JAYAPURA – Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), mengklaim tren kekerasan di tanah Papua terus meningkat meski telah adanya Daerah Otonomi Baru (DOB). Hal ini dibarengi dengan senjata yang moderen begitu juga dengan bentuk bentuk operasi dari segi kuantitas dan kualitas.
Bahkan, Komnas HAM Papua mencatat, sepanjang Januari hingga Juni tahun 2024 ada 41 kasus kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di tanah Papua. Puluhan kasus kekerasan tersebut didominasi oleh peristiwa kontak senjata dan penembakan (serangan tunggal) sebanyak 25 kasus, penganiayaan sebanyak 10 kasus dan pengerusakan sebanyak 7 kasus. Dimana satu peristiwa bisa menimbulkan lebih dari satu tindakan kekerasan.
“Dari jumlah kasus kekerasan tersebut, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi yaitu 8 kasus, diikuti Paniai dan Yahukimo sebanyak 6 kasus,” terang Kepala Komnas HAM, Frits Ramandey dalam keterangan persnya kepada wartawan, Senin (3/6).
Lanjut Frits, kemudian ada Kabupaten Puncak sebanyak 5 kasus, Pegunungan Bintang dan Nabire masing-masing sebanyak 3 kasus, Puncak Jaya, Keerom dan Jayawijaya masing-masing sebanyak 2 kasus dan Dogiyai, Jayapura, Mimika dan Maybrat masing-masing sebanyak 1 kasus.
“Dari catatan kami, kekerasan tersebut menyebabkan 53 orang menjadi korban diantaranya 32 orang meninggal dunia dan 21 orang luka-luka yang terdiri dari 28 orang warga sipil (12 orang meninggal dunia dan 16 orang luka-luka),” terangnya.
Lainnya, sebanyak 13 orang TPNPB-OPM (11 orang meninggal dunia dan 2 orang luka-luka) serta 11 orang aparat keamanan (9 orang meninggal dunia dan 3 orang luka-luka).
Frits menjelaskan, 28 orang warga sipil tersebut terdiri dari 1 orang anak meninggal dunia dan 1 orang anak terluka. Dimana 1 perempuan meninggal dunia dan 3 perempuan luka-luka serta 10 warga sipil laki-laki dewasa meninggal dunia dan 12 orang warga sipil laki-laki dewasa luka-luka.
“Sebanyak 11 orang aparat keamanan terdiri dari anggota TNI sebanyak 5 orang meninggal dunia dan 1 orang luka-luka. Sementara 4 anggota Polri meninggal dunia dan 2 orang luka-luka. Selain itu berbagai kekerasan tersebut juga menimbulkan adanya gelombang pengungsian serta kerusakan sejumlah bangunan, kendaraan dan pesawat,” ujarnya.
Secara faktual kata Frits, setiap konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai respon atas peristiwa sosial ekonomi maupun kebijakan politik. Disisi lain, ketegangan maupun konflik bersenjata yang terjadi di Papua membutuhkan ruang-ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat maupun kelompok sipil yang berseberangan yaitu TPNPB-OPM.
“Tantangan utama bagi pemerintah RI saat ini adalah membangun kepercayaan rakyat Papua dengan menumbuhkan persamaan, kesetaraan, penegakan hukum yang adil dan non-diskriminatif sebagai upaya membangun ekosistem damai menuju dialog kemanusiaan,” kata Frits.