Mendengar Cerita Para Relawan Pemakaman Covid-19 di Buper Waena
Pejuang kemanusiaan tidak hanya bisa dilakukan lewat pekerjaan semisal dokter atau tim SAR atau Petugas Palang Merah. Banyak perbuatan lain yang berbicara soal kemanusiaan. Relawan covid salah satunya. Berikut bincang-bincang dengan relawan di Pemakaman Covid-19 Buper
Laporan : Abdel Gamel Naser
Wajah sedikit pucat akibat suhu tubuh yang naik saat mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) terlihat jelas di raut beberapa pemuda di lokasi makam Buper Waena. Bulir – bulir keringat juga mulai menetes di kening mengikuti guratan kulit dan menyentuh bagian pipi. Resleting panjang yang persis di bawah leher ini langsung diturunkan untuk memastikan ada udara yang masuk. Ekspresi dehidrasi dan kelelahan jelas terpancar apalagi situasi ketika itu sedang panas terik. Hanya 1 pohon rindang yang digunakan untuk tempat berteduh.
Di bawah pohon ini ada sebuah para para tempat duduk yang terbuat dari beberapa kayu balok yang ditutupi dengan baliho. Hanya saja kayu tersebut bukan kayu yang dibeli dari saw mill melainkan kayu cabutan dari papan atau krans ucapan duka yang terbuang oleh pengantar atau keluarga duka. Tak hanya butuh keberanian untuk mnjadi relawan covid khususnya di lokasi pemakaman tetapi juga harus sabar dan ikhlas serta tahan banting. Pasalnya dengan cuara yang lebih cenderung panas membuat nafas harus berpacu dengan adrenalin sehingga jika tak tahan banting maka dipastikan tidak akan lama menjadi relawan.
Tahan banting ini juga bisa dikaitkan dengan waktu penguburan dimana jika ada telepon mendadak untuk segera memakamkan jenasah maka saat itu juga tim relawan harus menuju pemakaman. Jika kondisinya sore atau malam malah disyukuri asal tidak hujan. Cenderawasih Pos berhasil menemui beberapa anggota relawan yakni Albert Maniani, Paska Atururi dan Petrus. Untuk Albert dan Paska merupakan dua mahasiswa dimana Albert mahasiswa Fakultas Kedokteran Uncen yang sedang koas lalu Paska merupakan mahasiswa Umel Mandiri sedangkan petrus pegawai dinas kesehatan provinsi. Petrus sendiri memiliki peran cukup vital pasalnya ialah yang selama ini menjadi operator alat berat.
Selain ketiganya, ada juga dr Aaron Rumainum maupun dr Yayamoto Sasarari. Albert menceritakan bahwa yang membuatnya terpanggil untuk menjadi relawan karena selama ini ia melihat tenaga relawan sangat minim sementara setiap hari pasti ada jenasah yang dimakamkan. Tidak semua orang mau menjadi relawan covid apalagi di lokasi pemakaman mengingat selain tak digaji, bekerja dengan mempertaruhkan kesehatan diri sendiri maupun orang terdekat termasuk selalu berhubungan dengan lokasi makam yang cukup menyeramkan jika tak terbiasa.
Albert mengaku terinspirasi dari dr Aaron yang selama ini menghabiskan banyak waktu mengurus pasien covid baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Pekerjaannya tak kenal lelah dan kapanpun selalu hadir jika situasi mendesak. “Dok Aaron yang ajak dan saya memang tertarik. Disini juga petugasnya minim sehingga kalau tidak dibantu maka akan semakin sulit,” jelas Albert saat ditemui di lokasi pemakaman Buper, Waena, Ahad (11/7). Ia bersama Paska sudah bergabung sejak Maret 2020 dan menjadi mahasiswa pertama di Jayapura yang melakukan vaksin. Meski tak digaji namun Albert mengaku ada panggilan kemanusiaan yang sulit dinilai.
Rasa khawatir untuk tertular juga pasti ada namun ia tetap yakin selama jenasah ditangani dengan baik dan keseharian juga mengikuti protocol kesehatan maka covid juga akan sulit menempel. “Setiap hari pasti ada jenasah yang dimakamkan. Memang ada kekhawatiran jangan sampai tertular tapi kami yakin semua akan baik – baik saja,” jelasnya. Ia sendiri lebih menyukai bekerja di sore hari ataupun malam hari mengingat jika malam suasananya lebih sejuk dan tidak panas. “Soal gangguan seperti setan yang muncul, puji Tuhan selama ini tidak perna mengalami dan kami lebih suka bekerja menguburkan malam hari,” bebernya iiyakan Paska.
Albert dan Paska juga tak memiliki cerita horror saat menangani jenasah. “Biasa saja sih, semua aman – aman,” imbuhnya.
Hanya saja dikatakan terkadang ketika ia dihubungi untuk ke lokasi makam jika cuaca hujan maka akan sangat sulit mengingat medan ke lokasi dipastikan becek dan licin. “Belum lagi lampu jalannya mati, lampunya ada tapi tidak menyala,” bebernya. Cerita lain disampaikan Petrus. Dibalik APD yang ketat ia terkadang masih menyimpan kekhawatiran. Pasalnya Petrus memiliki anak berusia 7 tahun yang cukup dekat dengannya dan kadang saat rindu ia ingin sekali berkumpul dan bermain bersama namun karena baru kembali dari pemakaman akhirnya niat ini diurungkan.
Bahkan tak jarang ia harus tidur di kantor untuk memastikan semua steril. “ Kadang mandi di kantor kemudian tidur di kantor. Kalaupun saya harus pulang biasanya saya tunggu anak saya tidur lalu saya pulang, jangan sampai ia melihat dan memeluk saya. Saya juga tidurnya tidak sama – sama untuk mengantisipasi hal – hal yang tak diinginkan,” ceritanya. Untuk waktu penguburan, kata Petrus tidak ada waktu yang pasti, kadang pagi, kadang siang dan kadan juga malam hari. Sedangkan untuk makan biasanya mereka disiapkan oleh dr Aaron maupun dr Yamamoto.
Dr Yamamoto sendiri merasa terbantu dengan adanya relawan ini. Ia menyebut jumlahnya sekitar 10 orang dan kadang bergantian. Meski demikian jumlah ini dikatakan masih kurang. “Kalau dalam sehari bisa 5 jenasah tentunya tenaga 10 orang ini juga akan terkuras,” bebernya. Dari relawan yang ada, dr Yamamoto lah yang memiliki cerita horror. Ia mengaku di tahun 2020 lalu ketika usai penguburan malam hari dan saat hendak pulang, ia diperlihatkan dua buah cahaya di atas lokasi. Dua cahaya ini saling berkejar – kejaran.
“Saya gunakan mobil dan mencoba senter lewat lampu besar dan cahaya tersebut benar – benar nyata. Tapi untungnya tidak mengganggu,” tambahnya.
Pantauan Cenderawasih Pos, meski telah dibantu lewat tenaga relawan namun mirisnya di lokasi ini para relawan hanya menggunakan satu pohon kecil untuk berteduh. Di bawah pohon ini yang dipakai untuk membuat para – para berukuran 1 x 2,5 meter untuk mereka istirahat. Selain itu di lokasi ini tak ada tendon air yang seharusnya wajib disiapkan untuk membersihkan tubuh usai penguburan.
“Itu wajib, seharusnya ada tandon air dan selesai pemakaman ada petugas yang menyemprot. Tapi disini tidak ada, air saja kadang kami cari sendiri untuk minum maupun mencuci tangan,” beber Yamamoto. “Teman – teman juga seusai memakamkan biasa mencari tempat berteduh sebab disini tak ada pondok maupun tenda. Kalau tidak berteduh kami bias-bisa dehidrasi karena pakaian APD menutupi badan,” imbuhnya. (*/wen)