Thursday, April 25, 2024
25.7 C
Jayapura

Dinilai Melanggar Hukum

*Terkait Pemindahan Buchtar Tabuni Dkk ke Rutan Polda Kaltim 

JAYAPURA- Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buchtar Tabuni dan enam rekannya yang lain yang ditersangkakan dengan Pasal 106 KUHP atau Pasal Makar dikejutkan dengan tindakan pemindahan tersangka dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur yang dilakukan oleh Penyidik Polda Papua pada tanggal 4 Oktober 2019 sebagaimana surat Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan, sikap penyidik Polda Papua yang tidak komunikatif dengan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua terlihat pada 3 Oktober 2019. Dimana saat salah satu penasehat hukum ke Ditreskrimum Polda Papua namun tidak diinformasikan perihal pemindahan tersebut. 

Hal itu dibuktikan lagi pada saat pemindahannya pada tanggal 4 Oktober 2019 tidak didampingi oleh penasehat hukum dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua. 

Terlepas dari itu, pada prinsipnya kebijakan perpindahan pengadilan pemeriksa suatu tindak pidana dari wilayah hukum pengadilan negeri satu ke wilayah hukum pengadilan negeri lain dengan alasan keadaan daerah diatur pada Pasal 85, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab acara Pidana atau yang sering disingkat dengan Pasal 85 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud,” ucapnya sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (4/10).

Emanuel Gobay yang juga mewakili Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menyebutkan, ketidakjelasan dasar hukum itu sampai saat ini Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buchtar Tabuni dan kawan-kawan yang ditersangkakan dengan pasal makar belum mendapatkan informasi terkait status mayoritas tersangka menjadi P-21.

Baca Juga :  Kabupaten Merauke Sita Perhatian

Namun pada tanggal 4 Oktober 2019, Tim Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menerima surat Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019, Perihal : pemberitahuan pemindahan tempat penahanan tersangka atas nama Buchtar Tabuni, Agus Kosay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlay, Hengki Hilapok dan  Irwanus Uropmabin akan dipindahkan tempat penahanannya dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur di Balikpapan. Sambil menunggu penetapan pengalihan tempat persidangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. 

“Berdasarkan status tersangka yang belum P-21 tersebut, tindakan pihak penyidik Polda Papua jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 85 KUHAP. Sebab belum ada pengusulan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura) atau Kepala Kejaksaan Negeri setempat kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk pemindahan Buchtar Tabuni dan rekannya,” paparnya.

Lagipula lanjut, belum ada pengusulan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia untuk mengeluarkan penetapan atau persetujuan untuk pemindahan kepada pengadilan negeri lain. 

Sampai pada pemindahan tersangka Buchtar Tabuni dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur tanggal 4 Oktober 2019 Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia belum menerbitkan Surat Penetapan atau Persetujuan untuk pemindahan tersebut. Atas dasar itu secara jelas menunjukan bahwa Kapolda Papua dan penyidik Polda Papua secara bersama-sama melakukan penyalahgunaan Pasal 85 KUHAP. 

Berdasarkan tindakan penyidik Polda Papua tersebut, secara jelas menunjukan tindakan yang diluar dari arahan Pasal 13 huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf l, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang meliputi  Pasal 13 huruf b : tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum, Pasal 14 ayat (1) hurif l : Dalam melaksanakan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga :  Punya Hak Pilih, Pastikan Terdaftar Dalam DPT

“Atas dasar itu, jelas-jelas membuktikan bahwa Kapolda Papua dan penyidik Polda Papua secara terang-terang melanggar Pasal 6, huruf q, PP Nomor 2 tahun 2003 tentang peratuiran disiplin Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf q : dalam melaksanakan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.

Di tempat terpisah, advokat yang juga terlibat dalam penanganan kasus ini Gustaf Kawer mengatakan Kepolisian semakin tidak profesional, karena sebagai penegak hukum malah melanggar hukum.

“Dalam KUHAP Pasal 85 itu harus ada pengusulan dari Kejaksaan Negeri Jayapura ke ketua Mahkamah Agung dan dilanjutkan ke Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya menerbitkan penetapan persetujuan tempat,” jelasnya.

Selain itu, pemindahan menurut Gustaf Kawer seharusnya diberitahukan kepada pihak keluarga dan penasehat hukum. Namun dalam pemindahan Buchtar Tabuni dkk, baik keluarga maupun penasehat hukum tidak diberitahukan. 

“Nanti saat mau pindah baru kami dapat surat. Untuk itu, kami minta segera dikembalikan ke Papua karena kasusnya di Jayapura. Mahkamah Agung harus menegur Kapolda Papua dan jajarannya karena melanggar hukum,” tegasnya. 

Dikatakan, apabila pemindahan Buchtar Tabuni ddk karena alasan keamanan, hal ini juga dinilai tidak masuk akal. Sebab saat ini menurutnya, sudah ada 5.000-an  aparat sehingga seharusnya sudah aman. 

Terkait pemindahan ini, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menurutnya akan mengambil langkah hukum. “Kita akan pra peradilankan Kapolda Papua dan upaya hukum tetap jalan,” tambahnya. 

“Itu kalau mereka pindahkan, mereka harus pikir kondisi Papua yang berangsur baik ini. Jangan sampai menimbulkan konflik dan saya nilai pemindaan ini akan semakin rawan ke depan. Kita punya otoritas sipil. Gubernur, MRP dan DPRP harus menegaskan kepada aparat agar proses hukum harus dilakukan. Jadi kita punya elit harus bicara. Jangan diam,” tutupnya. (fia/oel/nat)

*Terkait Pemindahan Buchtar Tabuni Dkk ke Rutan Polda Kaltim 

JAYAPURA- Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buchtar Tabuni dan enam rekannya yang lain yang ditersangkakan dengan Pasal 106 KUHP atau Pasal Makar dikejutkan dengan tindakan pemindahan tersangka dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur yang dilakukan oleh Penyidik Polda Papua pada tanggal 4 Oktober 2019 sebagaimana surat Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan, sikap penyidik Polda Papua yang tidak komunikatif dengan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua terlihat pada 3 Oktober 2019. Dimana saat salah satu penasehat hukum ke Ditreskrimum Polda Papua namun tidak diinformasikan perihal pemindahan tersebut. 

Hal itu dibuktikan lagi pada saat pemindahannya pada tanggal 4 Oktober 2019 tidak didampingi oleh penasehat hukum dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua. 

Terlepas dari itu, pada prinsipnya kebijakan perpindahan pengadilan pemeriksa suatu tindak pidana dari wilayah hukum pengadilan negeri satu ke wilayah hukum pengadilan negeri lain dengan alasan keadaan daerah diatur pada Pasal 85, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab acara Pidana atau yang sering disingkat dengan Pasal 85 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud,” ucapnya sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (4/10).

Emanuel Gobay yang juga mewakili Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menyebutkan, ketidakjelasan dasar hukum itu sampai saat ini Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Buchtar Tabuni dan kawan-kawan yang ditersangkakan dengan pasal makar belum mendapatkan informasi terkait status mayoritas tersangka menjadi P-21.

Baca Juga :  Persiapan Panitia Pentahbisan Uskup Jayapura 99 Persen

Namun pada tanggal 4 Oktober 2019, Tim Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menerima surat Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019, Perihal : pemberitahuan pemindahan tempat penahanan tersangka atas nama Buchtar Tabuni, Agus Kosay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlay, Hengki Hilapok dan  Irwanus Uropmabin akan dipindahkan tempat penahanannya dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur di Balikpapan. Sambil menunggu penetapan pengalihan tempat persidangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. 

“Berdasarkan status tersangka yang belum P-21 tersebut, tindakan pihak penyidik Polda Papua jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 85 KUHAP. Sebab belum ada pengusulan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura) atau Kepala Kejaksaan Negeri setempat kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk pemindahan Buchtar Tabuni dan rekannya,” paparnya.

Lagipula lanjut, belum ada pengusulan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia untuk mengeluarkan penetapan atau persetujuan untuk pemindahan kepada pengadilan negeri lain. 

Sampai pada pemindahan tersangka Buchtar Tabuni dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur tanggal 4 Oktober 2019 Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia belum menerbitkan Surat Penetapan atau Persetujuan untuk pemindahan tersebut. Atas dasar itu secara jelas menunjukan bahwa Kapolda Papua dan penyidik Polda Papua secara bersama-sama melakukan penyalahgunaan Pasal 85 KUHAP. 

Berdasarkan tindakan penyidik Polda Papua tersebut, secara jelas menunjukan tindakan yang diluar dari arahan Pasal 13 huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf l, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang meliputi  Pasal 13 huruf b : tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum, Pasal 14 ayat (1) hurif l : Dalam melaksanakan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga :  SMA/SMK Dikembalikan ke Kabupaten/Kota

“Atas dasar itu, jelas-jelas membuktikan bahwa Kapolda Papua dan penyidik Polda Papua secara terang-terang melanggar Pasal 6, huruf q, PP Nomor 2 tahun 2003 tentang peratuiran disiplin Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf q : dalam melaksanakan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.

Di tempat terpisah, advokat yang juga terlibat dalam penanganan kasus ini Gustaf Kawer mengatakan Kepolisian semakin tidak profesional, karena sebagai penegak hukum malah melanggar hukum.

“Dalam KUHAP Pasal 85 itu harus ada pengusulan dari Kejaksaan Negeri Jayapura ke ketua Mahkamah Agung dan dilanjutkan ke Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya menerbitkan penetapan persetujuan tempat,” jelasnya.

Selain itu, pemindahan menurut Gustaf Kawer seharusnya diberitahukan kepada pihak keluarga dan penasehat hukum. Namun dalam pemindahan Buchtar Tabuni dkk, baik keluarga maupun penasehat hukum tidak diberitahukan. 

“Nanti saat mau pindah baru kami dapat surat. Untuk itu, kami minta segera dikembalikan ke Papua karena kasusnya di Jayapura. Mahkamah Agung harus menegur Kapolda Papua dan jajarannya karena melanggar hukum,” tegasnya. 

Dikatakan, apabila pemindahan Buchtar Tabuni ddk karena alasan keamanan, hal ini juga dinilai tidak masuk akal. Sebab saat ini menurutnya, sudah ada 5.000-an  aparat sehingga seharusnya sudah aman. 

Terkait pemindahan ini, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menurutnya akan mengambil langkah hukum. “Kita akan pra peradilankan Kapolda Papua dan upaya hukum tetap jalan,” tambahnya. 

“Itu kalau mereka pindahkan, mereka harus pikir kondisi Papua yang berangsur baik ini. Jangan sampai menimbulkan konflik dan saya nilai pemindaan ini akan semakin rawan ke depan. Kita punya otoritas sipil. Gubernur, MRP dan DPRP harus menegaskan kepada aparat agar proses hukum harus dilakukan. Jadi kita punya elit harus bicara. Jangan diam,” tutupnya. (fia/oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya