Thursday, April 17, 2025
24.7 C
Jayapura

Tokok Sagu Warisan Budaya, Jati Diri Orang Papua Yang Hampir Dilupakan 

Bincang-bincang Bersama Pemerhati Sagu Di Kampung Yobe, Kabupaten Jayapura

Mengorek kembali, tradisi tokok sagu yang mulai tereliminasi dengan mesin parut sagu,  serta tuntutan ekonomi yang harus dipenuhi, lantas bagaimana pemahaman tokok sagu saat ini?

Berikut laporan : YOHANA_SENTANI

Sagu adalah makanan khas orang Papua,  bahkan cara pengolahannya pun berbeda-beda, untuk mendapatkan pati sagu.

Ada yang  melalui dipukul, ada yang ditokok, ada juga yang  ditumbuk, setiap daerah pastinya berbeda-beda.

Seperti halnya daerah Sentani, yang mana cara pengambilan pati sagu, sebelum adanya mesin parut sagu, yaitu melalui cara manual yaitu ditokok atau yang dikenal dengan sebutan pangkur sagu.

Menokok atau tokok sagu ini selalu dilakukan bersama-sama atau kelompok, karena pekerjaan tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Peralatan yang dibutuhkan adalah kampak untuk menebang pohon sagu, tomako batu yang diikatkan pada sebuah kayu untuk dijadikan sebagai alat tokok, tapisan yang secara tradisional  dari serabut kelapa diambil  dari pelepah kelapa yang masih muda, kemudian kain tipis atau kain nelon yang diikatkan pada kayu, dikaitkan pada pelepah sagu untuk dijadikan sebagai alat ramas ampas sagu, dan kemudian terpal yang diikat seperti wadah untuk menampung pati sagu.

Baca Juga :  Kasus Terbakarnya Ruko, Polisi Baru Periksa 2 Saksi

Proses tokok sagu sendiri selalu dikerjakan bersama-sama, para pria dan wanita akan bekerja sama atau gotong royong, ada yang bertugas untuk tokok, ada yang bertugas angkat ampas sagu, ada juga yang bagian ramas ampas sagu, bahkan ada yang khusus untuk masak makanan bagi para pekerja.

Terkadang mereka harus menginap di hutan atau dusun sagu bersama anak-anaknya pada saat proses tokok sagu hingga selesai.

“Pada zaman dulu, dimana belum terdapat mesin parut sagu seperti saat ini, pekerjaan tokok sagu sangat dinikmati dan diwariskan turun temurun,” kata  Billy Tokoro, seorang Pemerhati Sagu Kampung Yoboi.

Tradisi ini diajarkan dari nenek moyang sampai pada orang tua kita, namun seiring berjalannya waktu, bertambah banyaknya penduduk, serta permintaan sagu juga semakin banyak, hingga mulai bermunculan lah alat-alat modern untuk pengolahan sagu, seperti yang kita kenal saat ini adalah mesin parut sagu, hingga yang lebih canggih pun telah diciptakan.

Baca Juga :  Petugas Puskesmas dan RS Dapat Pelatihan Mikroskopis Malaria

Yang mana dengan kehadiran alat-alat canggih ini, tentunya bermanfaat bagi masyarakat dari sisi efisiensi waktu dan biaya, serta dapat menghasilkan produksi sagu lebih banyak guna memenuhi kebutuhan pasar, akan tetapi, ada hal-hal lain yang ikut dilupakan.

“Kita tidak bisa menyalahkan perkembangan yang terjadi, setiap orang harus bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk beralih dari budaya tokok sagu kepada parut sagu,” katanya lagi.

Bincang-bincang Bersama Pemerhati Sagu Di Kampung Yobe, Kabupaten Jayapura

Mengorek kembali, tradisi tokok sagu yang mulai tereliminasi dengan mesin parut sagu,  serta tuntutan ekonomi yang harus dipenuhi, lantas bagaimana pemahaman tokok sagu saat ini?

Berikut laporan : YOHANA_SENTANI

Sagu adalah makanan khas orang Papua,  bahkan cara pengolahannya pun berbeda-beda, untuk mendapatkan pati sagu.

Ada yang  melalui dipukul, ada yang ditokok, ada juga yang  ditumbuk, setiap daerah pastinya berbeda-beda.

Seperti halnya daerah Sentani, yang mana cara pengambilan pati sagu, sebelum adanya mesin parut sagu, yaitu melalui cara manual yaitu ditokok atau yang dikenal dengan sebutan pangkur sagu.

Menokok atau tokok sagu ini selalu dilakukan bersama-sama atau kelompok, karena pekerjaan tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Peralatan yang dibutuhkan adalah kampak untuk menebang pohon sagu, tomako batu yang diikatkan pada sebuah kayu untuk dijadikan sebagai alat tokok, tapisan yang secara tradisional  dari serabut kelapa diambil  dari pelepah kelapa yang masih muda, kemudian kain tipis atau kain nelon yang diikatkan pada kayu, dikaitkan pada pelepah sagu untuk dijadikan sebagai alat ramas ampas sagu, dan kemudian terpal yang diikat seperti wadah untuk menampung pati sagu.

Baca Juga :  Mensos RI Salurkan Bantuan Kepada Warga Gereja Di Kota Jayapura

Proses tokok sagu sendiri selalu dikerjakan bersama-sama, para pria dan wanita akan bekerja sama atau gotong royong, ada yang bertugas untuk tokok, ada yang bertugas angkat ampas sagu, ada juga yang bagian ramas ampas sagu, bahkan ada yang khusus untuk masak makanan bagi para pekerja.

Terkadang mereka harus menginap di hutan atau dusun sagu bersama anak-anaknya pada saat proses tokok sagu hingga selesai.

“Pada zaman dulu, dimana belum terdapat mesin parut sagu seperti saat ini, pekerjaan tokok sagu sangat dinikmati dan diwariskan turun temurun,” kata  Billy Tokoro, seorang Pemerhati Sagu Kampung Yoboi.

Tradisi ini diajarkan dari nenek moyang sampai pada orang tua kita, namun seiring berjalannya waktu, bertambah banyaknya penduduk, serta permintaan sagu juga semakin banyak, hingga mulai bermunculan lah alat-alat modern untuk pengolahan sagu, seperti yang kita kenal saat ini adalah mesin parut sagu, hingga yang lebih canggih pun telah diciptakan.

Baca Juga :  Petugas Puskesmas dan RS Dapat Pelatihan Mikroskopis Malaria

Yang mana dengan kehadiran alat-alat canggih ini, tentunya bermanfaat bagi masyarakat dari sisi efisiensi waktu dan biaya, serta dapat menghasilkan produksi sagu lebih banyak guna memenuhi kebutuhan pasar, akan tetapi, ada hal-hal lain yang ikut dilupakan.

“Kita tidak bisa menyalahkan perkembangan yang terjadi, setiap orang harus bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk beralih dari budaya tokok sagu kepada parut sagu,” katanya lagi.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/