Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Kasus Koya Barat Murni Kriminal

JUMPA PERS: Permufakatan dan pimpinan umat Islam beserta Ormas di Provinsi Papua saat mengadakan jumpa pers di LPTQ Kotaraja, Minggu (3/3).( FOTO : Takim/Cepos)

JAYAPURA-Ketua Umum Majelis Umat Islam (MUI)  Provinsi Papua, KH. Syaiful Islam Al Payage, SH., mengatakan bahwa terkait aksi yang dilakukan JUT dengan kelompoknya di Koya Barat, Distrik Muara Tami, beberapa waktu lalu, merupakan aksi murni kriminal. 

Ustadz Syaiful Payage berharap aksi yang dilakukan JUT bersama pengikutnya yang yelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua, tidak dianggap sebagai aksi umat Islam atau mengatasnamakan umat Islam. Sebab tindakan tersebut murni tindakan kriminal.

“Umat Muslim dan Kristen juga umat beragama lainnya sangat menanti dan mendukung proses hukum yang dijatuhkan kepada JUT bersama kelompoknya. Dimana aksi yang meraka lakukan merupakan murni kriminal,” ungkapnya dalam jumpa pers yang dilaksanakan Permufakatan dan Pimpinan Umat Islam di Provinsi Papua di  LPTQ Kotaraja, Minggu (3/3).

Ustadz Syaiful Payage menyatakan bahwa dirinya juga akan turut hadir dalam aksi damai Persekutuan Gereja-Gereja yang akan menyampaikan beberapa aspirasi seperti mendukung proses hukum yang mengatasnamakan suatu agama, upaya untuk menciptakan dan meningkatkan toleransi antara umat beragama.

“Sejumlah pimpinan rohani kegamaan Islam di Provinsi Papua mengatakan dengan tegas bahwa JUT harus dipulangkan dari tanah Papua. Dimana peristiwa tersebut merupakan yang kedua kali setelah tahun 2015 lalu,” tegasnya.

Ustadz Syaiful Payage juga mengakui bahwa beberapa tahun lalu MUI pernah memangil JUT untuk tidak melanjutkan pembangunanya namun JUT keras kepala dan sampai saat ini masih berada di tanah Papua.

Di tempat yang sama Dewan Penasehat MMP, H. Arobi Aituarauw mengatakan untuk mengusir JUT dari Papua merupakan tanggung jawab besar pihak keamanan dan juga pemerintah. Mengingat para petinggi umat Islam di tanah Papua tidak punya wewenang untuk mengusir JUT secara langsung.

“Kami berharap pemerintah harus bertindak tegas dalam mempelajari kasus JUT saat ini, karena sangat meresahkan masyarakat banyak,” paparnya.

Dimana sesuai kesepakatan bersama diharapkan setelah proses JUT sudah selesai diharapkan dengan segera untuk dipulangkan atau diusir dari tanah Papua dan juga pesantren yang telah dibangunnya juga harus digusur semua.

Hal ini dilakukan untuk menghilangkan jejak-jejak yang sudah dirawat oleh JUT selama berada di tanah Papua. Sebab jika tidak dituntaskan, maka ada kemungkinan besar ilmu yang diajarkan oleh JUT terhadap santrinya akan bertumbuh dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan hal-hal serupa yang dialami saat ini.

“Saya berharap aparat harus jeli melihat persolan ini. Jangan hanya fokus kepada JUT saja namun harus diselidiki dengan tuntas benih-benih yang sudah diajarkannya juga harus dibubarkan dari tanah Papua,”tegasnya.

Sementara itu  Rektor Yai in Fataim Huluk juga selaku Ketua Badan Kordinasi Masyarakat Ulama Provinsi Papua,  Idrus Al Hamid menjelaskan bahwa jika belajar dari dinamika sebelumnya seperti peristiwa serupa pada tahun 2015, dimana pemerintah seharusnya hadir dalam peristiwa tersebut untuk melindungi komunitas masyarakat yang berada di daerah komunal. Karena potensi masuknya idiologi kekerasan pada daerah komunal yang merupakan fakta kekinian di kota-kota besar pergerakannya merak dan sudah dipantau. 

Baca Juga :  Palang Jalan Holtekamp Akhirnya Dibuka

Pihaknya ingin menegaskan kepada pemerintah yang bertangung jawab langsung terhadap keberadaan JUT tersebut dimana ada beberapa peraturan yang terkait langsung dengan kewajibann setiap Mubalik untuk tidak boleh menyampaikan ujaran kebencian. 

“Nah pada bagian ini aparat penegak hukum untuk bisa membuktikan bahwa kelompok JUT tersebut serta merta di tengah masyarakat dengan pola dakwah dengan serta merta ujaran kebencian,” tuturnya. 

Secara kelembagaan pihaknya meminta kepada Kapolda Papua untuk secara tegas dan melihat peristiwa saat ini terjadi yang mungkin saja apabila dibiarkan akan ditakutkan tersebar ke persolan yang lebih besar. 

“Kami sadar benar bahwa dari dulu sampai sekarang para Mubalik di tanah Papua adalah para Mubalik yang dari penyampainya cukup moderat tidak pernah ada ujaran kebencian. Namun semua itu terbalik dimana saat ini ada kelompok dengan salah pemahaman lalu mencoba untuk mengklaim idiologi keagamaan selain agama lain bahkan di dalam Islam pun yang mengklem ada memiliki ada perbedan perbedaan,” tandasnya.

“Ini proses hukum harus sampai dengan tuntas dan tidak boleh dibiarkan sebab akan ditakutkan akan menimbulkan persolan yang lebih besar lagi,” sambungnya.

Dimana terkait JUT di tanah Papua menurutnya merupakan suatu persolan yang bukan asing lagi bagi masyarakat Papua. Meningat pernah terjadi peristiwa serupa pada tahun 2015 silam. Dalam peristiwa tersebut semua elemen masyarakat meminta kepada pemerintah atau pihak keamanaan untuk mengusir JUT namun nyatanya sampai saat ini JUT masih berada di tanah Papua dan kembali dihebohkan dengan peristiwa di Koya Barat. 

Menurutnya, ini akan menjadi pertanyaan publik, apakah permintaan masyarakat atau semua elemen tersebut tidak dihiraukan oleh JUT atau atau keberadaan pemerintah dalam menanggapi permintaan masyarakat tersebut seperti apa, mengingat keberagaman yang ada di Papua saat ini  merupakan satu kesatuan yang sangat kokoh, namun sayangnya masih ada saja orang orang yang tidak terpisahkan.

Sementara itu, aksi demo damai yang bertujuan menolak keberadaan JUT serta paham yang diajarkannya di tanah Papua, akan digelar di Kota Jayapura, pada Senin (4/2) harti ini. Dimana demo damai ini melibatkan seluruh umat beragama dari berbagai lintas agama serta organisasi kemasyarakatan yang ada di Provinsi Papua yang dikoordinir oleh Pdt John Baransano selaku koordinator lapangan.  

Baca Juga :  Terima kasih Sudah Kelola Otsus dengan Segala Dinamikanya

Adapun titik kumpul dimulai dari Taman Imbi Kota Jayapura sekitar pukul 09.00 WIT, dan long march akan berakhir di halaman kantor Gubernur Provinsi Papua. 

Semua umat beragama akan menyampaikan tuntutannya secara tertulis kepada Gubernur Lukas Enembe, berisi penolakan terhadap JUT dan paham yang diajarkannya. Bahkan massa akan meminta JUT untuk angkat kaki dari Papua, sesuai hasil rekomendasi rapat antar pimpinan lintas umat beragama yang digelar di Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP), Sabtu (2/3).

Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua, Thaha Al Hamid mengatakan demo ini dilaksanakan atas pergumulan atau ancaman kerukunan yang selama ini terjadi di Provinsi Papua, semenjak hadirnya JUT serta pengikutnya di Tanah Papua. Sebab, kelompok ini dinilai intoleran dan tidak mau berbaur. Bahkan dianggap mengajarkan pengikutnya untuk membenci ajaran agama lain.       

“Selama ini kami membaca tanda-tanda bahwa memang JUT ini adalah musuh bersama kelompok umat beragama di tanah Papua, Jafar ini tidak pantas lagi tinggal di tanah Papua yang visinya tanah damai,” kata Thaha Al Hamid usai rapat tertutup antar pimpinan umat beragama.

Ditetapkannya JUT dan enam pengikutnya sebagai tersangka oleh Polda Papua atas pengerusakan rumah warga di Koya Barat, Distrik Muara Tami, Rabu (27/2) lalu harus diproses sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Dirinya memberikan apresiasi kepada pihak Kepolisian yang cepat menangani kasus tersebut.

“Aksi ini bukanlah parsial, tetapi gerakan kita bersama untuk menolak paham yang mengancam kedamaian di Papua,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua PGGP Kota Jayapura, Pdt. Dr. James Wambraw mengakui bahwa perilaku JUT selama ini dianggap aneh oleh sesama pimpinan umat baik dalam Forum Kerukunan Umat Beragama maupun di kalangan masyarakat. Sejak awal masuknya Injil yang dibawakan misionaris Otto dan Geisler ke tanah Papua, kerukunan antar umat beragama telah terjalin. 

“JUT ini bisa disebut sebagai persona non grata, artinya orang yang jahat, tidak membangun kebersamaan. Kerukunan antar umat beragama yang terjalin selama ini di tanah Papua ini mau dihancurkan kelompok ini,” tegas Pdt. James.

Dirinya meminta kepada pihak pemerintah baik provinsi maupun kabupaten untuk tegas, dengan membongkar bangunan ibadah yang tidak memiliki izin dari instansi terkait. Sementara terkait kasus yang dialami JUT, menurutnya harus diselesaikan di Polda Papua, bukan di tempat lain. (kim/fia/nat)

JUMPA PERS: Permufakatan dan pimpinan umat Islam beserta Ormas di Provinsi Papua saat mengadakan jumpa pers di LPTQ Kotaraja, Minggu (3/3).( FOTO : Takim/Cepos)

JAYAPURA-Ketua Umum Majelis Umat Islam (MUI)  Provinsi Papua, KH. Syaiful Islam Al Payage, SH., mengatakan bahwa terkait aksi yang dilakukan JUT dengan kelompoknya di Koya Barat, Distrik Muara Tami, beberapa waktu lalu, merupakan aksi murni kriminal. 

Ustadz Syaiful Payage berharap aksi yang dilakukan JUT bersama pengikutnya yang yelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua, tidak dianggap sebagai aksi umat Islam atau mengatasnamakan umat Islam. Sebab tindakan tersebut murni tindakan kriminal.

“Umat Muslim dan Kristen juga umat beragama lainnya sangat menanti dan mendukung proses hukum yang dijatuhkan kepada JUT bersama kelompoknya. Dimana aksi yang meraka lakukan merupakan murni kriminal,” ungkapnya dalam jumpa pers yang dilaksanakan Permufakatan dan Pimpinan Umat Islam di Provinsi Papua di  LPTQ Kotaraja, Minggu (3/3).

Ustadz Syaiful Payage menyatakan bahwa dirinya juga akan turut hadir dalam aksi damai Persekutuan Gereja-Gereja yang akan menyampaikan beberapa aspirasi seperti mendukung proses hukum yang mengatasnamakan suatu agama, upaya untuk menciptakan dan meningkatkan toleransi antara umat beragama.

“Sejumlah pimpinan rohani kegamaan Islam di Provinsi Papua mengatakan dengan tegas bahwa JUT harus dipulangkan dari tanah Papua. Dimana peristiwa tersebut merupakan yang kedua kali setelah tahun 2015 lalu,” tegasnya.

Ustadz Syaiful Payage juga mengakui bahwa beberapa tahun lalu MUI pernah memangil JUT untuk tidak melanjutkan pembangunanya namun JUT keras kepala dan sampai saat ini masih berada di tanah Papua.

Di tempat yang sama Dewan Penasehat MMP, H. Arobi Aituarauw mengatakan untuk mengusir JUT dari Papua merupakan tanggung jawab besar pihak keamanan dan juga pemerintah. Mengingat para petinggi umat Islam di tanah Papua tidak punya wewenang untuk mengusir JUT secara langsung.

“Kami berharap pemerintah harus bertindak tegas dalam mempelajari kasus JUT saat ini, karena sangat meresahkan masyarakat banyak,” paparnya.

Dimana sesuai kesepakatan bersama diharapkan setelah proses JUT sudah selesai diharapkan dengan segera untuk dipulangkan atau diusir dari tanah Papua dan juga pesantren yang telah dibangunnya juga harus digusur semua.

Hal ini dilakukan untuk menghilangkan jejak-jejak yang sudah dirawat oleh JUT selama berada di tanah Papua. Sebab jika tidak dituntaskan, maka ada kemungkinan besar ilmu yang diajarkan oleh JUT terhadap santrinya akan bertumbuh dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan hal-hal serupa yang dialami saat ini.

“Saya berharap aparat harus jeli melihat persolan ini. Jangan hanya fokus kepada JUT saja namun harus diselidiki dengan tuntas benih-benih yang sudah diajarkannya juga harus dibubarkan dari tanah Papua,”tegasnya.

Sementara itu  Rektor Yai in Fataim Huluk juga selaku Ketua Badan Kordinasi Masyarakat Ulama Provinsi Papua,  Idrus Al Hamid menjelaskan bahwa jika belajar dari dinamika sebelumnya seperti peristiwa serupa pada tahun 2015, dimana pemerintah seharusnya hadir dalam peristiwa tersebut untuk melindungi komunitas masyarakat yang berada di daerah komunal. Karena potensi masuknya idiologi kekerasan pada daerah komunal yang merupakan fakta kekinian di kota-kota besar pergerakannya merak dan sudah dipantau. 

Baca Juga :  Terima kasih Sudah Kelola Otsus dengan Segala Dinamikanya

Pihaknya ingin menegaskan kepada pemerintah yang bertangung jawab langsung terhadap keberadaan JUT tersebut dimana ada beberapa peraturan yang terkait langsung dengan kewajibann setiap Mubalik untuk tidak boleh menyampaikan ujaran kebencian. 

“Nah pada bagian ini aparat penegak hukum untuk bisa membuktikan bahwa kelompok JUT tersebut serta merta di tengah masyarakat dengan pola dakwah dengan serta merta ujaran kebencian,” tuturnya. 

Secara kelembagaan pihaknya meminta kepada Kapolda Papua untuk secara tegas dan melihat peristiwa saat ini terjadi yang mungkin saja apabila dibiarkan akan ditakutkan tersebar ke persolan yang lebih besar. 

“Kami sadar benar bahwa dari dulu sampai sekarang para Mubalik di tanah Papua adalah para Mubalik yang dari penyampainya cukup moderat tidak pernah ada ujaran kebencian. Namun semua itu terbalik dimana saat ini ada kelompok dengan salah pemahaman lalu mencoba untuk mengklaim idiologi keagamaan selain agama lain bahkan di dalam Islam pun yang mengklem ada memiliki ada perbedan perbedaan,” tandasnya.

“Ini proses hukum harus sampai dengan tuntas dan tidak boleh dibiarkan sebab akan ditakutkan akan menimbulkan persolan yang lebih besar lagi,” sambungnya.

Dimana terkait JUT di tanah Papua menurutnya merupakan suatu persolan yang bukan asing lagi bagi masyarakat Papua. Meningat pernah terjadi peristiwa serupa pada tahun 2015 silam. Dalam peristiwa tersebut semua elemen masyarakat meminta kepada pemerintah atau pihak keamanaan untuk mengusir JUT namun nyatanya sampai saat ini JUT masih berada di tanah Papua dan kembali dihebohkan dengan peristiwa di Koya Barat. 

Menurutnya, ini akan menjadi pertanyaan publik, apakah permintaan masyarakat atau semua elemen tersebut tidak dihiraukan oleh JUT atau atau keberadaan pemerintah dalam menanggapi permintaan masyarakat tersebut seperti apa, mengingat keberagaman yang ada di Papua saat ini  merupakan satu kesatuan yang sangat kokoh, namun sayangnya masih ada saja orang orang yang tidak terpisahkan.

Sementara itu, aksi demo damai yang bertujuan menolak keberadaan JUT serta paham yang diajarkannya di tanah Papua, akan digelar di Kota Jayapura, pada Senin (4/2) harti ini. Dimana demo damai ini melibatkan seluruh umat beragama dari berbagai lintas agama serta organisasi kemasyarakatan yang ada di Provinsi Papua yang dikoordinir oleh Pdt John Baransano selaku koordinator lapangan.  

Baca Juga :  Pembunuh ASN RSUD Jayapura Terkuak

Adapun titik kumpul dimulai dari Taman Imbi Kota Jayapura sekitar pukul 09.00 WIT, dan long march akan berakhir di halaman kantor Gubernur Provinsi Papua. 

Semua umat beragama akan menyampaikan tuntutannya secara tertulis kepada Gubernur Lukas Enembe, berisi penolakan terhadap JUT dan paham yang diajarkannya. Bahkan massa akan meminta JUT untuk angkat kaki dari Papua, sesuai hasil rekomendasi rapat antar pimpinan lintas umat beragama yang digelar di Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP), Sabtu (2/3).

Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua, Thaha Al Hamid mengatakan demo ini dilaksanakan atas pergumulan atau ancaman kerukunan yang selama ini terjadi di Provinsi Papua, semenjak hadirnya JUT serta pengikutnya di Tanah Papua. Sebab, kelompok ini dinilai intoleran dan tidak mau berbaur. Bahkan dianggap mengajarkan pengikutnya untuk membenci ajaran agama lain.       

“Selama ini kami membaca tanda-tanda bahwa memang JUT ini adalah musuh bersama kelompok umat beragama di tanah Papua, Jafar ini tidak pantas lagi tinggal di tanah Papua yang visinya tanah damai,” kata Thaha Al Hamid usai rapat tertutup antar pimpinan umat beragama.

Ditetapkannya JUT dan enam pengikutnya sebagai tersangka oleh Polda Papua atas pengerusakan rumah warga di Koya Barat, Distrik Muara Tami, Rabu (27/2) lalu harus diproses sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Dirinya memberikan apresiasi kepada pihak Kepolisian yang cepat menangani kasus tersebut.

“Aksi ini bukanlah parsial, tetapi gerakan kita bersama untuk menolak paham yang mengancam kedamaian di Papua,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua PGGP Kota Jayapura, Pdt. Dr. James Wambraw mengakui bahwa perilaku JUT selama ini dianggap aneh oleh sesama pimpinan umat baik dalam Forum Kerukunan Umat Beragama maupun di kalangan masyarakat. Sejak awal masuknya Injil yang dibawakan misionaris Otto dan Geisler ke tanah Papua, kerukunan antar umat beragama telah terjalin. 

“JUT ini bisa disebut sebagai persona non grata, artinya orang yang jahat, tidak membangun kebersamaan. Kerukunan antar umat beragama yang terjalin selama ini di tanah Papua ini mau dihancurkan kelompok ini,” tegas Pdt. James.

Dirinya meminta kepada pihak pemerintah baik provinsi maupun kabupaten untuk tegas, dengan membongkar bangunan ibadah yang tidak memiliki izin dari instansi terkait. Sementara terkait kasus yang dialami JUT, menurutnya harus diselesaikan di Polda Papua, bukan di tempat lain. (kim/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya