Korban dan keluarga korban Enggan Terima Kompensasi yang Diberikan Negara
JAYAPURA – Korban dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Wamena 4 April menolak dialog dengan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Sebagaimana Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu mengunjungi Wamena dan bertemu dengan para korban termasuk Linus Hiluka pada Jumat (11/11) lalu.
Korban Pelanggaran HAM Berat Wamena, Linus Hiluka menyebut tim tersebut datang menawarkan korban dan keluarga korban terima kompensasi rehabilitasi nama baik negara.
“Korban dan keluarga korban menolak kompensasi dari tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Namun meminta Presiden membuka meja perundingan perspektif HAM yang dimediasi oleh pihak ketiga dalam hal ini Komisi HAM PBB,” kata Linus Hiluka saat memberikan keterangannya kepada Cenderawasih Pos, Sabtu (12/11)
Ada pun alasan menolak lantaran kasus pelangaran HAM di Wamena jika diselesaikan dengan sebatas terima kompensasi dari negara, lantas bagaimana dengan kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di Papua.
“Pelanggaran HAM di Papua semua unsur poltik yang dilandasi oleh pergerakan Papua Meredeka, sehingga kami tidak bisa menerima kompensasi yang diberikan demi memulihkan nama baik negara di mata dunia atas pelanggaran HAM yang dilakukan di tanah Papua,” tegasnya.
Sebagaimana dalam pernyataan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat Wamena 4 April yang bertanda tangan Hosea Murib (54) sebagai Pendeta dan Linus Hiluka (55) sebagai petani.
Dalam pernyataan sikapnya, dimana pada 4 April 2003 pukul 01.00 WIT, sekelompok massa tak dikenal membobol Gundang Senjata Markas Komando Distrik Makodim 1702 Kabupaten Jayawijaya Wamena. Pembobolan Gudang Senjata disertai dengan penyerangan yang menyebabkan dua anggota personel Kodim yakni Lettu TNI AD Napitupulu dan Penjaga Gudang Senjata Ruben Kana mengalami luka-luka. Serta dari pihak penyerang satu orang tewas dan satu orang lagi mengalami luka berat.
Saat kejadian tersebut, kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi hingga terjadi operasi besar-besaran untuk pencarian pelaku dan sejumah pucuk senjata dan Amunisi. Dalam operasinya, TNI telah menyebarkan ketakutan dan situasi didusun Prabaga, Yoggime, dan Alogonik diserta pengerusakan dan penghilangan harta milik masyarakat.
Setelah operasi pengejaran tersebut mengakibatkan penangkapan dan penahanan sewenang wenang terhadap Kanius Murib, Yaprai Murib, Numbung Telenggen, Kimanus Wenda Linus Hiluka kemudian divonis bersalah dengan hukuman penjara seumur hidup.
“Michael Heselo, yang juga divonis dengan hukuman penjara seumur hidup dan meninggal dalam tahanan di LP Maksar,” kata Linus Hiluka.
Mereka dituduh dengan pasal makar KUHP. Saat itu penangkapan dan Penahanan hingga proses hukum dan Vonis terhadap Kimanus Wenda Cs tidak mengedepankan asas legalitas (Praduga tak bersalah), terutama menyangkut penahanan dan penangkapan yang dilakukan sewenang-wenang baik yang dilakukan oleh TNI dan Polri.
Pada saat pemeriksaan tidak diberitahukan tentang hak-hak mereka selaku tersangka. Bahkan pada pemeriksaan awal tidak didampingi oleh penasehat hukum padahal pasal yang dikenakan ancaman pidananya di atas 5 tahun, Kimanus pun tidak fasih berbahasa Indonesia saat itu, setelah divonis, dibawah tekanan TNI dan Polri tanpa diberitahukan kepada keluarga, langsung dipindakan secara paksa ke LP Kelas 1 A Gunung Sari Makasar pada pertengahan Desember 2003 Via Hercules TNI AU.
Kurang lebih setahun Komnas HAM mengeluarkan Laporan KPP HAM Wamena penyelidikan pro Justicia atas dugaan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan untuk kasus Wamena 4 April 2003. Peristiwa terjadi secara masif, massal, dan meluas di Wamena sampai ke Kuyawage.
Rupanya sudah menjadi kebiasaan apabila para penuntut umum di Kejaksaan Agung selalu mempertanyakan bukti formil dan materiil kasus Wamena 4 April 2003 terhadap Komnas HAM, tidak jauh beda dengan kasus Abepura serta kasus-kasus Pelanggaran HAM berat lainnya. Pada awalnya pada tahun 2004, sampai di tahun 2006 Jaksa Agung berjanji untuk menyelesaikan berdebatan syarat formil dan materiilnya laporan Komnas HAM tersebut.
Lalu tahun 2008 Komnas HAM menyatakan bahwa pengembalian berkas dan petunjuk yang dikembalikan kejaksaan Agung sama sekali tidak berdasar. Parahnya pada tahun 2012 Komnas HAM dan Kejaksaan Agung tidak ada kemauan untuk menyelesaikan laporan pelanggaran HAM Berat Wamena, 4 April 2003 yang sedang diharap-harapkan oleh masyarakat atau keluarga korban termasuk para narapidana Politik sebagai tertuduh dari peristiwa tersebut.
Adapun fakta proses hukum kasus Wamena tersebut sangat jauh melenceng dari Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM. Sebagaimana di Pasal V ayat 22 disebutkan dalam melakukan penyelidikan segera menyelesaikan dalam jangka waktu 90 hari + 90 hari + 60 hari yang disetujui Ketua Pengadilan HAM.
Apabila jangka waktu tersebut tidak dipenuhi maka Jaksa Agung segera mungkin mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Jaksa Agung jelas melanggar ketentuan yang ada di Undang-Undang. Siapa yang mempersoalkan Kejaksaan Agung dalam pelanggaran Undang-Undang Tahun 2000 menjadi bukti bahwa negara tidak serius dapat membantu memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
Sehingga itu, korban dan keluarga korban menyatakan sikap yakni 1. Kami korban dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat Wamena 4 April 2003 menolak tidak menerima segala bentuk tawaran dari Pemerintah Indonesia, termasuk yudisial dan non yudisial. Untuk mencegah agar pelanggaran HAM serupa tidak terulang di masa yang akan datang, maka kami keluarga korban dan korban minta perundingan persfektif HAM yang difasilitasi oleh Dewan HAM PBB.
2. Korban dan keluarga korban mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Komisi Dewan HAM PBB dan Wartawan Internasional untuk melakukan pemantauan kasus pelanggaran HAM Berat Wamena dan kasus pelanggaran HAM lainnya di tanah Papua.
3. Korban dan keluarga korban sebagai warga negara menyesal dengan sikap pemerintah Indonesia yang tidak pernah terbuka dan transparan menyampaikan perkembangan proses hukum kasus yang dimaksud. Sedangkan Pemerintah Indonesia menyampaikan kepada masyarakat internasional telah menagani kasus pelanggaran HAM masa lalu, Wamena, Wasior dan Paniai, Sedangkan keluarga korban dan korban belum pernah mengetahui proses penyelesaiannya.
4. Korban dan keluarga korban menyesal dengan sikap pemerintah Indonesia, yang mana selalu membangun isu yang tidak benar, terhadap masyarakat Internasional termasuk PBB bahwa seolah-olah kasus Pelanggaran HAM berat Wamena 4 April 2003 sedang ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan korban belum pernah mendapatkan informasih terkait proses penyelesaian kasus tersebut.
Sekedar diketaui, Keputusan Presiden RI Joko Widodo nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisia Pelanggaran HAM Berat masa lalu menimbang bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.
Bahwa untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu secara independen,objektif, cermat, adil dan tuntas, diperlukan upaya alternatif selain mekanisme yudisial dengan mengungkapkan pelanggaran yang terjadi, guna mewujudkan penghargaan atas nilai hak asasi manusia sebagai upaya rekonsiliasi untuk menjaga persatuan nasional.
Mengingat Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 281 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 165, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor3886).
Adapun Tim PPHAM dalam Pasal 1 mempunyai tugas melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020.
Merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya dan merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Dalam Pasal 4 merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3huruf b dapat berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa dan/atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya. (fia/wen)