Menurut Hakim, Gas Air Mata Tak Sampai Tribun Tempat Kepanikan Penonton
SURABAYA – Dua di antara tiga polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (16/3). Perbuatan kedua terdakwa dianggap tidak berkaitan dengan meninggalnya 135 Aremania, 24 orang luka berat, dan 623 korban luka ringan dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 1 Oktober 2022.
Dua terdakwa tersebut adalah eks Kabagops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan eks Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi. Satu terdakwa lain, eks Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum pidana 1,5 tahun penjara.
Majelis hakim yang diketuai Abu Achmad Sidqi Amsya serta dua anggota, I Ketut Kimiarsa dan Mangapul, berpendapat bahwa asap gas air mata yang ditembakkan Bripda Satriyo Aji Lesmono dan Bripda Willy Adam Aldy di lapangan atas perintah terdakwa Bambang tidak sampai ke tribun stadion.
Asap itu hilang tertiup angin tidak lama setelah ditembakkan. ”Penembakan yang diperintahkan terdakwa kepada anak buahnya mengarah ke tengah lapangan. Asap terdorong angin menuju selatan sampai sisi lapangan.
Tidak sampai ke tribun selatan tempat kepanikan suporter,” kata hakim Abu saat membacakan pertimbangan putusan untuk terdakwa Bambang di PN Surabaya kemarin (16/3).
Menurut majelis hakim, tidak ada hubungan sebab akibat antara perintah penembakan gas air mata yang dilakukan terdakwa Bambang dan kepanikan Aremania di tribun selatan hingga banyak korban tewas.
Karena itu, unsur kealpaan sebagaimana dakwaan pertama Pasal 359 KUHP, dakwaan kedua Pasal 360 ayat 1 KUHP, dan dakwaan ketiga Pasal 360 ayat 2 KUHP dari jaksa penuntut umum dinyatakan tidak terbukti.
Hakim memerintahkan agar terdakwa Bambang segera dibebaskan dari Rutan Polda Jatim terhitung sejak putusan selesai dibacakan. ”Terdakwa harus dibebaskan dari seluruh dakwaan kumulatif jaksa penuntut umum,” ujar Abu.
Terdakwa Wahyu juga dibebaskan majelis hakim dengan pertimbangan yang sama. Perbuatan yang dilakukan terdakwa dianggap tidak terbukti memenuhi unsur kealpaan sebagaimana tiga dakwaan jaksa.
Menurut majelis hakim, terdakwa Wahyu tidak pernah memerintah terdakwa Hasdarmawan untuk menembakkan gas air mata ke arah penonton di tribun selatan, yakni tribun 13 dan sekitarnya.
”Hasdarmawan tidak tunduk di bawah perintah terdakwa Wahyu sehingga apa pun perintah terdakwa Wahyu tidak akan dilaksanakan. Hasdarmawan saat bertugas hanya tunduk kepada Pasiops Brimob Polda Jatim AKP Dariyono,” ungkap Abu.
Terdakwa Wahyu sebagai Kasat Samapta Polres Malang disebut tidak pernah memerintah Hasdarmawan dan pasukannya menembakkan gas air mata karena tidak punya kewenangan.
Karena itu, perbuatan Wahyu juga tidak terbukti memenuhi unsur kealpaan sebagaimana dakwaan pertama Pasal 359 KUHP, dakwaan kedua Pasal 360 ayat 1 KUHP, dan dakwaan ketiga Pasal 360 ayat 2 KUHP jaksa penuntut umum. Selain memerintahkan terdakwa Bambang dan Wahyu dibebaskan, majelis hakim meminta nama baik kedua terdakwa direhabilitasi.
Berbeda dengan Bambang dan Wahyu, terdakwa Hasdarmawan dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat 1 KUHP, dan Pasal 360 ayat 2 KUHP. Eks komandan kompi III Brimob Polda Jatim itu terbukti memerintah pasukannya dari Brimob Porong untuk menembakkan gas air mata. Tembakan itu mengarah ke sentelban, pagar tribun, dan tribun penonton di selatan.
Asap dari tembakan itu mengakibatkan mata para penonton pedih sehingga timbul kepanikan. Lalu berebut untuk keluar stadion melalui pintu masuk yang kecil dan di tengahnya masih ada besi penghalang. Para penonton saling berimpitan, terjatuh, dan terinjak-injak. Sebagian di antara mereka tewas dan lainnya luka karena terinjak-injak dan kekurangan oksigen.
Terdakwa Hasdarmawan tidak pernah memikirkan bahwa di tribun itu terdapat wanita, anak-anak, serta suporter lain yang tidak bersalah. Menurut hakim, Hasdarmawan seharusnya masih bisa memerintah pasukannya untuk menghindar dan menjauhi suporter yang masuk ke lapangan.
”Majelis berpendapat bahwa terdakwa yang memerintah anak buahnya menembakkan gas air mata ke tribun penonton sebagai tindakan yang berlebihan dan melampaui batas,” ujar hakim Abu.
Meski begitu, majelis hakim menghukum ringan terdakwa Hasdarmawan. Hanya pidana 1,5 tahun penjara. Pertimbangannya, terdakwa Hasdarmawan telah mendarmabaktikan jiwa dan raganya untuk NKRI sejak berdinas di kepolisian.
Selain itu, selama berkarier di kepolisian, terdakwa berkelakuan baik serta berprestasi hingga menempati jabatannya saat ini. Sikap terdakwa yang kooperatif selama penyidikan dan penuntutan serta berterus terang selama persidangan juga menjadi pertimbangan yang meringankan.
Sementara itu, jaksa masih menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim. Meski, jika merujuk pada aturan di kejaksaan, jaksa penuntut umum wajib mengajukan kasasi atas vonis bebas terdakwa Bambang dan Wahyu.
Selain itu, diwajibkan banding untuk terdakwa Hasdarmawan karena putusan hakim kurang dari dua pertiga tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut ketiga terdakwa polisi selama tiga tahun penjara. ”Kami masih akan pelajari dulu putusannya,” kata jaksa penuntut umum Rakhmad Hari Basuki saat dikonfirmasi seusai persidangan.
Secara terpisah, pengacara ketiga terdakwa polisi, Tonic Tangkau, menyatakan bahwa para korban tewas dan terluka karena berdesak-desakan di pintu saat akan keluar stadion. Bukan karena tembakan gas air mata. Pintu stadion bukan tanggung jawab para kliennya. Namun, dia enggan menyebutkan bahwa kematian para korban karena kelalaian panpel Arema FC.
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai putusan bebas terhadap dua terdakwa polisi di kasus Kanjuruhan melukai rasa keadilan masyarakat. Bahkan, vonis tersebut dapat memicu kemarahan sosial masyarakat. ”Ini bukti nyata bahwa hukum telah dipermainkan sedemikian rupa,” kata Isnur kepada Jawa Pos.
Pihaknya melihat sejak awal bahwa kasus tragedi Kanjuruhan tidak ditangani secara serius. Penyidikan hingga penuntutan aparat penegak hukum, kata Isnur, tidak membawa kasus tersebut ke arah yang jelas. ”(Proses penegakan hukum, Red) justru terkesan melindungi para pelaku,” paparnya.
Ketidakseriusan penanganan kasus Kanjuruhan itu kemudian berlanjut di persidangan. Bukti-bukti dan keterangan saksi yang disajikan cenderung lemah dan membuat rangkaian peristiwa Kanjuruhan tidak utuh. Itu membuat hakim kemudian menyimpulkan bahwa meninggalnya ratusan orang disebabkan angin.
”Itu (kesimpulan penyebab meninggalnya suporter gara-gara angin, Red) karena hakim tidak mendapatkan gambaran fakta yang utuh,” tutur Isnur. Padahal, fakta yang dikumpulkan koalisi masyarakat sipil dan pihak-pihak lain jelas menggambarkan bahwa ada kesengajaan petugas menembakkan gas air mata ke arah tribun. ”Fakta kebenaran itu dibuat lemah (di persidangan, Red),” imbuhnya.
Isnur menduga pembuktian memang sengaja dibuat lemah oleh upaya sistematis pihak tertentu dengan menyembunyikan fakta-fakta sebenarnya. Fakta-fakta yang tidak utuh itu akhirnya membuat hakim gagal menemukan hubungan kausalitas atau sebab akibat dari peristiwa Kanjuruhan. ”Apalagi sejak awal pelaku penembakan tidak diperiksa di sidang. Itu sudah kelihatan (peradilan, Red) sesat,” paparnya.
Isnur meminta Kapolri dan jaksa agung bertanggung jawab atas peradilan sesat yang tidak berpihak kepada korban tragedi Kanjuruhan. Semestinya, kata dia, Kapolri dan kejaksaan melakukan pengawasan ketat terhadap proses hukum yang ditangani jajarannya. ”Mereka (Kapolri dan jaksa agung, Red) gagal mengungkapkan perkara ini dengan maksimal,” ucapnya.
Sementara itu, Mabes Polri menahan diri untuk angkat bicara terkait vonis bebas tersebut. ”Saya tidak ingin buru-buru berkomentar. Bisa tanyakan ke Polda Jatim itu,” ujar Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di lobi Bareskrim kemarin. (gas/tyo/idr/c19/fal)