Di Balik Keberhasilan Nglanggeran Jadi Desa Wisata Terbaik Dunia
Tantangan terbesar Kelompok Sadar Wisata Nglanggeran adalah mengubah stigma pengangguran dari keluarga sendiri. Berhasil meraup 17 penghargaan nasional dan internasional.
Ilham Wancoko, Gunungkidul
AJUR mumur (hancur lebur) hati Aris Budiyono. Orang tua sendiri yang menegur karena dianggap tidak memiliki masa depan.
Dikecilkan mimpinya menjadi penunggu batu karena aktif menjaga konservasi Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, Jogjakarta. ”Kamu mau makan batu, Le (Nak),” ujar Suratinah, sang ibu, seperti diceritakan kembali oleh Aris.
Teguran itu dilakukan karena Aris dinilai terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nglanggeran. Sejak 1999, pokdarwis ingin mengejawantahkan mimpi menjadi desa wisata.
Modal utamanya gunung api purba, tapi pola pikir dan stigma masyarakat menjadi gunung penghalang tersendiri.
”Untuk menghapus mindset buruk pengangguran itu, kami membutuhkan waktu delapan tahun, dari 1999 hingga 2006,” kata salah seorang anggota utama sekaligus seksi pemasaran pokdarwis tersebut.
Pikiran buruk bahwa pemuda desa yang aktif di pokdarwis muncul karena memang belum jelas, baik penghasilannya, pekerjaannya, maupun aktivitasnya. Hanya terlihat luntang-lantung di Kalisong, base camp pokdarwis.
Padahal, di base camp itu, 85 pemuda dan pemudi mengatur strategi. Untuk membuat desanya mampu unjuk gigi, hidup dari potensi wisata yang belum terakui. ”Dulu awalnya 85 orang, dengan berbagai halangan tinggal 15 orang. Lalu, tinggal 9 yang jadi anggota utama,” ceritanya.
Tembok raksasa penghalang mimpi pokdarwis tidak hanya berasal dari orang tua. Istri para pemuda juga menjadi salah satu penggerus semangat. Aris mengatakan, anggota lainnya bernama Suranto, misalnya, sampai ribut-ribut dengan istrinya karena terlalu aktif di pokdarwis. ”Halangan dari keluarga ini memang berat,” jelasnya.
Semua itu tidak lain karena kondisi sosial masyarakat Desa Nglanggeran. Sebagian besar telah ”sukses” menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). ”Saya pun sebenarnya pernah mencoba menjadi TKI,” ujarnya, lalu terkekeh.
Upaya Aris menjadi TKI itu gagal karena ditipu perusahaan pengirimnya. Selama tiga tahun hanya berpindah-pindah lokasi penampungan.
Namun, akhirnya dia pulang dengan tangan hampa. Lebih miris lagi kehilangan modal Rp 32 juta, hasil menjual sapi dan sawah. ”Saya bilang ke orang tua, memang itu bukan jalan saya,” jelasnya.
Siapa sangka Aris, sang TKI gagal, bersama delapan anggota utama pokdarwis akhirnya mampu membangun Desa Nglanggeran menjadi desa wisata kelas dunia. Meraih setidaknya 17 penghargaan nasional dan internasional, salah satunya dari organisasi di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) UNWTO. Organisasi itulah yang menyematkan Desa Nglanggeran sebagai desa wisata terbaik dunia 2021. ”Semua bisa dilakukan setelah mindset berubah dan stigma hilang,” ujarnya.
Bagaimana cara mengubah mindset dan stigma itu? Dia menuturkan bahwa berbagai cara dilakukan. Di antaranya, keliling berbagai kelompok warga desa. Baik RT, arisan, maupun kelompok tani. Lalu, bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul untuk menggelar seminar dan pelatihan potensi wisata. ”Memberikan pemahaman ke warga bahwa desa kita indah. Punya potensi wisata yang besar,” katanya.
Tapi, semua itu masih dibalut pertanyaan dalam benak warga. ”Apa benar orang kota mau wisata melihat batu, berpanas-panas menanam padi dan cokelat. Digigit nyamuk di kebun yang besar-besar,” ujarnya membeberkan tanda tanya dalam benak warga.
Untuk menjawab semua itu, lanjut dia, pokdarwis bekerja sama dengan salah satu stasiun TV lokal. Tujuannya menyiarkan desa wisatanya yang indah dan ternyata para warga berebut masuk TV. Baik direkam aktivitas bertaninya maupun diwawancarai. ”Mereka juga terus menunggu dan bertanya kapan tayangnya,” ungkapnya.
Saat banyak warga yang ingin melihat tayangan soal desanya, didahului dengan pemandangan desanya. Gunung api purbanya, terasering sawahnya, dan kebun cokelatnya. ”Setelah menonton di TV, mereka barulah mengakui bahwa desanya sebenarnya indah,” ujarnya.
Dia menuturkan, mungkin semua itu disebabkan warga desa terbiasa tinggal di tempat yang indah. Karena itu, melihat keindahan tersebut hal yang tidak istimewa.
Setelah mindset dan stigma berubah, barulah pokdarwis mengajukan pengelolaan gunung api purba tersebut ke kelurahan pada 2007. Dimulai dari modal itulah, kemudian dibangun dan ditata berbagai wahana lainnya. Dari Embung Langgeran, Puncak Kampung Pitu, hingga Air Terjun Kedung Kandang. ”Semuanya dimulai sejak 2007 itu,” jelasnya.
Gunung api purba itu memiliki kelebihan soal geopark, tatanan, dan pemandangan batu yang indah. Apalagi, saat gempa Jogjakarta 2006, bebatuan itu sama sekali tidak bergeser. ”Padahal, rumah semua warga rata dengan tanah,” urainya.
Bukan hanya itu, gunung api purba juga menjadi spot terbaik untuk melihat sunrise dan sunset. Spot sunset dan sunrise juga ada di Embung Nglanggeran, embung buatan yang digunakan untuk mengairi persawahan warga.
Dia menuturkan, pengunjungnya bisa melihat terbit dan tenggelamnya matahari yang tecermin permukaan air Embung Nglanggeran. ”Sangat indah,” katanya.
Lalu, Puncak Kampung Pitu yang bisa menikmati wisata budaya dan tradisi. Kepercayaan di desa itu hanya diperbolehkan untuk tujuh kepala keluarga (KK).
Dia menyatakan, kalau anggota keluarga menikah, mereka hanya bisa ikut KK atau keluar dari desa. ”Ini yang menjadi daya tarik,” paparnya.
Sementara itu, wahana Air Terjun Kedung Kandang merupakan air terjun musiman yang memiliki tujuh tingkatan. Keindahannya menjadi daya tarik untuk berswafoto dan mengambil foto keluarga.
Namun, tidak hanya memamerkan wisata alam, pokdarwis juga menciptakan wisata atraksi membuat cokelat. Buah kakao diproduksi menjadi bubuk cokelat. ”Pengunjung bisa ikut membuat cokelat,” ujarnya.
Dia menuturkan, warga akhirnya mendapat penghasilan dari dua sisi: paket wisata membuat cokelat dan produksi bubuk cokelat. ”Dua pendapatan dari kebun cokelat,” jelasnya.
Bukan hanya itu, warga juga bak mendapat durian runtuh dengan kebutuhan guesthouse yang tinggi. Dia mengatakan, karena pengunjung wisata yang banyak, akhirnya guesthouse Desa Nglanggeran juga bertambah. Dari yang awalnya hanya tiga rumah sekarang menjadi 80 rumah. ”Dulu tiga guesthouse itu juga kami paksakan,” paparnya.
Tiga guesthouse yang menjadi percontohan itu dikerjakan dan dibangun pokdarwis. Dia mengatakan bahwa semuanya serba dipaksakan, dari melayani penginapan hingga makan dan kebutuhan lainnya.
”Sebelum guesthouse itu, kami memulainya dengan menyewakan lokasi untuk kegiatan alam mahasiswa,” urainya.
Kini desa wisata itu bukan sekadar mimpi. Pendapatan warga Desa Nglanggeran meningkat drastis. Begitu pula pendapatan pokdarwis. Pada 2006 jelas belum ada penghasilan apa pun, tapi pada 2016 pendapatannya mencapai Rp 2 miliar dan pada 2017 pendapatan totalnya Rp 2,9 miliar. Lalu, 2018 meningkat menjadi Rp 3 miliar dan 2019 menjadi Rp 3,2 miliar. ”Untuk 2020 dan 2021 hanya Rp 1 miliar akibat pandemi,” paparnya.
Menurut Aris, dengan pendapatan itu, kesejahteraan warga tentu meningkat. Kesejahteraan pemuda Desa Nglanggeran juga meningkat drastis. Pendapatan pokdarwis itu digunakan untuk membiayai berbagai hal, dari membantu warga desa, membiayai berbagai aktivitas gotong royong dan tradisi, serta banyak lainnya. ”Semua pemuda dan pemudi desa bekerja di sini,” tuturnya.
Pastilah nikmat bekerja dan tinggal di desa sendiri. Tidak seperti yang kebanyakan, bekerja di luar kota dan luar negeri, tapi desa sendiri tidak terbangun. Desa sendiri masih berkelindan dengan kemiskinan dan pengangguran. Pulang ke desa hanya pamer kekayaan, yang bisa jadi hanya hasil utangan. (*/c19/ttg/JPG)