Friday, December 12, 2025
25.2 C
Jayapura

Banyak Kasus Pelanggaran HAM Tak Tuntas

JAYAPURA-Masyarakat internasional termasuk Indonesia dan Papua memperingati 77 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang ditetapkan pada 10 Desember 1948. Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, menyampaikan bahwa deklarasi tersebut menjadi fondasi utama lahirnya berbagai instrumen hukum internasional mengenai HAM.

Ia menjelaskan, pada tahun 1966 PBB melahirkan dua instrumen hukum internasional penting, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Indonesia sendiri meratifikasi kedua kovenan tersebut pada tahun 2006. Menurut Syufi, kedua instrumen tersebut memberikan jaminan luas terhadap kebebasan dan martabat manusia, mulai dari hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak mendapatkan peradilan yang adil, hingga kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup hak kerja, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.

Baca Juga :  Masuki Tahun Politik, Papua Mesti Hati hati!

Namun, menurutnya, penerapan prinsip-prinsip HAM internasional di Tanah Papua masih jauh dari harapan. Syufi menilai negara belum melaksanakan kewajibannya secara maksimal, ditandai dengan masih terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM di wilayah tersebut.

Ia menyebut sejumlah praktik yang terus terjadi, seperti pemboman pemukiman sipil, penggunaan kampung sebagai medan perang antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata, hingga ribuan warga yang mengungsi ke hutan maupun kampung terdekat. “Bahkan masyarakat sipil terus dibunuh tanpa henti,” ujarnya Rabu (10/12).

Syufi menjelaskan bahwa kekerasan terhadap masyarakat Papua telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia pada 1 Mei 1963. Pada era Orde Baru, melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), banyak warga sipil menjadi korban pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan penyiksaan.

Baca Juga :  Didorong Punya Dinas Arsip dan Perpustakaan 

Ia menilai, hingga kini ruang demokrasi di Papua masih terbatas. Aksi menyampaikan pendapat secara damai kerap berujung pada penangkapan, intimidasi, atau kekerasan terhadap aktivis dan mahasiswa. Ini merupakan bentuk upaya pembungkaman ruang ekspresi publik,” tandas Thomas Syufi

JAYAPURA-Masyarakat internasional termasuk Indonesia dan Papua memperingati 77 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang ditetapkan pada 10 Desember 1948. Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, menyampaikan bahwa deklarasi tersebut menjadi fondasi utama lahirnya berbagai instrumen hukum internasional mengenai HAM.

Ia menjelaskan, pada tahun 1966 PBB melahirkan dua instrumen hukum internasional penting, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Indonesia sendiri meratifikasi kedua kovenan tersebut pada tahun 2006. Menurut Syufi, kedua instrumen tersebut memberikan jaminan luas terhadap kebebasan dan martabat manusia, mulai dari hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak mendapatkan peradilan yang adil, hingga kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup hak kerja, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.

Baca Juga :  Vaksin Sinovac Diakui WHO

Namun, menurutnya, penerapan prinsip-prinsip HAM internasional di Tanah Papua masih jauh dari harapan. Syufi menilai negara belum melaksanakan kewajibannya secara maksimal, ditandai dengan masih terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM di wilayah tersebut.

Ia menyebut sejumlah praktik yang terus terjadi, seperti pemboman pemukiman sipil, penggunaan kampung sebagai medan perang antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata, hingga ribuan warga yang mengungsi ke hutan maupun kampung terdekat. “Bahkan masyarakat sipil terus dibunuh tanpa henti,” ujarnya Rabu (10/12).

Syufi menjelaskan bahwa kekerasan terhadap masyarakat Papua telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia pada 1 Mei 1963. Pada era Orde Baru, melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), banyak warga sipil menjadi korban pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan penyiksaan.

Baca Juga :  Tetap Pakai Empat Pemain Asing

Ia menilai, hingga kini ruang demokrasi di Papua masih terbatas. Aksi menyampaikan pendapat secara damai kerap berujung pada penangkapan, intimidasi, atau kekerasan terhadap aktivis dan mahasiswa. Ini merupakan bentuk upaya pembungkaman ruang ekspresi publik,” tandas Thomas Syufi

Berita Terbaru

Artikel Lainnya