JAYAPURA-Wacana pemilihan kepala daerah secara langsung pernah dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto beberapa waktu lalu. Sejatinya ini bukan argumen baru melainkan sudah cukup lama. Bercermin dari ongkos pelaksanaan demokrasi yang sangat mahal.
Memakan waktu lama dan belum lagi muncul konflik hingga harus berdarah-darah untuk menemukan sosok kepala daerah. Terkait ini salah satu akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Dr Yusak Elisa Reba SH,MH angkat suara.
Yusak mengatakan, wacana Pemilihan kepala daerah secara langsung pernah dilakukan, dan keluarlah undang-undang pada waktu itu dan kemudian ditolak oleh masyarakat. Sehingga undang-undang itu tidak bisa diberlakukan. Pilkada langsung mulai dilakukan sejak 2004, dengan undang-undang pemerintahan daerah yang baru Nomor 32 Tahun 2004.
Terkait pemilihan kepala daerah sudah banyak kajian yang dilakukan, termasuk oleh pemerintah pusat dan berbagai lembaga perguruan tinggi tentang biaya Pilkada. “Intinya ini tentang kedaulatan rakyat, untuk menentukan pemimpin di daerah. Bukan hanya kedaulatan tetapi ini juga mengenai hak asasi manusia, hak orang untuk memilih. Jadi representasi DPR itu juga dibatasi, tidak juga pada hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat,”ujar Yusak, Jumat (10/1).
Dikatakan, biaya pilkada tinggi problematikanya adalah ada ada para elit politik, ini soal kekuasaan, soal perebutan kedaulatan rakyat. Para elit politik berkompetisi untuk memperoleh kedaulatan rakyat dalam jabatan kekuasaan pemerintahan kepala daerah misalnya. Setiap calon harus menyiapkan anggaran belasan hingga puluhan miliar untuk mendapat rekomendasi partai.
Bukan sesuatu yang murah dan akhirnya partai jugalah yang akan untuk menentukan arah kebijakan yang akan diambil. Hanya kata Yusak persoalan biaya besar ini tidak bisa dijadikan satu alasan semata pemilihan kepala daerah dilakukan di DPR. Karena pemerintah belum melakukan sebuah kajian inovasi. “Misalnya sistem pemilihan kepala daerah kita itu yang harus dikaji ulang. Karena kalau bicara biaya itu ada dua aspek, yang pertama yang disiapkan oleh negara untuk proses pelaksanaan Pilkada yang dilakukan oleh para penyelenggara. Kedua biaya daripada calon,” bebernya.
itulah yang menurutnya Mengapa demokrasi di Indonesia dalam konteks merebut kedaulatan rakyat menghabiskan uang yang cukup besar. “Pertanyaannya apakah sistem seperti ini masih harus kita pakai terus. Kalau sebenarnya tahapan pemilihan kepala daerah itu bisa disederhanakan tanpa mengurangi hak memilih. Esensial memilih itu tetap, tapi memang harus dilihat ulang tahapan-tahapannya,”katanya.
Lanjut dia, ibaratnya setiap lima tahun berpesta pora dan menghabiskan banyak uang. Itu artinya pemilihan kepala daerah dalam pengaturan undang-undang yang saat ini yang dipakai, perlu dikaji ulang tahapan prosesnya. “Apakah kita akan mendapatkan sebuah inovasi baru bahwa tahapan itu akan menghemat biaya. Kedua yang bikin biaya besar itu dari siapa, yang bikin undang-undangkan,” tutupnya.(roy/ade).
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos