Friday, April 19, 2024
24.7 C
Jayapura

Waterpauw: Veronika Jangan Asal Nyablak

Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw (FOTO: Gamel/Cepos)

JAYAPURA-Kapolda Papua, Irjend Pol Drs Paulus Waterpauw akhirnya  angkat suara terkait beberapa upaya yang dilakukan oleh aktivis sekaligus pegacara, Veronika Koman   menyangkut persoalan di Papua terutama yang berkaitan dengan HAM. 

Kapolda Paulus Waterpauw menegaskan agar Veronika tidak asal nyablak atau berkoar-koar jika tak memiliki data yang konkrit. Jangan asal berbicara bila tak memahami banyak hal. 

 “Saya hanya tergelitik dari beberapa pemberitaan dan informasi yang dilakukan oleh Veronika ini. Saya pikir kami harus bicara dan jangan dia saja yang seenaknya bicara,” ucap Kapolda dengan nada menyindir kepada wartawan, Jumat (14/2). 

Dikatakan, pihaknya perlu memberikan tanggapan agar tidak dianggap sepi-sepi saja yang akhirnya  orang akan menganggap apa yang dibicarakan wanita tersebut benar adanya.  “Saya sebagai Kapolda menolak keras pernyataan VK  yang dirilis sepihak dan kami tidak diberikan hak untuk mengklarifikasi. Jika dikaitkan dengan 57 tahanan yang ditangkap maka kami berurusan  dengan hukum positif. Ada perbuatan, ada penindakan hukum positif. Jangan justru ditarik ke politik. Ini sudah beda konteks. Jangan sedikit-sedikit dilarikan ke politik, tak ada itu. Ini murni penegakan hukum,” tegas Waterpauw. 

Kapolda memang terlihat tenang namun ia mencecar dengan kalimat yang tegas menganggap penyampaian Veronika juga memiliki kepentingan.  Disini kata Waterpauw yang disampaikan seolah-olah ada tahanan politik yang ditangani aparat keamanan  dan menyebut ada sejumlah korban sipil akibat operasi.  “Ini data dari mana. Sebab sempat beredar di grup WA  dan sudah saya konter data-data ini. Itu pernyataan yang tidak mendasar jadi jangan asal bicara,” tegasnya.  

Bila dipertanyakan mengapa akhir tahun lalu sejumlah aparat itu masuk ke Papua dan membackup Polda Papua. Itu dikatakan karena ada persoalan yang diawali dengan rasisme hingga ada kerusuhan. 

 Nah konteksnya adalah kejadian rasisme terjadi di Jawa Timur sudah ditangani oleh Polda Jatim hingga berproses hukum. Kemudian dari kejadian di Jawa Timur itu ada perasaan yang dilimpahkan ke Papua dan itu juga sudah ditangani. Di Jawa Timur proses penegakan hukumnya juga dilakukan. Bahkan ada upaya permintaan maaf dari beberapa pimpinan di Jawa Timur. Nah pada fase ini seharusnya jika tidak puas maka silakan diadukan. 

Baca Juga :  TPN-OPM Sebut Elit Politik dan Gubernur Jangan Klaim Atas Nama Rakyat

 Polisi kata Waterpauw juga sepakat untuk pelaku rasisme dihukum seberat-beratnya. Tapi itu di Jawa Timur, bukan di Papua. Pertanyaanya mengapa justru Papua ikut menjadi sasaran hingga menimbulkan kerusuhan. “Kami ini bergerak dari sebuah kejadian, ketika ada perbuatan melawan hukum kami hadir termasuk meminta bantuan TNI dan para pelaku yang terlibat kami proses. Kami tahan tapi ini bukan urusan politik. Ini urusan hukum, kriminal dan kami terapkan hukuman pidana,” bebernya. 

 Paulus Waterpauw menyampaikan bahwa jika dikatakan ada 57 tahanan politik maka kaitannya dengan politik yang mana. “Jangan diplintir dan  dibawa ke ranah politik. Jangan sedikit-sedikit dipolitikkan, ini ujung-ujungnya cari makan juga. Kalau mau cari makan yang baik saja jangan menjual negara ini,” sindir Kapolda. 

Dengan nada sedikit kesal Kapolda menyampaikan bahwa jika Veronika ada di Papua maka pihaknya siap menunjukkan data yang jelas agar sebagai orang yang ingin disebut pejuang HAM, paling tidak bekerja juga dengan data. Tidak sekedar berkoar-koar namun salah karena mendapatkan data yang tak jelas.  “Yang terjun di lapangan adalah kami. Lalu soal kelaparan dan eksodus saya sudah cek 2 kali ke Wamena dan benar atau tidak ternyata mereka diam seribu bahasa. Saat saya menjadi Wakapolda, saya menangani beberapa konflik di situ dan masyarakat menerima saya. Tidak ada yang disebutkan semua,” sambung Waterpauw. 

 Bahkan Polisi justru melihat bahwa ada isu yang dimainkan oleh kelompok kriminal bersenjata yang memaksa orang di kampung untuk berpindah tempat dengan diancam. Jadi bukan karena takut aparat masuk melainkan mengungsi atau pindah karena dibawah ancaman. “Jadi sudah seperti itu, kedatangan kami ke daerah itu untuk melakukan penegakan hukum kepada KKB bukan kepada masyarakat,” jelasnya. 

Baca Juga :  LBH Papua Diteror?

Ia  lantas membeberkan sejumlah kasus dengan korbannya dimana dimulai pada 21 Agustus 2019 dilakukan unjuk rasa yang berakhir anarkis. Disitu ada 10 tersangka yang ditahan namun 2 dibawah umur.  Rata-rata dijerat dengan pasal 170 KUHP. Lalu tangga 28 Agustus di Deiyai dimana ada 14 tersangka yang ditahan dimana 9 dilanjutkan dan 5 ditangguhkan. Unsurnya perbuatan melawan negara dan membawa sajam. 

Lanjut ditanggal 19 Agustus, 29 Agustus dan 30 Agustus terjadi unjuk rasa anarkis di Kabupaten Jayapura dengan 46 tersangka, 2 dibawah umur. “41 orang asli orang Papua dan 5 pendatang  yang nampaknya melakukan pembelaan diri karena posisinya terancam. Ini sudah dikirim beberapa diantaranya di Kaltim dan  ini bukan tahanan politik. Jadi kalau tidak tahu ya tanya pada kami, jangan asal terima data lalu bicara sembarang,” wanti Kapolda.

 Lalu beberapa kejadian diwaktu berbeda dengan lokasi berbeda. Disitu kata Kapolda perbuatan yang dilakukan begitu keji dan tidak manusiawi namun  perbuatan tersebut ketika diproses hukum justru dipolitisasi. “Dan penempatan tersangka di luar Papua adalah pertimbangan keamanan. Kami tak mau Papua dijadikan tempat carut marut berbagai hal karena ulah satu dua orang. Kalau ada pikiran yang berbeda, ada salurannya dan bisa membangun komunikasi degan kami. Simple,” imbuhnya.  

  Terlepas dari ini ia berharap ada hal lain yang bisa ditawarkan pada generasi muda yang tidak itu-itu saja. “Papua perlu menyiapkan generasi muda yang baik bukan terus dengan berkonflik. Daerah lain pernah belajar dan kita belajar dari Kalimantan, Aceh dan Ambon. Tapi kenapa kita mempertahankan Papua menjadi daerah konflik? Keliru kalau berpikir seperti itu,” pungkasnya. (ade/nat) 

Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw (FOTO: Gamel/Cepos)

JAYAPURA-Kapolda Papua, Irjend Pol Drs Paulus Waterpauw akhirnya  angkat suara terkait beberapa upaya yang dilakukan oleh aktivis sekaligus pegacara, Veronika Koman   menyangkut persoalan di Papua terutama yang berkaitan dengan HAM. 

Kapolda Paulus Waterpauw menegaskan agar Veronika tidak asal nyablak atau berkoar-koar jika tak memiliki data yang konkrit. Jangan asal berbicara bila tak memahami banyak hal. 

 “Saya hanya tergelitik dari beberapa pemberitaan dan informasi yang dilakukan oleh Veronika ini. Saya pikir kami harus bicara dan jangan dia saja yang seenaknya bicara,” ucap Kapolda dengan nada menyindir kepada wartawan, Jumat (14/2). 

Dikatakan, pihaknya perlu memberikan tanggapan agar tidak dianggap sepi-sepi saja yang akhirnya  orang akan menganggap apa yang dibicarakan wanita tersebut benar adanya.  “Saya sebagai Kapolda menolak keras pernyataan VK  yang dirilis sepihak dan kami tidak diberikan hak untuk mengklarifikasi. Jika dikaitkan dengan 57 tahanan yang ditangkap maka kami berurusan  dengan hukum positif. Ada perbuatan, ada penindakan hukum positif. Jangan justru ditarik ke politik. Ini sudah beda konteks. Jangan sedikit-sedikit dilarikan ke politik, tak ada itu. Ini murni penegakan hukum,” tegas Waterpauw. 

Kapolda memang terlihat tenang namun ia mencecar dengan kalimat yang tegas menganggap penyampaian Veronika juga memiliki kepentingan.  Disini kata Waterpauw yang disampaikan seolah-olah ada tahanan politik yang ditangani aparat keamanan  dan menyebut ada sejumlah korban sipil akibat operasi.  “Ini data dari mana. Sebab sempat beredar di grup WA  dan sudah saya konter data-data ini. Itu pernyataan yang tidak mendasar jadi jangan asal bicara,” tegasnya.  

Bila dipertanyakan mengapa akhir tahun lalu sejumlah aparat itu masuk ke Papua dan membackup Polda Papua. Itu dikatakan karena ada persoalan yang diawali dengan rasisme hingga ada kerusuhan. 

 Nah konteksnya adalah kejadian rasisme terjadi di Jawa Timur sudah ditangani oleh Polda Jatim hingga berproses hukum. Kemudian dari kejadian di Jawa Timur itu ada perasaan yang dilimpahkan ke Papua dan itu juga sudah ditangani. Di Jawa Timur proses penegakan hukumnya juga dilakukan. Bahkan ada upaya permintaan maaf dari beberapa pimpinan di Jawa Timur. Nah pada fase ini seharusnya jika tidak puas maka silakan diadukan. 

Baca Juga :  Enam Bulan Berdomisili di Kota, Wajib e-KTP Kota Jayapura

 Polisi kata Waterpauw juga sepakat untuk pelaku rasisme dihukum seberat-beratnya. Tapi itu di Jawa Timur, bukan di Papua. Pertanyaanya mengapa justru Papua ikut menjadi sasaran hingga menimbulkan kerusuhan. “Kami ini bergerak dari sebuah kejadian, ketika ada perbuatan melawan hukum kami hadir termasuk meminta bantuan TNI dan para pelaku yang terlibat kami proses. Kami tahan tapi ini bukan urusan politik. Ini urusan hukum, kriminal dan kami terapkan hukuman pidana,” bebernya. 

 Paulus Waterpauw menyampaikan bahwa jika dikatakan ada 57 tahanan politik maka kaitannya dengan politik yang mana. “Jangan diplintir dan  dibawa ke ranah politik. Jangan sedikit-sedikit dipolitikkan, ini ujung-ujungnya cari makan juga. Kalau mau cari makan yang baik saja jangan menjual negara ini,” sindir Kapolda. 

Dengan nada sedikit kesal Kapolda menyampaikan bahwa jika Veronika ada di Papua maka pihaknya siap menunjukkan data yang jelas agar sebagai orang yang ingin disebut pejuang HAM, paling tidak bekerja juga dengan data. Tidak sekedar berkoar-koar namun salah karena mendapatkan data yang tak jelas.  “Yang terjun di lapangan adalah kami. Lalu soal kelaparan dan eksodus saya sudah cek 2 kali ke Wamena dan benar atau tidak ternyata mereka diam seribu bahasa. Saat saya menjadi Wakapolda, saya menangani beberapa konflik di situ dan masyarakat menerima saya. Tidak ada yang disebutkan semua,” sambung Waterpauw. 

 Bahkan Polisi justru melihat bahwa ada isu yang dimainkan oleh kelompok kriminal bersenjata yang memaksa orang di kampung untuk berpindah tempat dengan diancam. Jadi bukan karena takut aparat masuk melainkan mengungsi atau pindah karena dibawah ancaman. “Jadi sudah seperti itu, kedatangan kami ke daerah itu untuk melakukan penegakan hukum kepada KKB bukan kepada masyarakat,” jelasnya. 

Baca Juga :  TPN-OPM Sebut Elit Politik dan Gubernur Jangan Klaim Atas Nama Rakyat

Ia  lantas membeberkan sejumlah kasus dengan korbannya dimana dimulai pada 21 Agustus 2019 dilakukan unjuk rasa yang berakhir anarkis. Disitu ada 10 tersangka yang ditahan namun 2 dibawah umur.  Rata-rata dijerat dengan pasal 170 KUHP. Lalu tangga 28 Agustus di Deiyai dimana ada 14 tersangka yang ditahan dimana 9 dilanjutkan dan 5 ditangguhkan. Unsurnya perbuatan melawan negara dan membawa sajam. 

Lanjut ditanggal 19 Agustus, 29 Agustus dan 30 Agustus terjadi unjuk rasa anarkis di Kabupaten Jayapura dengan 46 tersangka, 2 dibawah umur. “41 orang asli orang Papua dan 5 pendatang  yang nampaknya melakukan pembelaan diri karena posisinya terancam. Ini sudah dikirim beberapa diantaranya di Kaltim dan  ini bukan tahanan politik. Jadi kalau tidak tahu ya tanya pada kami, jangan asal terima data lalu bicara sembarang,” wanti Kapolda.

 Lalu beberapa kejadian diwaktu berbeda dengan lokasi berbeda. Disitu kata Kapolda perbuatan yang dilakukan begitu keji dan tidak manusiawi namun  perbuatan tersebut ketika diproses hukum justru dipolitisasi. “Dan penempatan tersangka di luar Papua adalah pertimbangan keamanan. Kami tak mau Papua dijadikan tempat carut marut berbagai hal karena ulah satu dua orang. Kalau ada pikiran yang berbeda, ada salurannya dan bisa membangun komunikasi degan kami. Simple,” imbuhnya.  

  Terlepas dari ini ia berharap ada hal lain yang bisa ditawarkan pada generasi muda yang tidak itu-itu saja. “Papua perlu menyiapkan generasi muda yang baik bukan terus dengan berkonflik. Daerah lain pernah belajar dan kita belajar dari Kalimantan, Aceh dan Ambon. Tapi kenapa kita mempertahankan Papua menjadi daerah konflik? Keliru kalau berpikir seperti itu,” pungkasnya. (ade/nat) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya