Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Rahasianya Rampah Patang Pulo dan Sambal Tauco

Sudah 49 Tahun Berdiri, Aroma Coto Gagak Dua Kali Disinggahi Jokowi  (39)

Api yang memanaskan tungku Rumah Makan (RM) Aroma Coto Gagak itu nyaris tidak pernah padam. Restoran di Jalan Gagak tersebut memang buka nonstop. Yakni, 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan. Kekayaan rasa dari perpaduan rempah dan kaldu daging membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak cukup hanya sekali singgah.

GALIH ADI PRASETYO, Makassar

Dua panci besar berisi Coto Makassar itu tidak pernah kosong. Kuah kecokelatan dengan aroma rempah yang harum selalu tersedia. Ada pegawai yang bertugas mengecek nyala api agar konstan. Tidak boleh terlalu besar, juga jangan terlalu kecil.

Pegawai sibuk wira-wiri dari bilik yang langsung menghadap jalan raya itu ke ruangan tempat para pelanggan makan. Kuah yang menggelegak di panci besar itu lantas diambil dengan sendok sayur dan disiramkan dalam mangkuk-mangkuk kecil. Kuah tersebut langsung mengguyur potongan daging yang sudah ditata di dalam mangkuk. Sejumput bawang goreng nan renyah lantas ditaburkan di atas coto.

Aroma Coto Gagak tidak pernah sepi pembeli. Lokasinya yang tusuk sate di Jalan Gagak itu membuat pelanggan bisa datang kapan saja. Bisa pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari. Kapan saja rasa lapar datang, rumah makan yang dikelola H Jamaluddin Nassa dan Suharni tersebut siap mengusir keroncongan.

Rumah makan yang pegawainya terbagi dalam tiga sif itu didirikan H Bandu Daeng Kampa pada 1973. Jamaluddin dan Suharni adalah generasi kedua penerus bisnis kuliner khas Makassar tersebut.

’’Mertua saya yang memulai usaha coto dari Takalar. Katanya itu dulu masaknya di hutan, dimakan keluarga sendiri. Nah, usaha mertua ini diteruskan suami saya,’’ terang Suharni saat Jawa Pos menjumpainya pada Februari lalu.

Baca Juga :  Angka Stunting Papua Masih di Atas Rata-rata Nasional

Karena namanya Aroma Coto Gagak, banyak orang yang salah kaprah. Mereka pikir, coto yang resepnya turun-temurun itu berisi potongan daging burung gagak. Padahal, gagak adalah nama jalan yang menjadi alamat warung.

’’Daging sapi terbaik yang ada di sini, bukan daging burung. Banyak orang salah kira. Depan warung ini namanya Jalan Gagak, jadi dari sana asalnya (kata gagak),’’ terang perempuan 60 tahun tersebut.

Kunci kelezatan coto memang terletak pada berbagai rempah yang digunakan. Sebagai kota dagang yang masyhur sejak era kolonial, Makassar punya pengaruh besar pada kuliner berempah. Bahkan untuk resep coto, orang Makassar biasa menyebut bumbunya dengan nama rampah patang pulo atau bumbu 40 macam rempah.

Rempah yang dominan pada Aroma Coto Gagak adalah ketumbar, jintan, pala, cengkih, dan serai. Racikan itu pula yang membuat daging tidak amis atau prengus. Kabarnya, ramuan rempah tersebut juga bisa menurunkan kadar kolesterol pada daging atau jeroan.

Karena tidak semua orang suka jeroan, Aroma Coto Gagak pun memisahkan pengolahan daging dan jeroan. ’’Perebusan daging dan kuah di sini juga dipisah. Jadi, kuah tidak bau darah dan jeroan. Baru setelah itu direbus lagi dengan bumbu,’’ kata Suharni.

Kuah Aroma Coto Gagak juga mahteh berkat tambahan kacang pada kaldunya. Kacang pula yang membuat kuah coto cenderung berwarna kecokelatan. Sensasi gurih dan kental berasal dari kacang yang ditambahkan itu.

Selain bumbu, Suharni menegaskan bahwa teknik memasak punya peran penting dalam menghasilkan cita rasa tinggi. Yang tidak boleh berubah sejak zaman dulu adalah pemakaian kayu sebagai bahan bakar tungku. Pengapian dengan kayu membuat suhu relatif stabil. Bakaran kayu juga membuat aroma coto lebih harum dan khas. Karena itulah, dia selalu nyetok kayu bakar yang kadang kala tumpukannya sampai menyentuh langit-langit.

Baca Juga :  Investigasi Tiga Layanan Selama Fase Armuzna

Sebagai kuliner khas, coto selalu hadir bersama ketupat. Olahan beras yang dibungkus janur itu berukuran kecil saja. Tidak sampai sekepal tangan orang dewasa. Lebih kecil ketimbang ukuran ketupat Lebaran.

Yang membuat Aroma Coto Gagak beda dengan coto-coto lain adalah sambalnya. Suharni mengolah sambal dari cabai segar, kemudian memadukannya dengan tauco. Hasilnya adalah sambal yang pedas dengan sedikit rasa asin dan asam. ’’Memang yang beda itu sambalnya, pakai tauco. Kalau dicampur coto, semakin enak rasanya. Itu juga resep dari mertua saya dulu. Tidak ada yang diganti,’’ cerita Suharni.

Pada 2014, sebelum menjabat presiden, Jokowi pernah singgah ke Aroma Coto Gagak. Saat itu Ibu Iriana mendampingi. Dalam kunjungan pertamanya tersebut, Jokowi datang mendadak. ’’Beliau datang tanpa kawalan. Seperti pembeli biasa, datang langsung pesan. Ingat betul waktu itu pesan langsung dua mangkuk. Yang satu campur, satunya lagi isi daging saja,’’ jelas Suharni.

Setelah itu, Jokowi sempat singgah lagi saat sudah menjadi presiden. Presiden ke-7 RI tersebut mampir ke Aroma Coto Gagak di sela lawatan kerjanya ke Makassar. Dua kali dikunjungi Jokowi membuat Aroma Coto Gagal masuk radar kuliner nasional. Pelanggan tidak lagi hanya datang dari Makassar dan sekitarnya. Banyak juga yang datang dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri.

Popularitas itu membuat Aroma Coto Gagak kian melambung. Suharni kemudian menambah cabang karena usahanya terus berkembang. ’’Selain di Jalan Gagak, kami buka cabang di Bandara Sultan Hasanuddin. Satu lagi di Jalan Poros Pangkep (Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Red),’’ tandasnya. (*/c7/hep/JPG)

Sudah 49 Tahun Berdiri, Aroma Coto Gagak Dua Kali Disinggahi Jokowi  (39)

Api yang memanaskan tungku Rumah Makan (RM) Aroma Coto Gagak itu nyaris tidak pernah padam. Restoran di Jalan Gagak tersebut memang buka nonstop. Yakni, 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan. Kekayaan rasa dari perpaduan rempah dan kaldu daging membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak cukup hanya sekali singgah.

GALIH ADI PRASETYO, Makassar

Dua panci besar berisi Coto Makassar itu tidak pernah kosong. Kuah kecokelatan dengan aroma rempah yang harum selalu tersedia. Ada pegawai yang bertugas mengecek nyala api agar konstan. Tidak boleh terlalu besar, juga jangan terlalu kecil.

Pegawai sibuk wira-wiri dari bilik yang langsung menghadap jalan raya itu ke ruangan tempat para pelanggan makan. Kuah yang menggelegak di panci besar itu lantas diambil dengan sendok sayur dan disiramkan dalam mangkuk-mangkuk kecil. Kuah tersebut langsung mengguyur potongan daging yang sudah ditata di dalam mangkuk. Sejumput bawang goreng nan renyah lantas ditaburkan di atas coto.

Aroma Coto Gagak tidak pernah sepi pembeli. Lokasinya yang tusuk sate di Jalan Gagak itu membuat pelanggan bisa datang kapan saja. Bisa pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari. Kapan saja rasa lapar datang, rumah makan yang dikelola H Jamaluddin Nassa dan Suharni tersebut siap mengusir keroncongan.

Rumah makan yang pegawainya terbagi dalam tiga sif itu didirikan H Bandu Daeng Kampa pada 1973. Jamaluddin dan Suharni adalah generasi kedua penerus bisnis kuliner khas Makassar tersebut.

’’Mertua saya yang memulai usaha coto dari Takalar. Katanya itu dulu masaknya di hutan, dimakan keluarga sendiri. Nah, usaha mertua ini diteruskan suami saya,’’ terang Suharni saat Jawa Pos menjumpainya pada Februari lalu.

Baca Juga :  Awalnya Dipesan Kaesang, lalu Jadi Langganan Istana Bogor

Karena namanya Aroma Coto Gagak, banyak orang yang salah kaprah. Mereka pikir, coto yang resepnya turun-temurun itu berisi potongan daging burung gagak. Padahal, gagak adalah nama jalan yang menjadi alamat warung.

’’Daging sapi terbaik yang ada di sini, bukan daging burung. Banyak orang salah kira. Depan warung ini namanya Jalan Gagak, jadi dari sana asalnya (kata gagak),’’ terang perempuan 60 tahun tersebut.

Kunci kelezatan coto memang terletak pada berbagai rempah yang digunakan. Sebagai kota dagang yang masyhur sejak era kolonial, Makassar punya pengaruh besar pada kuliner berempah. Bahkan untuk resep coto, orang Makassar biasa menyebut bumbunya dengan nama rampah patang pulo atau bumbu 40 macam rempah.

Rempah yang dominan pada Aroma Coto Gagak adalah ketumbar, jintan, pala, cengkih, dan serai. Racikan itu pula yang membuat daging tidak amis atau prengus. Kabarnya, ramuan rempah tersebut juga bisa menurunkan kadar kolesterol pada daging atau jeroan.

Karena tidak semua orang suka jeroan, Aroma Coto Gagak pun memisahkan pengolahan daging dan jeroan. ’’Perebusan daging dan kuah di sini juga dipisah. Jadi, kuah tidak bau darah dan jeroan. Baru setelah itu direbus lagi dengan bumbu,’’ kata Suharni.

Kuah Aroma Coto Gagak juga mahteh berkat tambahan kacang pada kaldunya. Kacang pula yang membuat kuah coto cenderung berwarna kecokelatan. Sensasi gurih dan kental berasal dari kacang yang ditambahkan itu.

Selain bumbu, Suharni menegaskan bahwa teknik memasak punya peran penting dalam menghasilkan cita rasa tinggi. Yang tidak boleh berubah sejak zaman dulu adalah pemakaian kayu sebagai bahan bakar tungku. Pengapian dengan kayu membuat suhu relatif stabil. Bakaran kayu juga membuat aroma coto lebih harum dan khas. Karena itulah, dia selalu nyetok kayu bakar yang kadang kala tumpukannya sampai menyentuh langit-langit.

Baca Juga :  Tumbuh Subur Lagi setelah Ditanam Para Sahabat Bung Karno

Sebagai kuliner khas, coto selalu hadir bersama ketupat. Olahan beras yang dibungkus janur itu berukuran kecil saja. Tidak sampai sekepal tangan orang dewasa. Lebih kecil ketimbang ukuran ketupat Lebaran.

Yang membuat Aroma Coto Gagak beda dengan coto-coto lain adalah sambalnya. Suharni mengolah sambal dari cabai segar, kemudian memadukannya dengan tauco. Hasilnya adalah sambal yang pedas dengan sedikit rasa asin dan asam. ’’Memang yang beda itu sambalnya, pakai tauco. Kalau dicampur coto, semakin enak rasanya. Itu juga resep dari mertua saya dulu. Tidak ada yang diganti,’’ cerita Suharni.

Pada 2014, sebelum menjabat presiden, Jokowi pernah singgah ke Aroma Coto Gagak. Saat itu Ibu Iriana mendampingi. Dalam kunjungan pertamanya tersebut, Jokowi datang mendadak. ’’Beliau datang tanpa kawalan. Seperti pembeli biasa, datang langsung pesan. Ingat betul waktu itu pesan langsung dua mangkuk. Yang satu campur, satunya lagi isi daging saja,’’ jelas Suharni.

Setelah itu, Jokowi sempat singgah lagi saat sudah menjadi presiden. Presiden ke-7 RI tersebut mampir ke Aroma Coto Gagak di sela lawatan kerjanya ke Makassar. Dua kali dikunjungi Jokowi membuat Aroma Coto Gagal masuk radar kuliner nasional. Pelanggan tidak lagi hanya datang dari Makassar dan sekitarnya. Banyak juga yang datang dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri.

Popularitas itu membuat Aroma Coto Gagak kian melambung. Suharni kemudian menambah cabang karena usahanya terus berkembang. ’’Selain di Jalan Gagak, kami buka cabang di Bandara Sultan Hasanuddin. Satu lagi di Jalan Poros Pangkep (Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Red),’’ tandasnya. (*/c7/hep/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya