Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Mahasiswa Kini Tak Diwajibkan Membuat Skripsi hingga Disertasi untuk Lulus

JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim kembali meluncurkan program Merdeka Belajar. Dalam episode Ke-26 kali ini, transformasi pendidikan tinggi jadi fokus utama. Salah satunya, soal standar kelulusan.

Dalam paparannya kemarin (29/8), Nadiem menjelaskan, ada dua hal fundamental dari kebijakan ini yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi. Yakni, standar nasional pendidikan tinggi yang lebih memerdekakan, serta sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.

Terkait standar nasional, Nadiem menegaskan, bahwa kini standar nasional perguruan tinggi ini tidak lagi bersifat preskriptif dan detail. Namun, berfungsi sebagai pengaturan framework. Sehingga, ada keleluasaan untuk beradaptasi sesuai kemauan perguruan tinggi.

Dia mencontohkan, salah satunya mengenai penyederhanaan standar kompetensi lulusan. Sebelumnya, kompetensi sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan umum dijabarkan terpisah dan secara rinci. Mahasiswa sarjana atau sarjana terapan wajib membuat skirpsi. Kemudian, magiter pun wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakedritasi. Begitu pula mahasiswa kedokteran yang wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.

Menurutnya, menjadikan skripsi hingga disertasi sebagai satu-satunya cara menunjukkan kompetensi sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang. Apalagi, untuk pendidikan vokasi.  ”Apakah yang mau kita tes kemampuan dia menulis skripsi atau implementasi project dilapangan?,” ungkapnya dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode-26 secara daring, kemarin (20/8).

Selain itu, kata dia, penentuan ini tak lagi berada di tangan Kemendikbudristek. Melainkan, kepala program studi untuk bisa menentukan bagaimana cara mengukur stadar kelulusan mereka.   ”Dan tuags akhir ini bisa berbentuk prototipe, bisa proyek, bisa berbentuk lainya. Tidak hanya berbentuk skirpsi, tesis, dan disertasi,” tuturnya.

Baca Juga :  Menlu Retno Walk Out Saat Israel Pidato di PBB

Meski begitu, Nadiem menegaskan, bahwa hal ini tak berarti skripsi dihapus atau tak bisa digunakan sebagai cara mengukur stadar kelulusan. ”Tetap bisa tapi keputusan ini ada di tangan perguruan tinggi,” sambungnya.

Ketentuan detail mengenai hal ini tertuang Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Pada Pasal 18 angka 9 huruf b disebutkan bahwa penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.

Kemudian, pada pasal 19, dijelaskan bahwa mahasiswa magister/magister terapan juga bisa diberikan tugas akhir dalam bentuk tesis, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis. Namun, tidak perlu menerbitkan jurnal internasional.

Sementara, mengenai sistem akreditasi pendidikan tinggi, Nadiem menyampaikan, ada berapa pokok perubahan juga nantinya. Adapun perubahan ini menyangkut status akreditasi yang disederhanakan; biaya akreditasi wajib yang sekarang ditanggung pemerintah; dan proses akreditasi yang dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi.

”Perubahan tidak dapat dilakukan tanpa kolaborasi seluruh pihak, Kemendikbudristek bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi pendidikan tinggi yang menyeluruh dan berdampak positif,” tuturnya.

Baca Juga :  Pelni Gratiskan Keberangkatan Ratusan Pelajar Papua ke Jakarta

Dalam kesempatan yang sama, Rektor IPB University Arif Satria menyatakan dukungan penuh terhadap transformasi standar nasional pendidikan tinggi ini. Dia meyakini, transformasi standar lulusan yang diatur melalui kebijakan ini tidak menurunkan mutu lulusan. Misalnya, mahasiswa bisnis membuat proposal bisnis karena tidak semua harus menjadi peneliti, ada yang tertarik menjadi pengusaha, aktivis di masyarakat. ”Oleh karena itu yang perlu diasah adalah kemampuan menulis dari apa yang direncanakan mahasiswa. Inilah yang menjadi keterampilan baru yang di masa depan,” ungkapnya.

Menurutnya, keterampilan berkomunikasi bukan hanya sebatas lisan melainkan juga tulisan. Menulis Arif, menulis dapat menggambarkan cara berpikir seseorang. “Oleh karena itu, kita memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk tugas akhirnya tidak harus penelitan dan skripsi. Mereka bisa menulis (proyek, red) apa yang diminati dalam proses peningkatan skills,” tutur Arif.

Senada, Rektor Universitas Teknik Sumbawa Chairul Hudaya pun mengaku, bahwa keputusan ini menjadi jawaban bagi perguruan tinggi untuk bisa menentukan sikap, keterampilan umum maupun khusus, hingga keleluasan untuk menentukan standar lulusan  kampus tanpa menurunkan kualitas pembelajaran. Terutama, bagi pendidikan tinggi di wilayah Indonesia Timur yang memiliki tantangan berbeda dengan wilayah lain. Menurutnya,  dengan memberikan keleluasaan, pihaknya bisa mewujudkan SDM unggul yang konkret. (mia)

JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim kembali meluncurkan program Merdeka Belajar. Dalam episode Ke-26 kali ini, transformasi pendidikan tinggi jadi fokus utama. Salah satunya, soal standar kelulusan.

Dalam paparannya kemarin (29/8), Nadiem menjelaskan, ada dua hal fundamental dari kebijakan ini yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi. Yakni, standar nasional pendidikan tinggi yang lebih memerdekakan, serta sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.

Terkait standar nasional, Nadiem menegaskan, bahwa kini standar nasional perguruan tinggi ini tidak lagi bersifat preskriptif dan detail. Namun, berfungsi sebagai pengaturan framework. Sehingga, ada keleluasaan untuk beradaptasi sesuai kemauan perguruan tinggi.

Dia mencontohkan, salah satunya mengenai penyederhanaan standar kompetensi lulusan. Sebelumnya, kompetensi sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan umum dijabarkan terpisah dan secara rinci. Mahasiswa sarjana atau sarjana terapan wajib membuat skirpsi. Kemudian, magiter pun wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakedritasi. Begitu pula mahasiswa kedokteran yang wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.

Menurutnya, menjadikan skripsi hingga disertasi sebagai satu-satunya cara menunjukkan kompetensi sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang. Apalagi, untuk pendidikan vokasi.  ”Apakah yang mau kita tes kemampuan dia menulis skripsi atau implementasi project dilapangan?,” ungkapnya dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode-26 secara daring, kemarin (20/8).

Selain itu, kata dia, penentuan ini tak lagi berada di tangan Kemendikbudristek. Melainkan, kepala program studi untuk bisa menentukan bagaimana cara mengukur stadar kelulusan mereka.   ”Dan tuags akhir ini bisa berbentuk prototipe, bisa proyek, bisa berbentuk lainya. Tidak hanya berbentuk skirpsi, tesis, dan disertasi,” tuturnya.

Baca Juga :  TNI Terus Berupaya Hilangkan Trauma Masyarakat Pasca Teror di Pegubin

Meski begitu, Nadiem menegaskan, bahwa hal ini tak berarti skripsi dihapus atau tak bisa digunakan sebagai cara mengukur stadar kelulusan. ”Tetap bisa tapi keputusan ini ada di tangan perguruan tinggi,” sambungnya.

Ketentuan detail mengenai hal ini tertuang Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Pada Pasal 18 angka 9 huruf b disebutkan bahwa penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.

Kemudian, pada pasal 19, dijelaskan bahwa mahasiswa magister/magister terapan juga bisa diberikan tugas akhir dalam bentuk tesis, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis. Namun, tidak perlu menerbitkan jurnal internasional.

Sementara, mengenai sistem akreditasi pendidikan tinggi, Nadiem menyampaikan, ada berapa pokok perubahan juga nantinya. Adapun perubahan ini menyangkut status akreditasi yang disederhanakan; biaya akreditasi wajib yang sekarang ditanggung pemerintah; dan proses akreditasi yang dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi.

”Perubahan tidak dapat dilakukan tanpa kolaborasi seluruh pihak, Kemendikbudristek bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi pendidikan tinggi yang menyeluruh dan berdampak positif,” tuturnya.

Baca Juga :  Pertamina Tambah Harian Stok BBM dan LPG

Dalam kesempatan yang sama, Rektor IPB University Arif Satria menyatakan dukungan penuh terhadap transformasi standar nasional pendidikan tinggi ini. Dia meyakini, transformasi standar lulusan yang diatur melalui kebijakan ini tidak menurunkan mutu lulusan. Misalnya, mahasiswa bisnis membuat proposal bisnis karena tidak semua harus menjadi peneliti, ada yang tertarik menjadi pengusaha, aktivis di masyarakat. ”Oleh karena itu yang perlu diasah adalah kemampuan menulis dari apa yang direncanakan mahasiswa. Inilah yang menjadi keterampilan baru yang di masa depan,” ungkapnya.

Menurutnya, keterampilan berkomunikasi bukan hanya sebatas lisan melainkan juga tulisan. Menulis Arif, menulis dapat menggambarkan cara berpikir seseorang. “Oleh karena itu, kita memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk tugas akhirnya tidak harus penelitan dan skripsi. Mereka bisa menulis (proyek, red) apa yang diminati dalam proses peningkatan skills,” tutur Arif.

Senada, Rektor Universitas Teknik Sumbawa Chairul Hudaya pun mengaku, bahwa keputusan ini menjadi jawaban bagi perguruan tinggi untuk bisa menentukan sikap, keterampilan umum maupun khusus, hingga keleluasan untuk menentukan standar lulusan  kampus tanpa menurunkan kualitas pembelajaran. Terutama, bagi pendidikan tinggi di wilayah Indonesia Timur yang memiliki tantangan berbeda dengan wilayah lain. Menurutnya,  dengan memberikan keleluasaan, pihaknya bisa mewujudkan SDM unggul yang konkret. (mia)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya