Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Pendekatan Keamanan Hanya Timbulkan Korban Jiwa

JAYAPURA  Beberapa kejadian dibeberapa titik di tanah Papua yang melibatkan massa maupun aparat keamanan dikatakan selalu berujung pada adanya korban jiwa. Jika tak warga sipil maka aparat keamanan.  Karenanya cara pendekatan yang dilakukan dengan mengerahkan sejumlah pasukan dikatakan tak lagi tepat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Koalisi Kemanusiaan untuk Papua dan Koalisi Honai untuk Papua mencatat bahwa pada 23 Februari 2023  lalu terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan hilangnya setidaknya 12 nyawa oleh aparat keamanan.

Koalisi melihat kejadian yang menewaskan 12 korban tersebut telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) oleh aparat keamanan saat mengendalikan kerusuhan.

Penggunaan senjata api dalam penanganan massa memang dimungkinkan, akan tetapi penggunaannya seharusnya dilakukan secara ketat dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan dan standar operasional yang berlaku.

Lalu penggunaan kekuatan berlebihan di Papua selama ini memperkuat cermin pendekatan keamanan oleh pemerintah. Padahal perlu diingat kembali bahwa status darurat militer dan daerah operasi militer di Papua sejak awal reformasi telah dicabut dan oleh karena itu penanganan massa secara koersif di tengah-tengah sipil harus dihindari.

“Kami mendesak aparat keamanan untuk berhenti menyakiti perasaan warga sipil di Papua dengan berhenti membunuh orang Papua. Negara harus belajar dari peristiwa sebelumnya dimana jatuhnya korban jiwa dalam penanganan massa sebelumnya juga terjadi di beberapa wilayah tahun 2019,” beber Gustaf Kawer, salah satu pengacara  dalam koalisi tersebut.

  Dalam sejarah, tahun 1998 juga terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang mengarah pada pelanggaran ham yang berat. Salah satunya kasus Biak Berdarah yang menewaskan 8 orang meninggal. Ironisnya, kendati penembakan terhadap warga sipil terus terjadi dalam penanganan massa di Papua, hingga kini koalisi menganggap tidak langkah konkret aparat keamanan bahkan aparat keamanan terkesan enggan dalam memutus spiral kekerasan tersebut.

Baca Juga :  Langgar Jam Malam, 426 Warga Dapat Surat Teguran

“Dengan penilaian dan pertimbangan di atas, maka kami juga menegaskan beberapa hal yaitu pertama, peristiwa kericuhan yang terjadi seharusnya dipandang oleh aparat keamanan dalam hal ini kepolisian sebagai pelanggaran hukum dan direspons dengan penegakan hukum (penangkapan) dan bukan malah menembak (eksekusi),” jelas Gustaf.

Hal tersebut karena negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil (the right to a fair trial). Lalu penembakan terhadap kerumunan massa dalam kerusuhan ini dengan dalih mengurai/membubarkan kerusuhan justru kontraproduktif dan menunjukkan abainya negara dalam menjamin hak tersebut

Kedua, setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat keamanan, wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO) dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (BPUFF).

Dalam ketentuan tersebut, penggunaan senjata api merupakan alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia (the “protect-life”-principle), serta harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Di Indonesia kata Gustaf ada beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diakui secara internasional.

Baca Juga :  KPU Provinsi Papua Selatan Ambilalih Tugas KPU Boven 

“Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian,” cecar Gustaf.

Ketiga, jatuhnya belasan korban jiwa dengan mayoritas korban mengalami luka tembak oleh aparat keamanan dengan senjata yang mematikan dalam kerusuhan ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan sudah mengarah ke level yang lebih serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 dan Pasal 9 UU 26/2000.

“Hal tersebut sudah sepatutnya direspons secara aktif oleh Komnas HAM RI untuk memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur pelanggaran HAM berat tersebut,” sarannya.

Keempat, Peristiwa Wamena hanya salah satu dari sekian banyak peristiwa penanganan konflik di Papua yang menimbulkan korban jiwa, kami menilai bahwa pendekatan keamanan terlebih dengan penggunaan kekuatan berlebih hanya akan meningkatkan eskalasi pelanggaran HAM.

“Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah harus mengevaluasi dan menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di Papua. Kami juga mendesak agar presiden memerintahkan kapolri dan Panglima TNI melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap anggota yang diduga terlibat dalam kasus ini,” tegasnya.

Kemudian presiden perlu menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini dijalankan pemerintah di Papua guna memutus spiral kekerasan. Kooalisi juga berharap lembaga negara independen seperti omnas HAM, Ombudsman RI dan , Kompolnassecara aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini sesuai cakupan wewenangnya.

“Kami juga meminta presiden, DPR segera mendorong agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja kepolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel,” tutupnya. (ade/wen)

JAYAPURA  Beberapa kejadian dibeberapa titik di tanah Papua yang melibatkan massa maupun aparat keamanan dikatakan selalu berujung pada adanya korban jiwa. Jika tak warga sipil maka aparat keamanan.  Karenanya cara pendekatan yang dilakukan dengan mengerahkan sejumlah pasukan dikatakan tak lagi tepat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Koalisi Kemanusiaan untuk Papua dan Koalisi Honai untuk Papua mencatat bahwa pada 23 Februari 2023  lalu terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang menyebabkan hilangnya setidaknya 12 nyawa oleh aparat keamanan.

Koalisi melihat kejadian yang menewaskan 12 korban tersebut telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) oleh aparat keamanan saat mengendalikan kerusuhan.

Penggunaan senjata api dalam penanganan massa memang dimungkinkan, akan tetapi penggunaannya seharusnya dilakukan secara ketat dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan dan standar operasional yang berlaku.

Lalu penggunaan kekuatan berlebihan di Papua selama ini memperkuat cermin pendekatan keamanan oleh pemerintah. Padahal perlu diingat kembali bahwa status darurat militer dan daerah operasi militer di Papua sejak awal reformasi telah dicabut dan oleh karena itu penanganan massa secara koersif di tengah-tengah sipil harus dihindari.

“Kami mendesak aparat keamanan untuk berhenti menyakiti perasaan warga sipil di Papua dengan berhenti membunuh orang Papua. Negara harus belajar dari peristiwa sebelumnya dimana jatuhnya korban jiwa dalam penanganan massa sebelumnya juga terjadi di beberapa wilayah tahun 2019,” beber Gustaf Kawer, salah satu pengacara  dalam koalisi tersebut.

  Dalam sejarah, tahun 1998 juga terjadi penggunaan kekuatan berlebihan yang mengarah pada pelanggaran ham yang berat. Salah satunya kasus Biak Berdarah yang menewaskan 8 orang meninggal. Ironisnya, kendati penembakan terhadap warga sipil terus terjadi dalam penanganan massa di Papua, hingga kini koalisi menganggap tidak langkah konkret aparat keamanan bahkan aparat keamanan terkesan enggan dalam memutus spiral kekerasan tersebut.

Baca Juga :  Masih Terbentur Pembagian Alokasi OAP – Non OAP

“Dengan penilaian dan pertimbangan di atas, maka kami juga menegaskan beberapa hal yaitu pertama, peristiwa kericuhan yang terjadi seharusnya dipandang oleh aparat keamanan dalam hal ini kepolisian sebagai pelanggaran hukum dan direspons dengan penegakan hukum (penangkapan) dan bukan malah menembak (eksekusi),” jelas Gustaf.

Hal tersebut karena negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil (the right to a fair trial). Lalu penembakan terhadap kerumunan massa dalam kerusuhan ini dengan dalih mengurai/membubarkan kerusuhan justru kontraproduktif dan menunjukkan abainya negara dalam menjamin hak tersebut

Kedua, setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat keamanan, wajib berpegangan pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO) dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (BPUFF).

Dalam ketentuan tersebut, penggunaan senjata api merupakan alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia (the “protect-life”-principle), serta harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Di Indonesia kata Gustaf ada beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diakui secara internasional.

Baca Juga :  Ini Kondisi Kabupaten Jayapura Paska Sempat Mencekam

“Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian,” cecar Gustaf.

Ketiga, jatuhnya belasan korban jiwa dengan mayoritas korban mengalami luka tembak oleh aparat keamanan dengan senjata yang mematikan dalam kerusuhan ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan sudah mengarah ke level yang lebih serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 dan Pasal 9 UU 26/2000.

“Hal tersebut sudah sepatutnya direspons secara aktif oleh Komnas HAM RI untuk memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur pelanggaran HAM berat tersebut,” sarannya.

Keempat, Peristiwa Wamena hanya salah satu dari sekian banyak peristiwa penanganan konflik di Papua yang menimbulkan korban jiwa, kami menilai bahwa pendekatan keamanan terlebih dengan penggunaan kekuatan berlebih hanya akan meningkatkan eskalasi pelanggaran HAM.

“Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah harus mengevaluasi dan menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di Papua. Kami juga mendesak agar presiden memerintahkan kapolri dan Panglima TNI melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap anggota yang diduga terlibat dalam kasus ini,” tegasnya.

Kemudian presiden perlu menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini dijalankan pemerintah di Papua guna memutus spiral kekerasan. Kooalisi juga berharap lembaga negara independen seperti omnas HAM, Ombudsman RI dan , Kompolnassecara aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini sesuai cakupan wewenangnya.

“Kami juga meminta presiden, DPR segera mendorong agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja kepolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel,” tutupnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya