Tuesday, December 24, 2024
26.7 C
Jayapura

Dialog Cara Damai Negara Menyelesaikan Konflik Sosial Politik di Papua

JAYAPURA-Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Cristian Warinussy SH sekaligus LP3BH Manokwari memberi pandangan terhadap langkah Komnas HAM RI memulai dialog Papua-Jakarta.

Sebagai Advokat, Yan mengupas mulai dari dasar hukum tentang keberadaan lembaga Komnas HAM RI yaitu adanya Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM RI.

Yan Warinussy mengatakan, dalam pasal 1 dari Keppres tersebut dikatakan : “Dalam rangka pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, dibentuk suatu komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya dalam Keppres ini disebut Komisi Nasional.

Kemudian di dalam pasal 4 Keppres ini disebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan pertama, membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM. Kedua, meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Hak tersebut pula disebutkan dalam  Bab III tentang Komnas HAM RI pada pasal 75 dari UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Secara tersurat kata Yan, sama sekali tidak nampak adanya landasan hukum bagi Komnas HAM RI untuk menjalankan tugas sebagai mediator atau fasilitator dialog dimaksud. Tapi secara tersirat bisa “dipandang” ada landasan hukum bagi Komnas HAM RI untuk bertemu para pihak yang hendak terlibat sebagai aktor dalam Dialog Papua-Jakarta tersebut.

Baca Juga :  Kapolres Diminta Segera Adaptasi di Tahun Politik

“Persoalannya sekarang adalah apakah jika Presiden bersama pihak TNI dan Polri setuju untuk berdialog dengan TPN PB dan OPM. Lalu apakah Presiden dan Panglima TNI dan Kapolres telah menunjuk Komnas HAM RI sebagai pihak yang bisa memfasilitasi dimulainya langkah dialog dimaksud,” tanya Yan.

Menurutnya, ini hak penting yang patut dijawab lebih dahulu, sebelum Komnas HAM RI mengambil langkah untuk bertemu dengan pihak-pihak di tanah Papua seperti TPN PB dan OPM serta kelompok resisten lainnya seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), West Papua National Authority  (WPNA) dan kelompok lainnya.

Kata Yan, pernyataan salah satu pimpinan OPM Jeffry Bomanak Pagawak belum lama ini bahwa pihaknya OPM menolak kehadiran Komnas HAM RI selaku “mediator” dialog.

“Menurut pandangan saya, karena sesuai langkah dialog bahwa yang namanya mediator sangat penting disepakati oleh para pihak yang hendak terlibat atau dilibatkan sebagai aktor sejak awal. Jadi semestinya kalau Presiden dan jajaran Negara Indonesia setuju untuk berdialog dengan TPN PB dan OPM serta pihak-pihak di tanah Papua, maka perlu dimintai persetujuan para pihak di tanah Papua itu apakah mereka setuju berdialog dengan pemerintah Indonesia,” ucap Yan dalam rilisnya.

Baca Juga :  PSBS ke Liga 1, Optimis Kebutuhan Rp 50 M  Terpenuhi

Lanjutnya, jika setuju dialog Jakarta-Papua ini tercapai, maka langkah berikut adalah memberi kesempatan kepada mereka untuk mengusulkan siapa mediator di dalam dialog dimaksud.

“Peran untuk memulai dialog ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh JDP sejak tahun 2010 saat Pater Neles Kebadabi Tebay dan Dr.Muridan S.Widjojo masih hidup. Langkah JDP sejak dahulu selalu secara kontinyu mendorong semua pihak di Jakarta dan Papua tentang pentingnya berdialog dengan tanpa mengedepankan kekerasan demi mengakhiri konflik di Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini,” terangnya.

Menurut pandangan Yan sebagai Advokat HAM di tanah Papua yang pernah menerima penghargaan internasional bidang HAM John Humphrey Freedom award di Canada, agar Presiden Joko Widodo dapat mengingat janjinya kepada 14 orang Papua Barat yang hadir bersama Pater Neles Kebadabi Tebay di Istana Merdeka Jakarta tanggal 15 Agustus 2017 lalu.

“Saya mengingatkan bahwa dialog adalah cara damai yang sebaiknya menjadi pilihan Presiden dan negara Indonesia dalam menyelesaikan persoalan konflik sosial politik di Papua,” pungkasnya. (fia/nat)

JAYAPURA-Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Cristian Warinussy SH sekaligus LP3BH Manokwari memberi pandangan terhadap langkah Komnas HAM RI memulai dialog Papua-Jakarta.

Sebagai Advokat, Yan mengupas mulai dari dasar hukum tentang keberadaan lembaga Komnas HAM RI yaitu adanya Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM RI.

Yan Warinussy mengatakan, dalam pasal 1 dari Keppres tersebut dikatakan : “Dalam rangka pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, dibentuk suatu komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya dalam Keppres ini disebut Komisi Nasional.

Kemudian di dalam pasal 4 Keppres ini disebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan pertama, membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM. Kedua, meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Hak tersebut pula disebutkan dalam  Bab III tentang Komnas HAM RI pada pasal 75 dari UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Secara tersurat kata Yan, sama sekali tidak nampak adanya landasan hukum bagi Komnas HAM RI untuk menjalankan tugas sebagai mediator atau fasilitator dialog dimaksud. Tapi secara tersirat bisa “dipandang” ada landasan hukum bagi Komnas HAM RI untuk bertemu para pihak yang hendak terlibat sebagai aktor dalam Dialog Papua-Jakarta tersebut.

Baca Juga :  Kakanwil Kemenkumham Papua Optimis 1000 Sertifikat Akan Terbit Tahun 2022

“Persoalannya sekarang adalah apakah jika Presiden bersama pihak TNI dan Polri setuju untuk berdialog dengan TPN PB dan OPM. Lalu apakah Presiden dan Panglima TNI dan Kapolres telah menunjuk Komnas HAM RI sebagai pihak yang bisa memfasilitasi dimulainya langkah dialog dimaksud,” tanya Yan.

Menurutnya, ini hak penting yang patut dijawab lebih dahulu, sebelum Komnas HAM RI mengambil langkah untuk bertemu dengan pihak-pihak di tanah Papua seperti TPN PB dan OPM serta kelompok resisten lainnya seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), West Papua National Authority  (WPNA) dan kelompok lainnya.

Kata Yan, pernyataan salah satu pimpinan OPM Jeffry Bomanak Pagawak belum lama ini bahwa pihaknya OPM menolak kehadiran Komnas HAM RI selaku “mediator” dialog.

“Menurut pandangan saya, karena sesuai langkah dialog bahwa yang namanya mediator sangat penting disepakati oleh para pihak yang hendak terlibat atau dilibatkan sebagai aktor sejak awal. Jadi semestinya kalau Presiden dan jajaran Negara Indonesia setuju untuk berdialog dengan TPN PB dan OPM serta pihak-pihak di tanah Papua, maka perlu dimintai persetujuan para pihak di tanah Papua itu apakah mereka setuju berdialog dengan pemerintah Indonesia,” ucap Yan dalam rilisnya.

Baca Juga :  Kesulitan Ungkap Berbagai Kasus

Lanjutnya, jika setuju dialog Jakarta-Papua ini tercapai, maka langkah berikut adalah memberi kesempatan kepada mereka untuk mengusulkan siapa mediator di dalam dialog dimaksud.

“Peran untuk memulai dialog ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh JDP sejak tahun 2010 saat Pater Neles Kebadabi Tebay dan Dr.Muridan S.Widjojo masih hidup. Langkah JDP sejak dahulu selalu secara kontinyu mendorong semua pihak di Jakarta dan Papua tentang pentingnya berdialog dengan tanpa mengedepankan kekerasan demi mengakhiri konflik di Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini,” terangnya.

Menurut pandangan Yan sebagai Advokat HAM di tanah Papua yang pernah menerima penghargaan internasional bidang HAM John Humphrey Freedom award di Canada, agar Presiden Joko Widodo dapat mengingat janjinya kepada 14 orang Papua Barat yang hadir bersama Pater Neles Kebadabi Tebay di Istana Merdeka Jakarta tanggal 15 Agustus 2017 lalu.

“Saya mengingatkan bahwa dialog adalah cara damai yang sebaiknya menjadi pilihan Presiden dan negara Indonesia dalam menyelesaikan persoalan konflik sosial politik di Papua,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya