Penghapusan Pramuka dari Ekstrakurikuler Wajib
JAKARTA – Penghapusan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib di sekolah dinilai didapat melemahkan kepemimpinan Indonesia di masa depan dan menghilangkan identitas bangsa. Ihwal adanya hal ini dikatakan Ketua Kwartir Nasional Pramuka Budi Waseso.
“Kami mencurigai adanya indikasi ke arah sana yang dilakukan secara halus dan sistematis,” kata Budi Waseso dikutip dari Antara, Jumat (26/4).
Menurut pria yang akrab disapa Buwas ini, pandangan senada juga dikemukakan sejumlah koleganya yang memimpin Pramuka di daerah.
“Dalam pembahasan dengan para pemimpin kwartir daerah seluruh Indonesia dan juga kwartir nasional semuanya melihat hal yang sama,” imbuhnya.
Pada 25 April 2024, Budi membuka rapat kerja nasional pramuka yang diselenggarakan di Depok, Jawa Barat. Rapat kerja itu dihadiri oleh 34 kwartir daerah pramuka seluruh Indonesia.
Semua pemimpin kwartir daerah secara aklamasi menolak Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024.
Mereka menandatangani dokumen pernyataan sikap bersama yang mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk segera mencabut peraturan menteri tersebut.
Budi menuturkan surat pernyataan bersama itu selanjutnya akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, agar secepatnya dapat dilakukan pertemuan bersama.
“Keberadaan Permendikbudristek itu justru tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini yang telah mengalami kemerosotan moral dan nilai-nilai budaya, menurunnya kedisiplinan, serta lemahnya nasionalisme dan cinta tanah air,” ucapnya.
Lebih lanjut Budi menilai bahwa kegiatan pramuka sangat tepat dan harus tetap menjadi kegiatan wajib di sekolah, karena pelajar kini menghadapi banyak praktik perundungan, kasus narkoba, pornografi, hingga tawuran.
Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan serta pembentukan sikap dan perilaku yang ada di pramuka masih sangat relevan dan tepat untuk diberikan kepada peserta didik di sekolah, agar tidak terseret dan terjerumus dalam kegiatan negatif.
Sekretaris Jenderal Kwartir Nasional Pramuka Bachtiar Utomo mengatakan bahwa situasi tersebut dapat disamakan dengan proxy war, yaitu suatu situasi ketika aktor-aktor tertentu berupaya memecah belah bangsa secara tidak langsung, tetapi pemimpin bangsa yang jeli dapat mendeteksi gejala tersebut. “Dalam perspektif strategis, ini membahayakan,” ujarnya.
Bachtiar pernah menjabat Panglima Kodam Wirabuana itu meminta agar Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 direvisi dan tetap memasukkan kegiatan Pramuka menjadi ekstrakurikuler wajib atau masuk kurikulum yang tertuang dalam regulasi formal, bukan hanya lisan di media, dan harus ada hitam-putihnya secara nyata serta jelas.