Thursday, April 25, 2024
25.7 C
Jayapura

23 Kelompok Sipil Bersenjata di Papua

Komnas HAM Selalu Meminta Kedua Belah Pihak Utamakan Kemanusian

JAYAPURA-Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua Frits Ramanday mengungkapkan di Papua rentetan kekerasan terus terjadi dari tahun ke tahun dan terus menerus terjadi kontak tembak yang mengakibatkan korban baik dari pihak yang berseberangan atau juga masyarakat sendiri yang menjadi korban.

Oleh sebab itulah Komnas HAM Papua mencoba melakukan pemetaan dan hasil pemetaan tersebut ada 23 kelompok sipil bersenjata dengan empat panglima.

“Kami coba lakukan pemetaan sebenarnya ada berapa markas kelompok sipil bersenjata dan setelah kami petakan itu ada 23 markas kelompok sipil bersenjata. Dari 23 kelompok sipil bersenjata itu ada empat panglima yang diakui masing-masing kelompok sipil bersenjata,” ungkap Frits Ramandey saat menjadi narasumber pada kegiatan Ngopi Bareng Redaksi di lantai II Gedung Graha Pena Papua, Kamis (6/1).

Dari 23 kelompok sipil bersenjata itu, pihaknya sudah mendatangi 13 markas antara lain di Intan Jaya, di Paniai, Kabupaten Mimika tepatnya di Kali Kopi, Lanny Jaya, Yapen, Mamberamo, Perbatasan Jayapura-PNG dan Demta di Kabupaten Jayapura.

Baca Juga :  KKB Klaim Tembak 16 Anggota Kopasus di Mugi

“Bertemu dengan pimpinannya, kemudian kita bicara dan berkomunikasi dengan baik. Seperti di Intan Jaya bersama Goliat Tabuni dan beliau menyampaikan apa visi dan misi perjuangannya. Saya lihat di Cenderawasih Pos sempat memuat pernyataan itu dan saya sampaikan saya datang baik-baik kemudian kita bicara tentang kekerasan. Dari empat panglima ini sudah menuyerukan kepada anggotanya untuk menghentikan cara-cara kekerasan,”bebernya.

Dilain pihak dirinya juga mengaku bertemu dengan Kapolda Papua, Pangdam XVII/Cenderawasih dan bahkan Kapolri lalu menyampaikan bahwa penanganan dengan kekerasan tidak dibenarkan.

“Rekomendasi kami adalah Komnas HAM bahwa menekan cara-cara kekerasan diubah pendekatannya. Polda dalam hal ini struktur Kepolisian bahwa bagaimana mendorong kepala-kepala daerah yakni bupati untuk berbicara kepada kelompok sipil bersenjata karena ini masyarakat mereka,”tambahnya.

Baca Juga :  Soal DOB, Kabupaten/Kota Diminta Hargai Gubernur, DPRP dan MRP

Mantan jurnalis ini juga menambahkan bahwa setelah kepala daerah didorong bertemu kelompok sipil bersenjata, jangan pula hendaknya langsung kepala daerah distigma bahwa pendukung kelompok sipil bersenjata.

“Kita lihat Puncak Jaya yang dulu markas sangat seram di Tingginambut tapi setelah bupatinya diberi akses kekerasan tersebut bisa ditekan dan ekskalasinya berkurang,”bebernya.

Komnas HAM juga minta kepada TNI untuk kemudian struktur Komando Gabungan Wilayah Pertahanan atau Kogabwilhan III yang bermarkas di Timika hendaknya secara hirarki diberikan kepada Kodam XVII/Cenderawasih dan itu dikabulkan belakangan oleh Menkopulhukam.

“Pemda Provinsi Papua itu menunjuk saya sebagai tim yang kemudian melakukan pemantauan dan negosiasi dan kita bertemu kelompok ini dan mendengarkan apa yang mereka mau. Mereka memang semua meminta perundingan dan juga meminta harus ada pihak ketiga. Namun di sini kami menjelaskan dalam konteks HAM dalam negara berdaulat, dunia internasional tidak bisa mengintervensi,” tutupnya.(gin/fia/nat)

Komnas HAM Selalu Meminta Kedua Belah Pihak Utamakan Kemanusian

JAYAPURA-Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua Frits Ramanday mengungkapkan di Papua rentetan kekerasan terus terjadi dari tahun ke tahun dan terus menerus terjadi kontak tembak yang mengakibatkan korban baik dari pihak yang berseberangan atau juga masyarakat sendiri yang menjadi korban.

Oleh sebab itulah Komnas HAM Papua mencoba melakukan pemetaan dan hasil pemetaan tersebut ada 23 kelompok sipil bersenjata dengan empat panglima.

“Kami coba lakukan pemetaan sebenarnya ada berapa markas kelompok sipil bersenjata dan setelah kami petakan itu ada 23 markas kelompok sipil bersenjata. Dari 23 kelompok sipil bersenjata itu ada empat panglima yang diakui masing-masing kelompok sipil bersenjata,” ungkap Frits Ramandey saat menjadi narasumber pada kegiatan Ngopi Bareng Redaksi di lantai II Gedung Graha Pena Papua, Kamis (6/1).

Dari 23 kelompok sipil bersenjata itu, pihaknya sudah mendatangi 13 markas antara lain di Intan Jaya, di Paniai, Kabupaten Mimika tepatnya di Kali Kopi, Lanny Jaya, Yapen, Mamberamo, Perbatasan Jayapura-PNG dan Demta di Kabupaten Jayapura.

Baca Juga :  Sendimen Terlalu Dalam Jadi Satu Kendala

“Bertemu dengan pimpinannya, kemudian kita bicara dan berkomunikasi dengan baik. Seperti di Intan Jaya bersama Goliat Tabuni dan beliau menyampaikan apa visi dan misi perjuangannya. Saya lihat di Cenderawasih Pos sempat memuat pernyataan itu dan saya sampaikan saya datang baik-baik kemudian kita bicara tentang kekerasan. Dari empat panglima ini sudah menuyerukan kepada anggotanya untuk menghentikan cara-cara kekerasan,”bebernya.

Dilain pihak dirinya juga mengaku bertemu dengan Kapolda Papua, Pangdam XVII/Cenderawasih dan bahkan Kapolri lalu menyampaikan bahwa penanganan dengan kekerasan tidak dibenarkan.

“Rekomendasi kami adalah Komnas HAM bahwa menekan cara-cara kekerasan diubah pendekatannya. Polda dalam hal ini struktur Kepolisian bahwa bagaimana mendorong kepala-kepala daerah yakni bupati untuk berbicara kepada kelompok sipil bersenjata karena ini masyarakat mereka,”tambahnya.

Baca Juga :  Pergeseran Bukan Penambahan

Mantan jurnalis ini juga menambahkan bahwa setelah kepala daerah didorong bertemu kelompok sipil bersenjata, jangan pula hendaknya langsung kepala daerah distigma bahwa pendukung kelompok sipil bersenjata.

“Kita lihat Puncak Jaya yang dulu markas sangat seram di Tingginambut tapi setelah bupatinya diberi akses kekerasan tersebut bisa ditekan dan ekskalasinya berkurang,”bebernya.

Komnas HAM juga minta kepada TNI untuk kemudian struktur Komando Gabungan Wilayah Pertahanan atau Kogabwilhan III yang bermarkas di Timika hendaknya secara hirarki diberikan kepada Kodam XVII/Cenderawasih dan itu dikabulkan belakangan oleh Menkopulhukam.

“Pemda Provinsi Papua itu menunjuk saya sebagai tim yang kemudian melakukan pemantauan dan negosiasi dan kita bertemu kelompok ini dan mendengarkan apa yang mereka mau. Mereka memang semua meminta perundingan dan juga meminta harus ada pihak ketiga. Namun di sini kami menjelaskan dalam konteks HAM dalam negara berdaulat, dunia internasional tidak bisa mengintervensi,” tutupnya.(gin/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya