Monday, December 9, 2024
24.7 C
Jayapura

Hukum Tukar Uang Jelang Lebaran, Simak Penjelasan Lengkap Sesuai Syariat Islam

Menjelang lebaran, salah satu fenomena yang kerap terlihat adalah penukaran uang. Orang akan menukar sejumlah uang tertentu dengan uang cetakan baru dalam pecahan yang lebih kecil. Tradisi itu sudah marak di masyarakat.

Akan tetapi, tak sedikit yang mengaitkan hukum tukar uang dengan jual beli uang. Tentu saja, hal tersebut diatur di dalam syariat Islam.

Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa terkait dengan jual beli mata uang. Dilansir dari situs resmi Universitas Muhammadiyah Surabaya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam aktivitas jual beli mata uang itu.

Pertama, aktivitas itu dilakukan bukan untuk melakukan spekulasi. Hal ini terkait dengan aktivitas jual beli forex yang dilakukan pasar sekunder. Kedua, terdapat kebutuhan transaksi untuk menjaga nilai mata uang yang terus jatuh. Hal itu dipersamakan dengan kebutuhan investasi.Selanjutnya, jika jual beli dilakukan terhadap mata uang sejenis, nilainya harus sama dan tunai. Keempat, jika berlainan jenis, bisa diberlakukan sesuai kurs tapi harus tetap dilakukan secara tunai.

Baca Juga :  Perkenalkan Rukun Islam, 464 Siswa Ikut Peragaan Manasik Haji

Jika melihat keempat syarat tersebut, penukaran uang bukan masalah. Namun, ada hal lain yang kerap menjadi pertanyaan.

Arin Setyowati, Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam UMS menyebutkan, adanya potensi transaksi riba di dalam aktivitas itu. Riba bukan hanya selesai dalam urusan utang-piutang, tetapi juga bisa muncul dalam ranah jual-beli. Salah satunya, dalam jual beli mata uang.

”Manakala dalam penukaran mata uang tersebut terdapat perbedaan antara jumlah dibayar dan pecahan uang yang diterima, termasuk praktik riba yang diharamkan,” papar Arin Setyowati.

Fenomena itu banyak terjadi di masyarakat. Contohnya, ketika pedagang menjual pecahan uang dengan ada tambahan harga. Ketika menukarkan uang, biasanya yang dijajakan di tepi jalan, orang harus membayar tambahan sebagai ongkos tukar.

”Jika ingin mendapatkan pecahan uang baru senilai satu juta rupiah, maka uang yang harus dibayar adalah satu juta sepuluh ribu rupiah. Praktik ini dikategorikan riba karena transaksi terjadi atas mata uang yang sejenis,” terang Arin Setyowati.

Baca Juga :  Ketua KPU Sebut Tiga Bakal Paslon Capres-Cawapres Sanggup Jalankan Tugas

”Lain halnya jika transaksi dilakukan pada mata uang yang berbeda. Berlaku nilai kurs yang mungkin akan fluktuatif nilainya setiap waktu,” ujar dia.

Masalah penukaran uang menjadi polemik di masyarakat. Apalagi, aktivitas itu sudah menjadi tradisi yang lama berjalan.

Dilansir dari situs nu.or.id, ada sudut pandang berbeda terkait masalah jual beli uang. Jika melihat dari praktik penukaran uang, jelas tergolong riba. Namun jika dilihat dari jasa orang yang menukarkan, maka praktik itu hukumnya mubah.

Pada masalah yang kedua, sudut pandangnya terletak pada orangnya. Transaksinya disebut ijarah atau jual jasa. Dalam hal ini, beberapa orang tidak memiliki waktu untuk menukar uang ke bank, sehingga memanfaatkan jasa orang lain untuk menukarkan dengan memberikan kelebihan.

Baik perkara uang maupun orang, keduanya memiliki landasan yang bisa dinukil. Namun demikian, fikih tidak mengatur soal tarif jasa penukaran uang tersebut. (*)

Sumber: Jawapos

Menjelang lebaran, salah satu fenomena yang kerap terlihat adalah penukaran uang. Orang akan menukar sejumlah uang tertentu dengan uang cetakan baru dalam pecahan yang lebih kecil. Tradisi itu sudah marak di masyarakat.

Akan tetapi, tak sedikit yang mengaitkan hukum tukar uang dengan jual beli uang. Tentu saja, hal tersebut diatur di dalam syariat Islam.

Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa terkait dengan jual beli mata uang. Dilansir dari situs resmi Universitas Muhammadiyah Surabaya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam aktivitas jual beli mata uang itu.

Pertama, aktivitas itu dilakukan bukan untuk melakukan spekulasi. Hal ini terkait dengan aktivitas jual beli forex yang dilakukan pasar sekunder. Kedua, terdapat kebutuhan transaksi untuk menjaga nilai mata uang yang terus jatuh. Hal itu dipersamakan dengan kebutuhan investasi.Selanjutnya, jika jual beli dilakukan terhadap mata uang sejenis, nilainya harus sama dan tunai. Keempat, jika berlainan jenis, bisa diberlakukan sesuai kurs tapi harus tetap dilakukan secara tunai.

Baca Juga :  Tips Olahraga untuk Ibu Hamil saat Puasa, Tetap Jaga Kesehatan Selama Ramadan

Jika melihat keempat syarat tersebut, penukaran uang bukan masalah. Namun, ada hal lain yang kerap menjadi pertanyaan.

Arin Setyowati, Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam UMS menyebutkan, adanya potensi transaksi riba di dalam aktivitas itu. Riba bukan hanya selesai dalam urusan utang-piutang, tetapi juga bisa muncul dalam ranah jual-beli. Salah satunya, dalam jual beli mata uang.

”Manakala dalam penukaran mata uang tersebut terdapat perbedaan antara jumlah dibayar dan pecahan uang yang diterima, termasuk praktik riba yang diharamkan,” papar Arin Setyowati.

Fenomena itu banyak terjadi di masyarakat. Contohnya, ketika pedagang menjual pecahan uang dengan ada tambahan harga. Ketika menukarkan uang, biasanya yang dijajakan di tepi jalan, orang harus membayar tambahan sebagai ongkos tukar.

”Jika ingin mendapatkan pecahan uang baru senilai satu juta rupiah, maka uang yang harus dibayar adalah satu juta sepuluh ribu rupiah. Praktik ini dikategorikan riba karena transaksi terjadi atas mata uang yang sejenis,” terang Arin Setyowati.

Baca Juga :  Sekjen PDIP Tepis Isu Megawati dan Jokowi Tak Lagi Jalin Komunikasi

”Lain halnya jika transaksi dilakukan pada mata uang yang berbeda. Berlaku nilai kurs yang mungkin akan fluktuatif nilainya setiap waktu,” ujar dia.

Masalah penukaran uang menjadi polemik di masyarakat. Apalagi, aktivitas itu sudah menjadi tradisi yang lama berjalan.

Dilansir dari situs nu.or.id, ada sudut pandang berbeda terkait masalah jual beli uang. Jika melihat dari praktik penukaran uang, jelas tergolong riba. Namun jika dilihat dari jasa orang yang menukarkan, maka praktik itu hukumnya mubah.

Pada masalah yang kedua, sudut pandangnya terletak pada orangnya. Transaksinya disebut ijarah atau jual jasa. Dalam hal ini, beberapa orang tidak memiliki waktu untuk menukar uang ke bank, sehingga memanfaatkan jasa orang lain untuk menukarkan dengan memberikan kelebihan.

Baik perkara uang maupun orang, keduanya memiliki landasan yang bisa dinukil. Namun demikian, fikih tidak mengatur soal tarif jasa penukaran uang tersebut. (*)

Sumber: Jawapos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya