Pernyataan itu disampaikan Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi saat menyampaikan Laporan Pertanggung Jawaban dihadapan ribuan peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Stadion Barnabas Youwe (SBY) Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (27/10).
"Jadi selama 3 hari sejak tanggal 27 sampai 29 Oktober, mereka akan lakukan rapat pleno di untuk membahas poin-poin yang perlu disepakati dari hasil kegiatan sarasehan di beberapa kampung kemarin," kata Ketua Panitia Harian KMAN VI, Timothius Demetouw, Jumat (28/10).
Tahun ini sedikit lebih istimewa karena kegiatan kebangkitan masyarakat adat yang ke-9 di Kabupaten Jayapura ini persamaan dengan pelaksanaan kegiatan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang ke-6 yang merupakan kegiatan nasional.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, kalau dilihat realitasnya, RUU Masyarakat Adat ini sudah 10 tahun lebih berada di DPR-RI. Sejauh ini belum ada perkembangan yang menggembirakan, sementara perampasan wilayah adat dan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi di negeri ini.
"Kerajaan/kesultanan adalah realitas sejarah, tidak bisa disamakan dengan masyarakat adat," Kata Abdon menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela sarasehan hari kedua yang berlangsung di Pendopo Sereh, Rabu (25/10).
Kamis (27/10) kemarin, orang nomor satu di Kabupaten Jayapura itu secara resmi menutup kegiatan Festival Ulat Sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura yang sudah berlangsung selama tiga hari, yakni dari tanggal 25 Oktober lalu.
Jan mengungkapkan, pihaknya telah beberapa kali melakukan lobi ke pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk meminta persetujuan terkait perpanjangan waktu laporan penyerahan penggunaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi di Kabupaten Jayapura.
Warga yang datang berbondong-bondong ke kampung itu, tentunya membutuhkan air dan sedikit makanan ringan untuk sekedar menghilangkan rasa lapar dan haus. "Jadi itu peluang, sehingga tidak saja tertuju pada Festival Ulat Sagu saja," ujarnya.
Di akhir dari kegiatan itu sejumlah masyarakat adat yang mengikuti kegiatan sarasehan di kampung Yakonde, berinisiatif untuk membangun Tugu peringatan atau monumen yang diberi nama Monumen sarasehan kongres masyarakat adat Nusantara VI.