut saya Komnas HAM jangan lagi urus politik isu Papua. Langkah Komnas HAM bisa dibaca Komnas HAM ingin gunakan pendekatan politik selesai isu HAM dan krisis kemanusiaan di Papua. Komnas HAM lebih baik kembali ke leptop urus kasus HAM berat Paniai tuntas dulu dan jangan alihkan tanggung jawab urus isu dialog Papua – Jakarta.
Namun dari upaya dialog yang dirancang, paling tidak Yaung masih meyakini semua proses ini bisa berjalan dan selama itu berlangsung maka Papua pasti aman dan damai. “Saya pikir ada banyak solusi dan pendekatan penyelesaian isu Papua. Tugas kita adalah mencari dan memilih salah satu dari beragam solusi dan pendekatan yang terbaik tersebut untuk penyelesaian isu Papua itu sendiri,” tutupnya. (ade/nat)