BNN Pastikan Kratom adalah Narkotika

Cari Jalan Tengah untuk Melindungi Masyarakat dan Tingkatkan Ekonomi

JAKARTA – Belum selesainya penelitian soal kratom, membuat tanaman ini masih abu-abu digunakan. Badan Narkotika Nasional (BNN) bersikeras bahwa kratom merupakan narkotika. Sementara itu, meski belum ada aturan dari Kementerian Kesehatan, namun BPOM telah melarang kratom sebagai obat dan suplemen.

Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Brigjen Sulistyo Pudjo menuturkan, kratom telah diajukan sebagai narkotika sejak 2019 lalu. Hal itu dikarenakan kratom membuat penggunanya menjadi kecanduan. “Tahun ini sudah ada 133 pengguna kratom yang direhabilitasi oleh BNN,”paparnya.

Bila kratom tidak juga dikategorikan sebagai narkotika, maka terdapat ancaman bahaya yang lebih besar. Yakni, membanjirnya pecandu kratom. “Padahal, sekarang ini penggunaannya masih bahan mentah alias daunnya,”terangnya kepada Jawa Pos kemarin.

Menurutnya, dampak kratom akan jauh lebih merusak saat bahan tersebut dimurnikan. Sebagai contohnya kokain yang juga berasal dari daun. Untuk kokain itu dibutuhkan satu ton daun untuk membuat satu kilogram kokain murni. “Kalau dimurnikan jauh lebih berbahaya,”terangnya.

Sebenarnya, sejak 2019 BNN telah mengajukan ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar kratom dimasukkan sebagai narkotika. Namun, Kemenkes belum juga memasukkan kratom sebagai narkotika. “Kalau sudah dimasukkan ke narkotika, undang-undangnya langsung jalan itu,” paparnya.

Menurutnya, memang BNN menyerahkan penelitian kratom ke lembaga independen. Untuk memastikan bahwa tanaman tersebut merupakan narkotika. “Penelitiannya bersama BRIN, walau di BNN sering kali meneliti kratom juga,”jelasnya.

Yang pasti sebenarnya kratom telah dilarang di sejumlah negara karena masuk kategori narkotika. Dia menuturkan, sebenarnya banya

Sementara Pakar Hukum Narkotika Slamet Pribadi menjelaskan, sebenarnya sudah ada penelitian yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kratom sejak lama. Hasil penelitian tersebut menyebut bahwa terdapat kandungan narkotika golongan satu dalam tanaman kratom. “Hasilnya intinya itu,” urainya.

Diketahui pula bahwa kratom sudah lama menjadi tanaman tradisional dan dijaga Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Karena kratom menjadi komoditas ekonomi untuk ekspor. “Dulu belum mengetahui ada kandungan narkotika, setelah mengetahui masih tetap ingin mempertahankan kratom,”papar purnawirawan Polri tersebut.

Dia menegaskan, kini pemerintah ingin meneliti kembali kandungan kratom. Maka, sebaiknya hasil penelitian terhadap kratom di publish atau diumumkan ke masyarakat. “Apakah benar mengandung narkotika seperti penelitian sebelumnya atau tidak,”jelasnya.

Yang pasti, untuk persoalan kratom ini dibutuhkan jalan tengah. Dimana tetap melindungi Kesehatan masyarakat yang potensial menjadi pecandu kratom, pun memberikan perlindungan untuk kepentingan ekonomi terhadap kratom. “Seperti narkotika pada umumnya, penggunaannya harus memiliki izin khusus. Baik dari Kementerian Kesehatan, kepolisian, BNN, atau Pemda. Yang pasti harus diawasi ketat,”jelasnya.

Dia mengatakan, bila tidak diatur dengan ketat ancamannya penggunaannya akan sangat liar. Dengan berbagai alasan dari menjadi obat, jamu atau sebagainya. “Yang pasti, hasil penelitian terhadap kratom tidak bisa dikesampingkan dalam membuat regulasi,”terangnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menegaskan belum ada aturan soal kratom dari Kemenkes. “Sesuai hasil rapat terbatas, masih menunggu kajian lebih lanjut,”ucapnya kemarin.

Ketika ditanya apakah kratom boleh digunakan atau tidak, Nadia merujuk. “Yang ada regulasi dari BPOM,”ucapnya. Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2016 memang melarang kratom atau mitragyna speciosa sebagai obat tradisional dan suplemen kesehatan. Kratom tidak boleh sebagai bahan campuran untk suplemen makanan dan obat tradisional. (idr/lyn)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Cari Jalan Tengah untuk Melindungi Masyarakat dan Tingkatkan Ekonomi

JAKARTA – Belum selesainya penelitian soal kratom, membuat tanaman ini masih abu-abu digunakan. Badan Narkotika Nasional (BNN) bersikeras bahwa kratom merupakan narkotika. Sementara itu, meski belum ada aturan dari Kementerian Kesehatan, namun BPOM telah melarang kratom sebagai obat dan suplemen.

Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Brigjen Sulistyo Pudjo menuturkan, kratom telah diajukan sebagai narkotika sejak 2019 lalu. Hal itu dikarenakan kratom membuat penggunanya menjadi kecanduan. “Tahun ini sudah ada 133 pengguna kratom yang direhabilitasi oleh BNN,”paparnya.

Bila kratom tidak juga dikategorikan sebagai narkotika, maka terdapat ancaman bahaya yang lebih besar. Yakni, membanjirnya pecandu kratom. “Padahal, sekarang ini penggunaannya masih bahan mentah alias daunnya,”terangnya kepada Jawa Pos kemarin.

Menurutnya, dampak kratom akan jauh lebih merusak saat bahan tersebut dimurnikan. Sebagai contohnya kokain yang juga berasal dari daun. Untuk kokain itu dibutuhkan satu ton daun untuk membuat satu kilogram kokain murni. “Kalau dimurnikan jauh lebih berbahaya,”terangnya.

Sebenarnya, sejak 2019 BNN telah mengajukan ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar kratom dimasukkan sebagai narkotika. Namun, Kemenkes belum juga memasukkan kratom sebagai narkotika. “Kalau sudah dimasukkan ke narkotika, undang-undangnya langsung jalan itu,” paparnya.

Menurutnya, memang BNN menyerahkan penelitian kratom ke lembaga independen. Untuk memastikan bahwa tanaman tersebut merupakan narkotika. “Penelitiannya bersama BRIN, walau di BNN sering kali meneliti kratom juga,”jelasnya.

Yang pasti sebenarnya kratom telah dilarang di sejumlah negara karena masuk kategori narkotika. Dia menuturkan, sebenarnya banya

Sementara Pakar Hukum Narkotika Slamet Pribadi menjelaskan, sebenarnya sudah ada penelitian yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kratom sejak lama. Hasil penelitian tersebut menyebut bahwa terdapat kandungan narkotika golongan satu dalam tanaman kratom. “Hasilnya intinya itu,” urainya.

Diketahui pula bahwa kratom sudah lama menjadi tanaman tradisional dan dijaga Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Karena kratom menjadi komoditas ekonomi untuk ekspor. “Dulu belum mengetahui ada kandungan narkotika, setelah mengetahui masih tetap ingin mempertahankan kratom,”papar purnawirawan Polri tersebut.

Dia menegaskan, kini pemerintah ingin meneliti kembali kandungan kratom. Maka, sebaiknya hasil penelitian terhadap kratom di publish atau diumumkan ke masyarakat. “Apakah benar mengandung narkotika seperti penelitian sebelumnya atau tidak,”jelasnya.

Yang pasti, untuk persoalan kratom ini dibutuhkan jalan tengah. Dimana tetap melindungi Kesehatan masyarakat yang potensial menjadi pecandu kratom, pun memberikan perlindungan untuk kepentingan ekonomi terhadap kratom. “Seperti narkotika pada umumnya, penggunaannya harus memiliki izin khusus. Baik dari Kementerian Kesehatan, kepolisian, BNN, atau Pemda. Yang pasti harus diawasi ketat,”jelasnya.

Dia mengatakan, bila tidak diatur dengan ketat ancamannya penggunaannya akan sangat liar. Dengan berbagai alasan dari menjadi obat, jamu atau sebagainya. “Yang pasti, hasil penelitian terhadap kratom tidak bisa dikesampingkan dalam membuat regulasi,”terangnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menegaskan belum ada aturan soal kratom dari Kemenkes. “Sesuai hasil rapat terbatas, masih menunggu kajian lebih lanjut,”ucapnya kemarin.

Ketika ditanya apakah kratom boleh digunakan atau tidak, Nadia merujuk. “Yang ada regulasi dari BPOM,”ucapnya. Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2016 memang melarang kratom atau mitragyna speciosa sebagai obat tradisional dan suplemen kesehatan. Kratom tidak boleh sebagai bahan campuran untk suplemen makanan dan obat tradisional. (idr/lyn)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos