Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Mantan Pangdam XVII/Cenderawasih “Lupa” Ada Tidaknya Tembakan

JAYAPURA –  Dua jam 35 menit, Fransen G. Siahaan mantan Panglima Kodam XVII/Cenderawasih duduk dikursi memberikan kesaksiannya dalam sidang kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2014 yang digelar di ruang Bagir Manan Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (13/10) kemarin.

Dalam tangkapan layar, pria yang pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih tahun 2014 silam itu terlihat menggunakan kemeja putih dengan aksesoris jam tangan. Sesekali ia meminta Majelis Hakim untuk mengulang kembali pertanyaan yang disodorkan kepadanya.

Dalam kesaksiannya, Fransen menyebut sewaktu menjabat Pangdam. Paniai adalah salah satu daerah rawan. Sehingga itu, tindakan Pangdam kala itu untuk menghadapi KKB maka harus ada satuan satuan pengamanan wilayah di Papua.

“Dulu sewaktu saya menjadi Pangdam, Paniai termasuk daerah rawan/merah. Karena di situlah sarannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB),” kata mantan Pangdam menjawab pertanyaan Hakim bagaimana situasi kemanan di Paniai saat itu.

Fransen juga menyebut, kala itu tidak ada laporan ke Pangdam penyebab masyarakat demo di Kantor Koramil pada 8 Desember 2014.

“Setelah ada demo baru saya tahu masyarakat demo akibat menuntut sesuatu (Peristiwa 7 Desember), karena tuntutannya tidak terpenuhi sehingga terjadilah caos di 8 Desember tahun 2014,” ucapnya bersaksi.

Dalam kesaksiannya, Fransen membeberkan sebagaimana video yang didapatkan dari anggota saat itu. Awal mulanya warga dari arah gunung dan ada pembakaran. Kemudian turun ke arah Polsek dan Koramil. Dimana saat itu Koramil, Danramil termasuk Polsek setempat melakukan pengamanan ke dalam.

“Suara tembakan dari arah lapangan tapi tidak jelas siapa yang melakukan tembakan kala itu (8/12/2014). Saat kejadian saya di Jayapura, saya hanya perintahkan As Intel ke Paniai,” ucapnya dalam kesaksiannnya.

Bahkan, sebelum tim pencari fakta diturunkan ke lapangan. Mantan Pangdam ini mengaku membentuk tim ke Paniai guna mencari fakta yang sesuangguhnya. Korban umumnya anak anak saat itu.

Baca Juga :  Papua Selatan Terbentuk Sebelum Pilkada Gubernur Papua

“Prajurit tidak boleh bertindak di luar sumpah prajurit terutama tidak menyakiti hati rakyat, tapi di luar wewenang itu mereka melakukan seperti itu saudara salah prosedur,” jawab Frans saat ditanya majelis hakim terkait dengan tembakan peringatan yang dilakukan anggota saat kejadian 8 Desember.

Mantan Pangdam ini juga menyebut jika Paniai saat itu ada dalam perintah operasi pembinaan teritorial.

Ketika Majelis Hakim bertanya ke saksi, “Tau adanya penembakan peringatan.” ? “Saya lupa yang mulia,” jawab mantan Pangdam ini.

Pertanyaan Majelis hakim soal tembakan peringatan saat kejadian 8 Desember 2014 lantaran beberapa saksi sebelumnya mulai dari anggota Polisi hingga TNI dalam kesaksiannya menyebut adanya tembakan peringatan saat massa menyerang kantor Koramil.

Fransen mengakui pasca kejadian, saling menjaga nama institusi dan tidak juga menyalahkan  prajurit tentang siapa yang salah, siapa yang melakukan penembakan di lapangan saat itu.  “Yang kita khawatirkan di Papua lagi rawan saat itu, jangan sampai kita mengamankan  justru aparat di lapangan berkelahi,” ucapnya.

Majelis Hakim pun menyampaikan jika perkara ini ada karena saling menjaga nama institusi, keberadaan 1 tersangka di Pengadilan saat ini salah satunya lantaran tidak menyerahkan  pelaku yang sebenarnya ke pejabat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan penuntutan saat itu.

“Kenapa perkara ini terjadi, karena komandan tidak melakukan itu (penyelidikan dan penuntutan) dan kasus ini sebagai pembelajaran bisa naik naik ke puncak gunung artinya  pertanggung jawaban itu hirarki,” kata salah satu Majelis Hakim.

“Tadi saudara (Saksi-red) menyampaikan tidak ada penembakan yang dilakukan Koramil, apakah tim di lapangan membohongi atau seperti apa tapi kita sudah mendengarkan keterangan saksi bahwa mereka melakukan penembakan ke arah atas saat kejadian. Jangan  jangan anggota yang mengaku melakukan penembakan ke arah atas justru tembakannya datar  dan kita tidak tahu itu,”  tanya hakim ke saksi.

Baca Juga :  Kelompok Kopi Tua Klaim Bunuh Babinsa Muda di Yahukimo

“Tembakan untuk pengamanan diri terlepas ada korbannya atau tidak beliau sudah berpikir resikonya saat itu,” kata Saksi

Hakim juga mempertanyakan peluru yang ada di Koramil saat itu hanya peluru tajam, sebagaiman keterangan para saksi sebelumnya yang sudah dimintai kesaksiannya.

“Tidak ada dalam SOP saya dalam keadaan terjepit melakukan penembakan dengan peluru tajam,” kata saksi menjawab pertanyaan hakim apakah penembakan yang dilakukan anggota berdasarkan SOP dalam kondisi genting boleh mengeluarkan tembakan ?.

Dalam persidangan tersebut, terdakwa enggan memberikan tanggapan terhadap kesaksian mantan Pangdam XVII/Cenderawasih itu.

Sekedar diketahui, kasus pelanggaran HAM Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Peristiwa itu bermula dari tiga orang pemuda yang menegur anggota TNI di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua.

Kejadian itu lantas memicu terjadinya bentrok antara anggota TNI dan warga, karena anggota TNI bersangkutan tidak terima ditegur. Akibat kejadian tersebut, empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka.

Terdakwa IS yang jadi terdakwa merupakan purnawirawan TNI yang pernah jadi Komandan Kodim Paniai. Terdakwa diduga melanggar, pertama; Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua; Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (fia/wen)

JAYAPURA –  Dua jam 35 menit, Fransen G. Siahaan mantan Panglima Kodam XVII/Cenderawasih duduk dikursi memberikan kesaksiannya dalam sidang kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2014 yang digelar di ruang Bagir Manan Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (13/10) kemarin.

Dalam tangkapan layar, pria yang pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih tahun 2014 silam itu terlihat menggunakan kemeja putih dengan aksesoris jam tangan. Sesekali ia meminta Majelis Hakim untuk mengulang kembali pertanyaan yang disodorkan kepadanya.

Dalam kesaksiannya, Fransen menyebut sewaktu menjabat Pangdam. Paniai adalah salah satu daerah rawan. Sehingga itu, tindakan Pangdam kala itu untuk menghadapi KKB maka harus ada satuan satuan pengamanan wilayah di Papua.

“Dulu sewaktu saya menjadi Pangdam, Paniai termasuk daerah rawan/merah. Karena di situlah sarannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB),” kata mantan Pangdam menjawab pertanyaan Hakim bagaimana situasi kemanan di Paniai saat itu.

Fransen juga menyebut, kala itu tidak ada laporan ke Pangdam penyebab masyarakat demo di Kantor Koramil pada 8 Desember 2014.

“Setelah ada demo baru saya tahu masyarakat demo akibat menuntut sesuatu (Peristiwa 7 Desember), karena tuntutannya tidak terpenuhi sehingga terjadilah caos di 8 Desember tahun 2014,” ucapnya bersaksi.

Dalam kesaksiannya, Fransen membeberkan sebagaimana video yang didapatkan dari anggota saat itu. Awal mulanya warga dari arah gunung dan ada pembakaran. Kemudian turun ke arah Polsek dan Koramil. Dimana saat itu Koramil, Danramil termasuk Polsek setempat melakukan pengamanan ke dalam.

“Suara tembakan dari arah lapangan tapi tidak jelas siapa yang melakukan tembakan kala itu (8/12/2014). Saat kejadian saya di Jayapura, saya hanya perintahkan As Intel ke Paniai,” ucapnya dalam kesaksiannnya.

Bahkan, sebelum tim pencari fakta diturunkan ke lapangan. Mantan Pangdam ini mengaku membentuk tim ke Paniai guna mencari fakta yang sesuangguhnya. Korban umumnya anak anak saat itu.

Baca Juga :  1000 Personil Disiapkan Jika Eskalasi Meningkat

“Prajurit tidak boleh bertindak di luar sumpah prajurit terutama tidak menyakiti hati rakyat, tapi di luar wewenang itu mereka melakukan seperti itu saudara salah prosedur,” jawab Frans saat ditanya majelis hakim terkait dengan tembakan peringatan yang dilakukan anggota saat kejadian 8 Desember.

Mantan Pangdam ini juga menyebut jika Paniai saat itu ada dalam perintah operasi pembinaan teritorial.

Ketika Majelis Hakim bertanya ke saksi, “Tau adanya penembakan peringatan.” ? “Saya lupa yang mulia,” jawab mantan Pangdam ini.

Pertanyaan Majelis hakim soal tembakan peringatan saat kejadian 8 Desember 2014 lantaran beberapa saksi sebelumnya mulai dari anggota Polisi hingga TNI dalam kesaksiannya menyebut adanya tembakan peringatan saat massa menyerang kantor Koramil.

Fransen mengakui pasca kejadian, saling menjaga nama institusi dan tidak juga menyalahkan  prajurit tentang siapa yang salah, siapa yang melakukan penembakan di lapangan saat itu.  “Yang kita khawatirkan di Papua lagi rawan saat itu, jangan sampai kita mengamankan  justru aparat di lapangan berkelahi,” ucapnya.

Majelis Hakim pun menyampaikan jika perkara ini ada karena saling menjaga nama institusi, keberadaan 1 tersangka di Pengadilan saat ini salah satunya lantaran tidak menyerahkan  pelaku yang sebenarnya ke pejabat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan penuntutan saat itu.

“Kenapa perkara ini terjadi, karena komandan tidak melakukan itu (penyelidikan dan penuntutan) dan kasus ini sebagai pembelajaran bisa naik naik ke puncak gunung artinya  pertanggung jawaban itu hirarki,” kata salah satu Majelis Hakim.

“Tadi saudara (Saksi-red) menyampaikan tidak ada penembakan yang dilakukan Koramil, apakah tim di lapangan membohongi atau seperti apa tapi kita sudah mendengarkan keterangan saksi bahwa mereka melakukan penembakan ke arah atas saat kejadian. Jangan  jangan anggota yang mengaku melakukan penembakan ke arah atas justru tembakannya datar  dan kita tidak tahu itu,”  tanya hakim ke saksi.

Baca Juga :  Demo Aliansi BEM Papua Justru Disorot

“Tembakan untuk pengamanan diri terlepas ada korbannya atau tidak beliau sudah berpikir resikonya saat itu,” kata Saksi

Hakim juga mempertanyakan peluru yang ada di Koramil saat itu hanya peluru tajam, sebagaiman keterangan para saksi sebelumnya yang sudah dimintai kesaksiannya.

“Tidak ada dalam SOP saya dalam keadaan terjepit melakukan penembakan dengan peluru tajam,” kata saksi menjawab pertanyaan hakim apakah penembakan yang dilakukan anggota berdasarkan SOP dalam kondisi genting boleh mengeluarkan tembakan ?.

Dalam persidangan tersebut, terdakwa enggan memberikan tanggapan terhadap kesaksian mantan Pangdam XVII/Cenderawasih itu.

Sekedar diketahui, kasus pelanggaran HAM Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Peristiwa itu bermula dari tiga orang pemuda yang menegur anggota TNI di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua.

Kejadian itu lantas memicu terjadinya bentrok antara anggota TNI dan warga, karena anggota TNI bersangkutan tidak terima ditegur. Akibat kejadian tersebut, empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka.

Terdakwa IS yang jadi terdakwa merupakan purnawirawan TNI yang pernah jadi Komandan Kodim Paniai. Terdakwa diduga melanggar, pertama; Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua; Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya