Sementara itu, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis merasa pernyataan Presiden Jokowi sangat merisaukan. “Karena pernyataan itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat netral yang melekat pada diri presiden, yang juga bertindak sebagai kepala negara,” terangnya saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat kemarin.
Menurut UUD 1945, sebagai presiden dan kepala negara, Jokowi harus berada di atas semua kelompok, di atas semua golongan, di atas semua suku, agama, dan partai politik. Ketika seseorang dipilih sebagai presiden, maka kesetiaannya menjadi kesetiaan terhadap negara, terhadap rakyat, tanpa membeda-bedakan mereka.
Todung mengatakan, Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi logis dari negara hukum adalah semua tindakan dan ucapan presiden harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal itu dengan tegas disebutkan pada Pasal 4 Ayat 1 UUD 45
Presiden tidak boleh melakukan diskriminasi dalam menjelankan tugasnya. Jadi, kata Todung, aneh jika Jokowi mengatakan bahwa presiden boleh kampanye dan memihak, sebagaimana menteri juga boleh memihak, yang dilarang adalah kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. “Selama ini tidak pernah ada pernyataan presiden seperti yang diucapkan oleh Jokowi dalam setiap pilpres,” bebernya.
Terkait UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang dijadikan alasan oleh Jokowi untuk memihak dan berkampanye, Todung menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam UU Pemilu itu adalah ketika presiden maju sebagai incumbent atau running for the second term.
Namun, dalam konteks sekarang ini, Presiden Jokowi jelas tidak bisa lagi ikut dalam kontestasi politik dan tidak ada periode ketiga. Maka, Jokowi seharusnya menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik. “Kalau dia (Jokowi) dalam konteks sekarang ini ikut kampanye, ikut memihak, potensi conflict of interest, potensi benturan kepentingan akan sangat telanjang dan kasat mata,” paparnya.
Jika itu yang terjadi, maka pemilu akan berjalan tidak adil dan tidak fair. Hal itu jelas tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menjamin equality dan tidak ada diskriminasi. Padahal, ketika dilantik menjadi presiden, dia bersumpah akan melaksanakan konstitusi dan hukum.
Todung menegaskan, kalau presiden tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal itu ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Jika disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka itu bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan. “Saya tidak mengatakan harus melakukan pemakzulan, tapi ini yang saya baca dalam Pasal 9 UUD 45,” tandasnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran Ahmad Muzani menilai, berlebihan kekhawatiran sejumlah pihak. Padahal, yang disampaikan Jokowi hanya norma dari UU Pemilu. “Lah wong presiden belum berkampanye hanya mengatakan boleh berkampanye,” ujarnya di Media Center TKN kemarin.
Kampanye bagi Presiden, lanjut dia, bukan hal baru. Bahkan, di 2019 presiden terlibat langsung memenangkan dirinya sendiri. Prabowo kala itu, menerima konsekuensi itu sebagai penghormatan pada aturan.
Bagi TKN sendiri, pihaknya menyerahkan sepenuhnya keputusan kampanye atau tidak kepada presiden. “Jika beliau akan berkampanye kami akan dengan sangat bergembira dan senang sekali,” ungkapnya.