Thursday, December 26, 2024
26.7 C
Jayapura

Pemerintah Diminta Buka Dialog

BRIN Sebut Penolakan DOB Papua Dominan

JAKARTA-Kasus kerusuhan dalam aksi-aksi penolakan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua harus direspon pemerintah pusat. Pendekatan dengan melakukan kebijakan satu arah dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan krisis tersebut.

Hal itu disampaikan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas dalam diskusi virtual, kemarin (24/3). Seperti diketahui, aksi penolakan terjadi di sejumlah tempat. Seperti di Yahukimo, Mepago dan Wamena. Bahkan di Yahukimo, aksi itu berujung tewasnya dua warga sipil.

Cahyo mengatakan, meskipun ada usulan, pembentukan DOB tidak dikehendaki masyarakat Papua. Berdasarkan pengalaman Cahyo bertemu dan berkomunikasi dengan dewan adat, yang dominan justru suara penolakan.

’’Karena ada ancaman depopulasi masyarakat papua,’’ ujarnya. Selain itu, ada kekhawatiran menguatnya militer, sebagai konsekuensi bertambahnya markas-markas komando di daerah baru nanti.

Baca Juga :  Jumlah Kasus DBD Bertambah di Asmat

Dia menilai, kebijakan pemekaran sejauh ini lebih ke kepentingan pusat. Apalagi, berdasarkan sejumlah riset yang dilakukan BRIN (dulu LIPI, Red) serta peneliti seperti Rosmaida (2010) dan Suryawan (2016), tidak ada yang merekomendasikan pemekaran sebagai jalan penyelesaian konflik Papua.

’’Terlebih pemekaran yang top down (usulan pusat),’’ imbuhnya. Mestinya, jika ada usulan DOB, hal itu berangkat dari usulan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi masyarakat asli.

Untuk itu, BRIN merekomendasikan agar upaya dialog kembali dilakukan. Bukan hanya dengan pihak yang pro seperti kerap dilakukan selama ini, namun juga harus menjaring yang kontra. Misalnya dengan memberikan jaminan atas kekhawatiran dampak negatif DOB yang selama ini dikhawatirkan kelompok yang menolak. ’’Harus mencari titik tengah. Misal apa saja syarat yang harus dipenuhi,’’ tuturnya.

Baca Juga :  Masyarakat Adat Tegas Tolak PSN dan Investasi

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan, lembaganya juga merekomendasikan membuka komunikasi dengan masyarakat yang menolak. ’’Kami akan mendorong pemerintah berdialog,’’ ujarnya.

Dia menekankan, kelompok masyarakat yang menolak merupakan kekuatan politik yang tidak dapat dipinggirkan. Komnas HAM tidak ingin aksi penolakan disikapi dengan kekerasan sehingga menimbulkan korban jiwa seperti kasus di Yahukimo. ’’Mereka yang menyuarakan aspirasi perlu mendapatkan penjelasan yang jelas soal bagaimana format DOB,’’ tuturnya.

Sementara itu, dua perwakilan pemerintah batal hadir dalam diskusi tersebut. Yakni Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaha dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Theofransus Litaay. Dihubungi terpisah, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang tidak merespon, saat dikonfirmasi terkait rekomendasi tersebut. (far/bay/JPG)

BRIN Sebut Penolakan DOB Papua Dominan

JAKARTA-Kasus kerusuhan dalam aksi-aksi penolakan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua harus direspon pemerintah pusat. Pendekatan dengan melakukan kebijakan satu arah dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan krisis tersebut.

Hal itu disampaikan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas dalam diskusi virtual, kemarin (24/3). Seperti diketahui, aksi penolakan terjadi di sejumlah tempat. Seperti di Yahukimo, Mepago dan Wamena. Bahkan di Yahukimo, aksi itu berujung tewasnya dua warga sipil.

Cahyo mengatakan, meskipun ada usulan, pembentukan DOB tidak dikehendaki masyarakat Papua. Berdasarkan pengalaman Cahyo bertemu dan berkomunikasi dengan dewan adat, yang dominan justru suara penolakan.

’’Karena ada ancaman depopulasi masyarakat papua,’’ ujarnya. Selain itu, ada kekhawatiran menguatnya militer, sebagai konsekuensi bertambahnya markas-markas komando di daerah baru nanti.

Baca Juga :  Masyarakat Adat Tegas Tolak PSN dan Investasi

Dia menilai, kebijakan pemekaran sejauh ini lebih ke kepentingan pusat. Apalagi, berdasarkan sejumlah riset yang dilakukan BRIN (dulu LIPI, Red) serta peneliti seperti Rosmaida (2010) dan Suryawan (2016), tidak ada yang merekomendasikan pemekaran sebagai jalan penyelesaian konflik Papua.

’’Terlebih pemekaran yang top down (usulan pusat),’’ imbuhnya. Mestinya, jika ada usulan DOB, hal itu berangkat dari usulan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi masyarakat asli.

Untuk itu, BRIN merekomendasikan agar upaya dialog kembali dilakukan. Bukan hanya dengan pihak yang pro seperti kerap dilakukan selama ini, namun juga harus menjaring yang kontra. Misalnya dengan memberikan jaminan atas kekhawatiran dampak negatif DOB yang selama ini dikhawatirkan kelompok yang menolak. ’’Harus mencari titik tengah. Misal apa saja syarat yang harus dipenuhi,’’ tuturnya.

Baca Juga :  Mengenal Hypophrenia: Menangis tanpa Sebab, Ini Penjelasannya

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan, lembaganya juga merekomendasikan membuka komunikasi dengan masyarakat yang menolak. ’’Kami akan mendorong pemerintah berdialog,’’ ujarnya.

Dia menekankan, kelompok masyarakat yang menolak merupakan kekuatan politik yang tidak dapat dipinggirkan. Komnas HAM tidak ingin aksi penolakan disikapi dengan kekerasan sehingga menimbulkan korban jiwa seperti kasus di Yahukimo. ’’Mereka yang menyuarakan aspirasi perlu mendapatkan penjelasan yang jelas soal bagaimana format DOB,’’ tuturnya.

Sementara itu, dua perwakilan pemerintah batal hadir dalam diskusi tersebut. Yakni Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaha dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Theofransus Litaay. Dihubungi terpisah, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang tidak merespon, saat dikonfirmasi terkait rekomendasi tersebut. (far/bay/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya