Akibatnya, tercatat sebanyak 220 orang menjadi korban, terdiri dari 132 meninggal dunia dan 88 orang luka-luka. Jumlah korban terdiri atas, 134 orang warga sipil (77 orang meninggal dunia dan 57 luka-luka), 44 orang TPNPB-OPM (40 orang meninggal dunia dan 4 orang luka-luka), 41 orang aparat keamanan (14 orang meninggal dunia dan 27 orang luka-luka) dan 1 orang WNA meninggal dunia.
“134 orang warga sipil tersebut terdiri dari 4 orang anak meninggal dunia dan 6 orang anak terluka, 7 perempuan meninggal dunia dan 10 perempuan luka-luka serta 64 warga sipil laki-laki dewasa meninggal dunia,” terangnya.
Frits mengatakan, secara faktual, setiap konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai respon atas peristiwa sosial ekonomi maupun kebijakan politik. Di sisi lain, ketegangan maupun konflik bersenjata yang di Papua masih membutuhkan ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta warga terutama OPM.
Atas persoelan yang terjadi, Komnas HAM Perwakilan Papua menyerukan bahwa kondisi ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah untuk segera mengambil langkah konkrit guna mengakhiri atau meminimalisir konflik kekerasan yang terus berulang melalui pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip HAM.
Komnas HAM juga meminta Presiden Prabowo Subiyanto memberikan jaminan keamanan terhadap seluruh warga negara Indonesia yang menetap di wilayah Papua termasuk warga negara asing dengan mengupayakan perbaikan sistem dan tata kelola keamanan yang kondusif dan tidak menggunakan pendekatan keamanan/ sequrity approach.
“Kami mendesak pemerintah menyelesaikan akar permasalahan di Papua dan membangun komitmen yang kuat untuk menginisiasi proses Dialog Kemanusiaan dengan Organisasi Papua Merdeka demi terciptanya Papua sebagai tanah Damai,” tegasnya.
Lainnya, Komnas HAM mendorong Panglima TNI mengevaluasi dan memperbaiki sistem tata kelola keamanan dan penempatan Satuan Tugas (Satgas) TNI di tanah Papua dilakukan oleh Komando Teritorial yang telah memperoleh pembekalan yang cukup mengenai pendidikan dan pengetahuan terkait nilai-nilai dan kearifan lokal, budaya dan karakter wilayah setempat.
Akibatnya, tercatat sebanyak 220 orang menjadi korban, terdiri dari 132 meninggal dunia dan 88 orang luka-luka. Jumlah korban terdiri atas, 134 orang warga sipil (77 orang meninggal dunia dan 57 luka-luka), 44 orang TPNPB-OPM (40 orang meninggal dunia dan 4 orang luka-luka), 41 orang aparat keamanan (14 orang meninggal dunia dan 27 orang luka-luka) dan 1 orang WNA meninggal dunia.
“134 orang warga sipil tersebut terdiri dari 4 orang anak meninggal dunia dan 6 orang anak terluka, 7 perempuan meninggal dunia dan 10 perempuan luka-luka serta 64 warga sipil laki-laki dewasa meninggal dunia,” terangnya.
Frits mengatakan, secara faktual, setiap konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai respon atas peristiwa sosial ekonomi maupun kebijakan politik. Di sisi lain, ketegangan maupun konflik bersenjata yang di Papua masih membutuhkan ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta warga terutama OPM.
Atas persoelan yang terjadi, Komnas HAM Perwakilan Papua menyerukan bahwa kondisi ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah untuk segera mengambil langkah konkrit guna mengakhiri atau meminimalisir konflik kekerasan yang terus berulang melalui pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip HAM.
Komnas HAM juga meminta Presiden Prabowo Subiyanto memberikan jaminan keamanan terhadap seluruh warga negara Indonesia yang menetap di wilayah Papua termasuk warga negara asing dengan mengupayakan perbaikan sistem dan tata kelola keamanan yang kondusif dan tidak menggunakan pendekatan keamanan/ sequrity approach.
“Kami mendesak pemerintah menyelesaikan akar permasalahan di Papua dan membangun komitmen yang kuat untuk menginisiasi proses Dialog Kemanusiaan dengan Organisasi Papua Merdeka demi terciptanya Papua sebagai tanah Damai,” tegasnya.
Lainnya, Komnas HAM mendorong Panglima TNI mengevaluasi dan memperbaiki sistem tata kelola keamanan dan penempatan Satuan Tugas (Satgas) TNI di tanah Papua dilakukan oleh Komando Teritorial yang telah memperoleh pembekalan yang cukup mengenai pendidikan dan pengetahuan terkait nilai-nilai dan kearifan lokal, budaya dan karakter wilayah setempat.