Ini dikatakan bukan tanpa alasan yang konkrit dimana dipaparkan bahwa KTT MSG di Vanuatu bulan Agustus 2023, sama sekali tidak berbicara isu penyanderaan pilot Selandia Baru di Nduga, Papua. Tidak ada keputusan MSG yang memberikan tekanan diplomatik kepada Indonesia untuk bernegosiasi dengan Egianus di Nduga, untuk pembebasan sandera.
Kedua, Pemerintah Selandia Baru tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, apalagi masalahnya menyangkut isu keamanan nasional dan kedaulatan bangsa dibalik drama penyanderaan ini. “Berharap Selandia Baru mengeluarkan pernyataan diplomatik mendukung agenda kemerdekaan Papua untuk selanjutnya pilot dibebaskan bagi saya itu harapan yang sia – sia dan tidak mungkin terealisasikan,” singgungnya.
Alasannya adalah pertama, sikap mendukung penyanderaan warga sipil dalam suatu konflik dan perang ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang atau hukum humaniter internasional.
Apalagi pemerintah Selandia Baru telah meratifikasi hukum humaniter internasional dalam hukum nasionalnya sehingga tidak mungkin mereka melanggar hukum – hukum tersebut. Lalu Selandia Baru memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Hubungan diplomatik diatur dalam konvensi Jenewa tahun 1949. Sehingga berlaku asas pacta sunt servanda sebagai prinsip hukum internasional yang mengatur soal hukum dan moral untuk setiap negara yang mengingat diri dalam perjanjian internasional,” imbuhnya.
Jadi tidak mungkin Selandia Baru melanggar asas pacta sunt servanda dengan mengakui agenda Papua Merdeka KKB EK di Nduga, Papua. Contoh lainnya adalah Fretellin di Timor Leste dan GAM di Aceh, tidak pernah menyandera warga negara asing selama konflik dan perang dengan aparat keamanan Indonesia.