Wednesday, July 3, 2024
26.7 C
Jayapura

Frits Ramandey: Hati-hati Memberikan Restu ke Investor

JAYAPURA – Masyarakat adat suku Awyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Hingga kini masih berjuang untuk mempertahankan hutan adat mereka yang akan dijadikan lahan sawit.

Dalam memperjuangkan hutan adat mereka, Suku Awyu dari Boven Digoel dan Suku Moi dari Sorong Papua Barat menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin (27/5) lalu.

Mereka meminta MA menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit, yang mengambil hutan tempat tinggal masyarakat adat mereka.

Kepala Komnas HAM, Frits Ramandey, mengingatkan pemerintah terutama pejabat di Papua Selatan untuk hati hati dalam memberikan izin terhadap investasi lahan kelapa sawit di daerah tersebut.

“Kami ingatkan pejabat di Papua Selatan hati hati dalam memberikan restu terhadap upaya investasi lahan kelapa sawit,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (5/6)

Menurut Frits, investasi yang menggunakan lahan lahan masyarakat adat atau hutan lindung yang menjadi tempat hidupnya satwa dan tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya bisa diproteksi oleh pemerintah.

Baca Juga :  Anggota DPRP Mulai Khawatir Masuk Gedung Baru

“Karena itu, rencana investasi hanya bisa berlangsung jika ada kesepakatan antara pemerintah baik pusat maupun Papua Selatan. Ini bukan serta merta kesalahan investor saja melainkan ada campur tangan dari pihak negara dalam hal ini pemerintah,” terang Frits.

“Karena itu kami ingatkan Pemerintah Papua Selatan hati hati dalam memberi izin terhadap perluasan kawasan lindung, karena kawasan lindung memiliki manfaat diantaranya tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya, areal keberlangsungan kehidupan satwa dan  perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman bencana,” sambungnya.

Selain itu kata Frits, masyarakat adat harus mengkonsolidasikan diri untuk mengawasi wilayah wilayah adatnya.

“Yang terpenting adalah masyarakat harus bersatu, sebab kerap terjadi perpecahan di dalam  tubuh masyarakat adat/pemilik hak ulayat itu sendiri,” kata Frits.

Baca Juga :  Serahkan DIPA, Gubernur PW: Tugas Kita Bersama Sejahtrakan Masyrakat

Komnas HAM sendiri mempunyai kewajiban dan akan memberikan penguatan terhadap masyarakat adat dalam menjaga kawasan hutan lindung mereka. Dan menjaga hak hak ulayatnya.

“Kami juga akan melakukan pemantauan terhadap pembukaan lahan lahan baru, sebab di Merauke banyak investor yang masuk bukan hanya satu investor. Komnas HAM selama ini  telah memberi trainning terhadap masyarakat adat dan pemilik hak ulayat dalam menjaga wilayah mereka seiring dengan operasi kelapa sawit,” ujarnya.

Lantas apakah hal ini melanggar HAM ? Frits menjelaskan dia akan menjadi pelanggaran HAM jika kemudian ada intervensi negara dalam hal ini pemerintah mengabaikan eksistensi masyarakat adat.

“Yang berpotensi melakukan pelanggaran adalah pemerintah, sebab investor bisa beroperasi di wilayah tersebut jika mendapatkan izin dari pemerintah. Sehingga itu, ketika melanggar maka pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM karena pelanggaran HAM terjadi ada campur tangan negara,” ungkapnya.

JAYAPURA – Masyarakat adat suku Awyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Hingga kini masih berjuang untuk mempertahankan hutan adat mereka yang akan dijadikan lahan sawit.

Dalam memperjuangkan hutan adat mereka, Suku Awyu dari Boven Digoel dan Suku Moi dari Sorong Papua Barat menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin (27/5) lalu.

Mereka meminta MA menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit, yang mengambil hutan tempat tinggal masyarakat adat mereka.

Kepala Komnas HAM, Frits Ramandey, mengingatkan pemerintah terutama pejabat di Papua Selatan untuk hati hati dalam memberikan izin terhadap investasi lahan kelapa sawit di daerah tersebut.

“Kami ingatkan pejabat di Papua Selatan hati hati dalam memberikan restu terhadap upaya investasi lahan kelapa sawit,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (5/6)

Menurut Frits, investasi yang menggunakan lahan lahan masyarakat adat atau hutan lindung yang menjadi tempat hidupnya satwa dan tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya bisa diproteksi oleh pemerintah.

Baca Juga :  55 Atlet Ofisial Terpapar Covid-19, PB PON Lost Contact

“Karena itu, rencana investasi hanya bisa berlangsung jika ada kesepakatan antara pemerintah baik pusat maupun Papua Selatan. Ini bukan serta merta kesalahan investor saja melainkan ada campur tangan dari pihak negara dalam hal ini pemerintah,” terang Frits.

“Karena itu kami ingatkan Pemerintah Papua Selatan hati hati dalam memberi izin terhadap perluasan kawasan lindung, karena kawasan lindung memiliki manfaat diantaranya tempat dimana masyarakat menggantungkan hidupnya, areal keberlangsungan kehidupan satwa dan  perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman bencana,” sambungnya.

Selain itu kata Frits, masyarakat adat harus mengkonsolidasikan diri untuk mengawasi wilayah wilayah adatnya.

“Yang terpenting adalah masyarakat harus bersatu, sebab kerap terjadi perpecahan di dalam  tubuh masyarakat adat/pemilik hak ulayat itu sendiri,” kata Frits.

Baca Juga :  Singgung Pengelolaan Kuangan 1,57 Triliun Tanpa Persetujuan DPRP dan Mendagri

Komnas HAM sendiri mempunyai kewajiban dan akan memberikan penguatan terhadap masyarakat adat dalam menjaga kawasan hutan lindung mereka. Dan menjaga hak hak ulayatnya.

“Kami juga akan melakukan pemantauan terhadap pembukaan lahan lahan baru, sebab di Merauke banyak investor yang masuk bukan hanya satu investor. Komnas HAM selama ini  telah memberi trainning terhadap masyarakat adat dan pemilik hak ulayat dalam menjaga wilayah mereka seiring dengan operasi kelapa sawit,” ujarnya.

Lantas apakah hal ini melanggar HAM ? Frits menjelaskan dia akan menjadi pelanggaran HAM jika kemudian ada intervensi negara dalam hal ini pemerintah mengabaikan eksistensi masyarakat adat.

“Yang berpotensi melakukan pelanggaran adalah pemerintah, sebab investor bisa beroperasi di wilayah tersebut jika mendapatkan izin dari pemerintah. Sehingga itu, ketika melanggar maka pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM karena pelanggaran HAM terjadi ada campur tangan negara,” ungkapnya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya