Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Amnesty Internasional: Putusan Tragedi Paniai Menampar Wajah Korban

JAYAPURA – Menanggapi putusan Pengadilan HAM yang membebaskan mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Isak Sattu, dari dakwaan kejahatan kemanusiaan berdasarkan tanggung jawab komando dalam kekejaman Paniai 2014 di Papua.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan hari ini yang di tampilkan merupakan tamparan.

“Apa yang telah kita saksikan hari ini adalah parodi keadilan. Putusan ini merupakan tamparan bagi korban dan keluarga korban penembakan di Paniai, bahkan bagi korban pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia yang bertahun-tahun menuntut keadilan.” katanya kepada Cenderawasih Pos, melalui pesan elektroniknya, Sabtu, (10/11).

“Putusan itu menegaskan semua keraguan yang telah disuarakan korban. Bahwa peradilan itu hanyalah panggung sandiwara yang digelar bukan untuk memberikan keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang sejati.” sambungnya.

Fakta  kata Usman bahwa negara hanya mengadili satu perwira penghubung dengan dakwaan memimpin tentara di lapangan adalah hal yang sedari awal tidak pasti. Sulit dipercaya, terdakwa adalah satu-satunya personel militer yang bertanggung jawab secara pidana atas kekejaman tersebut.

“Pembebasan ini menjadi pengingat bahwa para prajurit yang bertanggung jawab secara pidana dalam penembakan, termasuk pelaku langsung, komandan militer dan atasan lainnya di dalam kekejaman tersebut, masih buron. Keadilan tidak akan pernah tegak jika impunitas dipelihara.” ujarnya.

Baca Juga :  Hadapi Pandemi, Warga Masih Butuh Bantuan

Dikatakanya Karena pengadilan mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan namun tanpa pelaku, maka Negara harus segera membuka kembali penyelidikan tragedi Paniai, sehingga semua pelaku diinvestigasi dengan segera, efektif, menyeluruh dan tidak memihak dan, jika ada cukup bukti, diadili dalam persidangan yang adil di hadapan pengadilan yang berkompeten dan adil.

Ia juga menjelaskan bahwa Pada 8 Desember 2022, Pengadilan HAM di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, membebaskan Isak Sattu, mantan perwira militer, dari semua tuduhan kejahatan kemanusiaan pembunuhan sesuai tanggung jawab komando dalam peristiwa di Paniai 2014, Papua. Terdakwa bertugas sebagai petugas penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai saat kejadian.

Kasus Paniai meliputi dua kejadian terpisah di mana aparat keamanan membunuh empat orang dan melukai 21 orang lainnya di Kabupaten Paniai pada tanggal 7 dan 8 Desember 2014.

“Peristiwa 7 Desember 2014 itu merujuk pada penganiayaan yang diduga dilakukan oleh anggota Tim Khusus Yonif 753/AVT terhadap 11 anak-anak asli Papua yang berusia antara 10-16 tahun di Pondok Natal KM 4 Jalan Tol Madi-Enarotali Timur, Kecamatan Paniai, Kabupaten Paniai,” pajutnya.

Sementara itu, dalam peristiwa di Lapangan Karel Gobay, pada 8 Desember 2014, empat warga asli Papua tewas dan 10 lainnya luka-luka akibat tembakan dari markas Komando Rayon Militer (Koramil) Enarotali. Korban termasuk pengunjuk rasa yang memprotes insiden sebelumnya.

Baca Juga :  Sepanjang 2023, KKB Bunuh 61 Orang, Terbanyak Warga Sipil dan Anggota TNI

Dalam putusannya, majelis lima panel itu menegaskan pembunuhan yang dilakukan anggota militer terhadap warga sipil di Paniai merupakan “serangan sistematis” dan karenanya merupakan kejahatan kemanusiaan. Namun, pengadilan berpendapat bahwa Isak, sebagai petugas penghubung, tidak memiliki wewenang efektif untuk mengendalikan pasukan ketika penembakan terjadi pada 8 Desember 2014. Saat itu, kata pengadilan, perintah masih ada di Komandan Sub Enoratoli Komando Distrik Militer (Koramil) meskipun dia tidak ada di kantor saat kejadian.

“Dua dari lima hakim di panel memberikan pendapat berbeda, dengan alasan fakta bahwa terdakwa adalah perwira militer berpangkat tertinggi di Koramil Enarotali menyiratkan bahwa ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kegagalannya mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengawasi dan mengamankan pengetahuan tentang perilaku pasukan, atau setidaknya menginformasikan pelanggaran ke pejabat yang lebih tinggi untuk diselidiki,” katanya.

Selain itu, Usman mengatakan, Korban dan keluarga korban kasus Paniai 2014 sebelumnya mengkritik proses hukum tersebut, dengan alasan Kejaksaan Agung hanya mengadili satu tersangka sementara tidak ada dakwaan yang diajukan terhadap pejabat tinggi keamanan dan mereka yang diduga langsung. pelaku. Mereka juga menolak untuk mengikuti persidangan di pengadilan HAM, (oel).

JAYAPURA – Menanggapi putusan Pengadilan HAM yang membebaskan mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Isak Sattu, dari dakwaan kejahatan kemanusiaan berdasarkan tanggung jawab komando dalam kekejaman Paniai 2014 di Papua.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan hari ini yang di tampilkan merupakan tamparan.

“Apa yang telah kita saksikan hari ini adalah parodi keadilan. Putusan ini merupakan tamparan bagi korban dan keluarga korban penembakan di Paniai, bahkan bagi korban pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia yang bertahun-tahun menuntut keadilan.” katanya kepada Cenderawasih Pos, melalui pesan elektroniknya, Sabtu, (10/11).

“Putusan itu menegaskan semua keraguan yang telah disuarakan korban. Bahwa peradilan itu hanyalah panggung sandiwara yang digelar bukan untuk memberikan keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang sejati.” sambungnya.

Fakta  kata Usman bahwa negara hanya mengadili satu perwira penghubung dengan dakwaan memimpin tentara di lapangan adalah hal yang sedari awal tidak pasti. Sulit dipercaya, terdakwa adalah satu-satunya personel militer yang bertanggung jawab secara pidana atas kekejaman tersebut.

“Pembebasan ini menjadi pengingat bahwa para prajurit yang bertanggung jawab secara pidana dalam penembakan, termasuk pelaku langsung, komandan militer dan atasan lainnya di dalam kekejaman tersebut, masih buron. Keadilan tidak akan pernah tegak jika impunitas dipelihara.” ujarnya.

Baca Juga :  Danrem Pertegas Semua Korban Warga Sipil

Dikatakanya Karena pengadilan mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan namun tanpa pelaku, maka Negara harus segera membuka kembali penyelidikan tragedi Paniai, sehingga semua pelaku diinvestigasi dengan segera, efektif, menyeluruh dan tidak memihak dan, jika ada cukup bukti, diadili dalam persidangan yang adil di hadapan pengadilan yang berkompeten dan adil.

Ia juga menjelaskan bahwa Pada 8 Desember 2022, Pengadilan HAM di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, membebaskan Isak Sattu, mantan perwira militer, dari semua tuduhan kejahatan kemanusiaan pembunuhan sesuai tanggung jawab komando dalam peristiwa di Paniai 2014, Papua. Terdakwa bertugas sebagai petugas penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai saat kejadian.

Kasus Paniai meliputi dua kejadian terpisah di mana aparat keamanan membunuh empat orang dan melukai 21 orang lainnya di Kabupaten Paniai pada tanggal 7 dan 8 Desember 2014.

“Peristiwa 7 Desember 2014 itu merujuk pada penganiayaan yang diduga dilakukan oleh anggota Tim Khusus Yonif 753/AVT terhadap 11 anak-anak asli Papua yang berusia antara 10-16 tahun di Pondok Natal KM 4 Jalan Tol Madi-Enarotali Timur, Kecamatan Paniai, Kabupaten Paniai,” pajutnya.

Sementara itu, dalam peristiwa di Lapangan Karel Gobay, pada 8 Desember 2014, empat warga asli Papua tewas dan 10 lainnya luka-luka akibat tembakan dari markas Komando Rayon Militer (Koramil) Enarotali. Korban termasuk pengunjuk rasa yang memprotes insiden sebelumnya.

Baca Juga :  Hoaks, Aparat Perkosa IRT di Intan Jaya

Dalam putusannya, majelis lima panel itu menegaskan pembunuhan yang dilakukan anggota militer terhadap warga sipil di Paniai merupakan “serangan sistematis” dan karenanya merupakan kejahatan kemanusiaan. Namun, pengadilan berpendapat bahwa Isak, sebagai petugas penghubung, tidak memiliki wewenang efektif untuk mengendalikan pasukan ketika penembakan terjadi pada 8 Desember 2014. Saat itu, kata pengadilan, perintah masih ada di Komandan Sub Enoratoli Komando Distrik Militer (Koramil) meskipun dia tidak ada di kantor saat kejadian.

“Dua dari lima hakim di panel memberikan pendapat berbeda, dengan alasan fakta bahwa terdakwa adalah perwira militer berpangkat tertinggi di Koramil Enarotali menyiratkan bahwa ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kegagalannya mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengawasi dan mengamankan pengetahuan tentang perilaku pasukan, atau setidaknya menginformasikan pelanggaran ke pejabat yang lebih tinggi untuk diselidiki,” katanya.

Selain itu, Usman mengatakan, Korban dan keluarga korban kasus Paniai 2014 sebelumnya mengkritik proses hukum tersebut, dengan alasan Kejaksaan Agung hanya mengadili satu tersangka sementara tidak ada dakwaan yang diajukan terhadap pejabat tinggi keamanan dan mereka yang diduga langsung. pelaku. Mereka juga menolak untuk mengikuti persidangan di pengadilan HAM, (oel).

Berita Terbaru

Artikel Lainnya