Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Jokowi Diminta tak Mudah Percaya Petinggi TNI/Polri

LP3BH Desak Audit Kebijakan Negara Soal Penganggaran Operasi Keamanan di Papua

JAYAPURA – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari angkat bicara perihal situasi keamanan di tanah Papua belakangan ini.

Direktur LP3BH Yan Christian Warrinusy meminta Presiden Joko Widodo dan parlemen nasional DPR RI untuk tidak mudah mempercayai pernyataan para petinggi TNI dan Polri di tanah Papua maupun di Jakarta mengenai situasi keamanan di bumi cenderawasih yang selalu dikatakan tidak aman karena ulah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dengan julukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Yan menjelaskan, berdasarkan kajian LP3BH Manokwari didapati pada kasus penyanderaan terhadap pilot pesawat jenis Pilatus porter PC6-PK BVY milik maskapai Susi Air pada Selasa (7/2) lalu di Distrik Paro, Kabupaten Nduga. Fakta bahwa TPNPB hanya menyandera pilot Philip Mark Marhtens dan tidak melakukan tindakan yang sama terhadap lima warga sipil asli Distrik Paro.

TPNPB juga kata Yan tidak menyandera sekitar 15 orang pekerja bangunan dan telah diakui oleh Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa dalam jumpa persnya di Timika pada Jumat (10/2).

“Kami melihat hal ini sebagai sebuah fakta yang bisa mulai membuka tabir gelap dari beberapa peristiwa kekerasan di beberapa wilayah di tanah Papua yang hingga saat ini masih gelap,” tegas Yan kepada Cenderawasih Pos, Minggu (12/2).

Baca Juga :  Dinas PUPR Papua Diapreasiasi Pemerintah Pusat

Misalnya kasus pembakaran pesawat milik maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) PK-MAX yang diawaki capten pilot Alex Luferchek berkebangsaan Amerika Serikat di bandara kampung Pagamba, Distrik Biandaga, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada tanggal 6 Januari 2020.

Dimana peristiwa tersebut sama sekali tidak ada investigasi yang dilakukan hingga dapat mengkonfirmasi siapa yang sesungguhnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Juga peristiwa kematian tragis Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya ada tanggal 25 April 2020 di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua.

“Hingga saat ini tidak jelas sesungguhnya siapa yang menembak sang jenderal yang menjadi mantan Kepala BIN Daerah Papua tersebut. Dimana tuduhan dari awal disematkan kepada TPNPB,” terangnya.

Lanjut Yan, demikian pula dalam peristiwa terbunuhnya empat orang prajurit TNI di dalam Pos Koramil Kisor, Distrik Aifat Timur, Papua Barat pada 21 September 2021. Keempat prajurit tersebut masing-masing Serda Ambrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari dan Lettu Chb.Dirman.

Mereka dinyatakan terbunuh akibat ulah TPN PB, tapi herannya tak ada investigasi kriminal yang dilakukan hingga saat ini. Sementara ada sejumlah orang warga sipil yang ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa Kisor tersebut, misalnya Abraham Fatemte dan Melkias Ky yang saat ini sedang dihadapkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sorong Kelas I B. LP3BH juga merujuk pada Buku karya Robin Osborne berjudul Kibaran Sampai, Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, terbitan ELSAM Jakarta tahun 2001.

Baca Juga :  Berharap Upaya Komunikasi dan Negosiasi Bisa Terus Dilakukan

Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah meraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award ” tahun 2005 di Canada. Yan mendesak Presiden Jokowi dan pemerintahnya termasuk parlemen DPR RI untuk segera mengaudit kembali kebijakan negara  mengenai penganggaran operasi keamanan di Tanah Papua selama ini.

Juga merubah pola pendekatan keamanan (security approach) dengan pendekatan damai dan sosial serta mempersiapkan diri sebagai sebuah negara demokrasi terbesar keempat di dunia untuk mendialogkan tuntutan dasar OPM sebagai sebuah gerakan perjuangan memperoleh hak menentukan nasib sendiri.

“Tidak bisa dilihat sebelah mata hanya dengan pandangan skeptis bahwa gerakan perlawanan OPM selama ini hanya karena faktor kesejahteraan dan kemiskinan secara ekonomi belaka,” tegasnya.

Lanjutnya, tinjauan kembali terhadap pendekatan militeristik di tanah Papua dengan segenap usaha penambahan instalasi militer melalui pemekaran DOB semakin terbaca dengan senantiasa “mengkambing hitamkan” TPN PB dan atau OPM sebagai faktor penyebab adanya gangguan keamanan.

“Sehingga membutuhkan kehadiran personil militer dalam jumlah besar diikuti penambahan instalasi kelembagaan militer kian terbaca secara ilmiah dan kian terbuka,” pungkasnya. (fia/wen)

LP3BH Desak Audit Kebijakan Negara Soal Penganggaran Operasi Keamanan di Papua

JAYAPURA – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari angkat bicara perihal situasi keamanan di tanah Papua belakangan ini.

Direktur LP3BH Yan Christian Warrinusy meminta Presiden Joko Widodo dan parlemen nasional DPR RI untuk tidak mudah mempercayai pernyataan para petinggi TNI dan Polri di tanah Papua maupun di Jakarta mengenai situasi keamanan di bumi cenderawasih yang selalu dikatakan tidak aman karena ulah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dengan julukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Yan menjelaskan, berdasarkan kajian LP3BH Manokwari didapati pada kasus penyanderaan terhadap pilot pesawat jenis Pilatus porter PC6-PK BVY milik maskapai Susi Air pada Selasa (7/2) lalu di Distrik Paro, Kabupaten Nduga. Fakta bahwa TPNPB hanya menyandera pilot Philip Mark Marhtens dan tidak melakukan tindakan yang sama terhadap lima warga sipil asli Distrik Paro.

TPNPB juga kata Yan tidak menyandera sekitar 15 orang pekerja bangunan dan telah diakui oleh Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa dalam jumpa persnya di Timika pada Jumat (10/2).

“Kami melihat hal ini sebagai sebuah fakta yang bisa mulai membuka tabir gelap dari beberapa peristiwa kekerasan di beberapa wilayah di tanah Papua yang hingga saat ini masih gelap,” tegas Yan kepada Cenderawasih Pos, Minggu (12/2).

Baca Juga :  Pj Bupati Sarmi Berharap Aparat Kampung Kuasai Siskeudes

Misalnya kasus pembakaran pesawat milik maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) PK-MAX yang diawaki capten pilot Alex Luferchek berkebangsaan Amerika Serikat di bandara kampung Pagamba, Distrik Biandaga, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada tanggal 6 Januari 2020.

Dimana peristiwa tersebut sama sekali tidak ada investigasi yang dilakukan hingga dapat mengkonfirmasi siapa yang sesungguhnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Juga peristiwa kematian tragis Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya ada tanggal 25 April 2020 di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua.

“Hingga saat ini tidak jelas sesungguhnya siapa yang menembak sang jenderal yang menjadi mantan Kepala BIN Daerah Papua tersebut. Dimana tuduhan dari awal disematkan kepada TPNPB,” terangnya.

Lanjut Yan, demikian pula dalam peristiwa terbunuhnya empat orang prajurit TNI di dalam Pos Koramil Kisor, Distrik Aifat Timur, Papua Barat pada 21 September 2021. Keempat prajurit tersebut masing-masing Serda Ambrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari dan Lettu Chb.Dirman.

Mereka dinyatakan terbunuh akibat ulah TPN PB, tapi herannya tak ada investigasi kriminal yang dilakukan hingga saat ini. Sementara ada sejumlah orang warga sipil yang ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa Kisor tersebut, misalnya Abraham Fatemte dan Melkias Ky yang saat ini sedang dihadapkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sorong Kelas I B. LP3BH juga merujuk pada Buku karya Robin Osborne berjudul Kibaran Sampai, Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, terbitan ELSAM Jakarta tahun 2001.

Baca Juga :  Dorong Pelaku Usaha OAP Bangun Daerah

Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah meraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award ” tahun 2005 di Canada. Yan mendesak Presiden Jokowi dan pemerintahnya termasuk parlemen DPR RI untuk segera mengaudit kembali kebijakan negara  mengenai penganggaran operasi keamanan di Tanah Papua selama ini.

Juga merubah pola pendekatan keamanan (security approach) dengan pendekatan damai dan sosial serta mempersiapkan diri sebagai sebuah negara demokrasi terbesar keempat di dunia untuk mendialogkan tuntutan dasar OPM sebagai sebuah gerakan perjuangan memperoleh hak menentukan nasib sendiri.

“Tidak bisa dilihat sebelah mata hanya dengan pandangan skeptis bahwa gerakan perlawanan OPM selama ini hanya karena faktor kesejahteraan dan kemiskinan secara ekonomi belaka,” tegasnya.

Lanjutnya, tinjauan kembali terhadap pendekatan militeristik di tanah Papua dengan segenap usaha penambahan instalasi militer melalui pemekaran DOB semakin terbaca dengan senantiasa “mengkambing hitamkan” TPN PB dan atau OPM sebagai faktor penyebab adanya gangguan keamanan.

“Sehingga membutuhkan kehadiran personil militer dalam jumlah besar diikuti penambahan instalasi kelembagaan militer kian terbaca secara ilmiah dan kian terbuka,” pungkasnya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya