Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Tetap Ada di RUU KUHP, Pidana Mati Jadi Hukuman Spesial

JAKARTA-Meski mendapat penolakan dari hampir semua negara kawasan Eropa, penerapan hukuman mati dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tetap tak dicabut.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa hukuman mati dalam RKUHP tersebut masuk kategori hukum spesial.

Eddy, sapaanya, menjelaskan hukum spesial (special punishment) itu bisa berubah dalam pelaksanaannya. “Artinya apabila seorang terpidana berkelakuan baik akan dapat diberikan penurunan hukuman menjadi penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara. Jadi hukuman mati bukan main punishment, tapi menjadi special punishment,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos, kemarin (29/03).

Penjelasan itu disampaikan Eddy saat menerima kunjungan kerja Duta Besar (Dubes) Jerman untuk Indonesia H.E Ina Lepel pada Senin (28/3) lalu. Sebagaimana diketahui, Jerman merupakan salah satu negara yang menolak penerapan hukuman mati sebagaimana wacana hak asasi manusia (HAM) di negara tersebut.

Baca Juga :  Gaji Kepala Desa Diberikan Sebulan Sekali

Eddy menyampaikan kepada Lepel bahwa seluruy narapidana (napi) diberikan pembinaan selama menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun rumah tahanan negara (rutan). Nah, dari pembinaan itulah napi mendapat ‘kesempatan’ kedua untuk berubah. Apalagi, pembinaan itu yang diberikan tak hanya mental dan spiritual. Tapi juga keterampilan.

“Sikap berkelakuan baik selama menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dapat dijadikan acuan dalam pemberian penurunan hukuman atau pengajuan bebas bersyarat,” tutur Eddy.

Sebagaimana diberitakan, penerapan hukuman mati yang dapat berubah itu tercantum dalam pasal 100 ayat (1) RUU KUHP. Dalam pasal itu menyebutkan Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun jika terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau ada alasan yang meringankan. Pidana mati dengan masa percobaan pada ayat itu harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

Kemudian dalam pasal 100 ayat (4) menegaskan tentang aturan berkelakuan baik sebagai indikator perubahan hukuman mati tersebut. “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung,” bunyi pasal itu.

Baca Juga :  Situasi di Kampung Nogilait Kembali Kondusif

Pun sebaliknya, jika napi tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan yang diberikan maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut dalam KUHP sebelumnya tidak mengatur soal perubahan hukuman mati di tengah jalan seperti RUU KUHP yang sekarang. Menurutnya, perubahan itu mestinya berada dalam kewenangan pengadilan.

“Kalau hukuman mati berubah itu sudah mengubah jenis hukuman, bukan mengurangi,” ujarnya. Karena itu, Fickar lebih setuju jika hukuman mati dihapus sekalian. Ketimbang mengubah jenis hukuman dengan kebijakan administratif sebagaimana tertuang dalam RUU KUHP itu. (tyo/JPG)

JAKARTA-Meski mendapat penolakan dari hampir semua negara kawasan Eropa, penerapan hukuman mati dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tetap tak dicabut.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa hukuman mati dalam RKUHP tersebut masuk kategori hukum spesial.

Eddy, sapaanya, menjelaskan hukum spesial (special punishment) itu bisa berubah dalam pelaksanaannya. “Artinya apabila seorang terpidana berkelakuan baik akan dapat diberikan penurunan hukuman menjadi penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara. Jadi hukuman mati bukan main punishment, tapi menjadi special punishment,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos, kemarin (29/03).

Penjelasan itu disampaikan Eddy saat menerima kunjungan kerja Duta Besar (Dubes) Jerman untuk Indonesia H.E Ina Lepel pada Senin (28/3) lalu. Sebagaimana diketahui, Jerman merupakan salah satu negara yang menolak penerapan hukuman mati sebagaimana wacana hak asasi manusia (HAM) di negara tersebut.

Baca Juga :  Gaji Kepala Desa Diberikan Sebulan Sekali

Eddy menyampaikan kepada Lepel bahwa seluruy narapidana (napi) diberikan pembinaan selama menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun rumah tahanan negara (rutan). Nah, dari pembinaan itulah napi mendapat ‘kesempatan’ kedua untuk berubah. Apalagi, pembinaan itu yang diberikan tak hanya mental dan spiritual. Tapi juga keterampilan.

“Sikap berkelakuan baik selama menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dapat dijadikan acuan dalam pemberian penurunan hukuman atau pengajuan bebas bersyarat,” tutur Eddy.

Sebagaimana diberitakan, penerapan hukuman mati yang dapat berubah itu tercantum dalam pasal 100 ayat (1) RUU KUHP. Dalam pasal itu menyebutkan Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun jika terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau ada alasan yang meringankan. Pidana mati dengan masa percobaan pada ayat itu harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

Kemudian dalam pasal 100 ayat (4) menegaskan tentang aturan berkelakuan baik sebagai indikator perubahan hukuman mati tersebut. “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung,” bunyi pasal itu.

Baca Juga :  Vaksin Tetap Menjadi Proteksi Utama Ancaman Covid-19

Pun sebaliknya, jika napi tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan yang diberikan maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut dalam KUHP sebelumnya tidak mengatur soal perubahan hukuman mati di tengah jalan seperti RUU KUHP yang sekarang. Menurutnya, perubahan itu mestinya berada dalam kewenangan pengadilan.

“Kalau hukuman mati berubah itu sudah mengubah jenis hukuman, bukan mengurangi,” ujarnya. Karena itu, Fickar lebih setuju jika hukuman mati dihapus sekalian. Ketimbang mengubah jenis hukuman dengan kebijakan administratif sebagaimana tertuang dalam RUU KUHP itu. (tyo/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya