Friday, March 29, 2024
25.7 C
Jayapura

Wapres Berharap Batas Atas UMP Dibuat Fleksibel

JAKARTA – Ketentuan baru penetapan upah minimum provinsi (UMP) menuai polemik. Khususnya ada klausul pembatasan persentase kenaikan. Yaitu UMP 2023 tidak boleh naik lebih dari 10 persen dibandingkan tahun ini. Wakil Presiden Ma’ruf Amin berharap ketentuan batas atas upah minimum itu dibuat fleksibel.

Keterangan tersebut disampaikan Ma’ruf usai menghadiri silaturahmi Pimpinan dan Pengurus Baznas se-Jawa Tengah di Solo kemarin (21/11). Dia membenarkan bahwa ada aturan batas kenaikan upah minimum adalah 10 persen. ’’Ya karena maksimal, saya pikir itu mungkin bisa dilakukan musyawarah,’’ katanya.

Ma’ruf mengatakan dalam penyunan upah minimum tentu ada rapat tripartite. Dia berharap dalam pertemuan itu, diambil keputusan yang win win solution. Kebijakan yang bagus untuk semua pihak. ’’Jadi karena maksimal artinya masih bisa ada pembicaraan-pembicaraan. Jadi fleksibel nanti,’’ tuturnya.

Sebelumnya sorotan terhadap ketentuan batas maksimal kenaikan gaji 10 persen itu disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. ’’Ini regulasi yang mengatur batas minimum upah. Ngapain juga mengatur upah maksimum,’’ katanya.

Selain itu Iqbal menyoroti rumus penghitungan upah minimum yang rumit. Dia mengusulkan supaya upah minimum mengacu pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Menurut dia rumusan tersebut lazim digunakan di negara lain. Atau alternatif penetapan upah minimum menggunakan standar biaya hidup layak.

Baca Juga :  Promo InjuryTime dari POCO bagi Penggila Sepak Bola

Dia berharap tahun depan upah minimum bisa naik signifikan. Sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih positif. Indonesia terhindar dari ancaman resesi. Selain itu tahun depan Indonesia diprediksi menjadi negara nomor tiga dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. ’’Indonesia berada di bawah Filipina dan India,’’ jelasnya.

Sementara itu, anggota Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Mirah Sumirat mengingatkan, agar para gubernur dapat mengumumkan UMP 2023-nya sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Apalagi, sudah ada formula dalam permenaker 18/2022. Jadi tak ada alasan untuk molor meski tak ada sanksi tertulis jika ada keterlambatan.

“Sudah ada rumusnya tinggal masukin aja,” ungkapnya.

Menurutnya, tahun ini, gubernur lebih enak karena sudah ada semacam guidance secara clear bahwa untuk menghitung UMP itu tidak mengacu peraturan pemerintah (PP) 36/2021. Untuk mekanisme perhitungan, kepala daerah tinggal menyerahkan pada dewan pengupahan daerah di kabupaten/kota dan provinsi. “Yang akan mengolah itu depenas yang terdiri dari 3 unsur, pemerintah, buruh, dan pengusaha,” katanya.

Diakuinya, dengan adanya permenaker UMP ini fungsi depenas seolah dihidupkan kembali. Mengingat, selama ini ketika perhitungan UMP menggunakan PP 36/2021, keberadaan depenas mulai dari kabupaten/kota hingga pusat jadi tidak berdaya. Tidak berfungsi sesuai yang diamanatkan. Sebab, formula perhitungan UMP pada PP 36/2021 seolah mengunci kewenangan mereka. “Ketika ada permenaker ini jadi bisa lebih difungsikan kembali untuk sama-sama memutuskan UMP 2023 sesuai dengan permen,” paparnya.

Baca Juga :  Hamas: Pemadaman Listrik di RS Indonesia Kejahatan Kemanusiaan

Disinggung soal kemungkinan adanya pemerintah daerah yang tidak menaikkan UMP 2023-nya, Mirah menegaskan, bahwa itu tidak dimungkinkan. Sebab, inflasi tahun ini cukup tinggi. Belum lagi daya beli masyarakat yang menurut drastis usai dihajar kenaikan harga bahan bakar minyak (bbm) dan harga pangan yang melambung.

Tahun lalu, lanjut dia, memang ada empat provinsi yang tidak naik UMP-nya. Biang keladinya tentu PP 36/2021, yang ditengarai memiliki formula yang tidak sesuai untuk perhitungan penetapan UMP.

“Secara nasional saja kenaikannya cuma 1,09 persen. Ketika itu diimplementasikan, ada yang gak naik pasti,” keluhnya. Namun, imbuh dia, di tahun ini, tak ada alasan bagi kepala daerah untuk tidak menaikkan UMPnya. Hal ini juga dipertegas dalam permenaker 18/2022, yang menyebutkan untuk daerah yang pertumbuhan ekonominya bernilai negatif, penyesuaian nilai upah minimum hanya mempertimbangkan variabel inflasi. (wan/mia)

JAKARTA – Ketentuan baru penetapan upah minimum provinsi (UMP) menuai polemik. Khususnya ada klausul pembatasan persentase kenaikan. Yaitu UMP 2023 tidak boleh naik lebih dari 10 persen dibandingkan tahun ini. Wakil Presiden Ma’ruf Amin berharap ketentuan batas atas upah minimum itu dibuat fleksibel.

Keterangan tersebut disampaikan Ma’ruf usai menghadiri silaturahmi Pimpinan dan Pengurus Baznas se-Jawa Tengah di Solo kemarin (21/11). Dia membenarkan bahwa ada aturan batas kenaikan upah minimum adalah 10 persen. ’’Ya karena maksimal, saya pikir itu mungkin bisa dilakukan musyawarah,’’ katanya.

Ma’ruf mengatakan dalam penyunan upah minimum tentu ada rapat tripartite. Dia berharap dalam pertemuan itu, diambil keputusan yang win win solution. Kebijakan yang bagus untuk semua pihak. ’’Jadi karena maksimal artinya masih bisa ada pembicaraan-pembicaraan. Jadi fleksibel nanti,’’ tuturnya.

Sebelumnya sorotan terhadap ketentuan batas maksimal kenaikan gaji 10 persen itu disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. ’’Ini regulasi yang mengatur batas minimum upah. Ngapain juga mengatur upah maksimum,’’ katanya.

Selain itu Iqbal menyoroti rumus penghitungan upah minimum yang rumit. Dia mengusulkan supaya upah minimum mengacu pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Menurut dia rumusan tersebut lazim digunakan di negara lain. Atau alternatif penetapan upah minimum menggunakan standar biaya hidup layak.

Baca Juga :  Tiket PTC Waterpark Hanya Rp 50 Ribu

Dia berharap tahun depan upah minimum bisa naik signifikan. Sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih positif. Indonesia terhindar dari ancaman resesi. Selain itu tahun depan Indonesia diprediksi menjadi negara nomor tiga dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. ’’Indonesia berada di bawah Filipina dan India,’’ jelasnya.

Sementara itu, anggota Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Mirah Sumirat mengingatkan, agar para gubernur dapat mengumumkan UMP 2023-nya sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Apalagi, sudah ada formula dalam permenaker 18/2022. Jadi tak ada alasan untuk molor meski tak ada sanksi tertulis jika ada keterlambatan.

“Sudah ada rumusnya tinggal masukin aja,” ungkapnya.

Menurutnya, tahun ini, gubernur lebih enak karena sudah ada semacam guidance secara clear bahwa untuk menghitung UMP itu tidak mengacu peraturan pemerintah (PP) 36/2021. Untuk mekanisme perhitungan, kepala daerah tinggal menyerahkan pada dewan pengupahan daerah di kabupaten/kota dan provinsi. “Yang akan mengolah itu depenas yang terdiri dari 3 unsur, pemerintah, buruh, dan pengusaha,” katanya.

Diakuinya, dengan adanya permenaker UMP ini fungsi depenas seolah dihidupkan kembali. Mengingat, selama ini ketika perhitungan UMP menggunakan PP 36/2021, keberadaan depenas mulai dari kabupaten/kota hingga pusat jadi tidak berdaya. Tidak berfungsi sesuai yang diamanatkan. Sebab, formula perhitungan UMP pada PP 36/2021 seolah mengunci kewenangan mereka. “Ketika ada permenaker ini jadi bisa lebih difungsikan kembali untuk sama-sama memutuskan UMP 2023 sesuai dengan permen,” paparnya.

Baca Juga :  Diduga Bensin Ketemu Rokok Jadilah Kebakaran

Disinggung soal kemungkinan adanya pemerintah daerah yang tidak menaikkan UMP 2023-nya, Mirah menegaskan, bahwa itu tidak dimungkinkan. Sebab, inflasi tahun ini cukup tinggi. Belum lagi daya beli masyarakat yang menurut drastis usai dihajar kenaikan harga bahan bakar minyak (bbm) dan harga pangan yang melambung.

Tahun lalu, lanjut dia, memang ada empat provinsi yang tidak naik UMP-nya. Biang keladinya tentu PP 36/2021, yang ditengarai memiliki formula yang tidak sesuai untuk perhitungan penetapan UMP.

“Secara nasional saja kenaikannya cuma 1,09 persen. Ketika itu diimplementasikan, ada yang gak naik pasti,” keluhnya. Namun, imbuh dia, di tahun ini, tak ada alasan bagi kepala daerah untuk tidak menaikkan UMPnya. Hal ini juga dipertegas dalam permenaker 18/2022, yang menyebutkan untuk daerah yang pertumbuhan ekonominya bernilai negatif, penyesuaian nilai upah minimum hanya mempertimbangkan variabel inflasi. (wan/mia)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya