Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

WHO Sudah Terbitkan Panduan Rapid Test Mandiri

Kemenkes Masih Kaji dengan Ahli

JAKARTA – Badan Kesehatan Dunia atau WHO sudah mengeluarkan panduan rapid tes Covid-19 untuk pengujian secara mandiri. Namun sepertinya ini belum bisa segera diterapkan di Indonesi. Sebab, pemerintah belum memiliki regulasi untuk mengatur tes mandiri ini.

Menurut WHO, tes mandiri adalah tes bisa dilakukan oleh individu di mana pun. Mereka akan mengumpulkan spesimennya lalu melakukan tes dan mengartikan secara mandiri hasil tes tersebut. Syarat melakukan tes mandiri ini adalah alat yang digunakan sensitifitasnya lebih dari 80 persen. Dengan adanya tes mandiri maka tes Covid-19 lebih merata.

Kemarin Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan saat ini masih dilakukan pembahasan dengan para ahli. Untuk itu rapid test Covid-19 masih sesuai dengan aturan lama. Yakni tetap dilakukan di laboratorium atau fasilitas kesehatan. ”Testing saat ini dilakukan oleh tenaga kesehatan,” ujarnya.

Baca Juga :  Baru Capai 5,4 Persen, Booster Terus Dikebut

Nadia juga menjelaskan dengan pemeriksaan antigen angka positivity ratenya hanya 5 hingga 8 persen. Sementara jika menggunakan PCR dapat mendeteksi lebih sensitif. Angka positivity rate tes PCR hingga 40 persen. Sementara untuk mengukur laju penularan diukur dari pemeriksaan diagnosis. Bukan dari skrining.

Sementara itu kasus Covid-19 di Indonesia, belakangan cenderung melandai. Februari lalu dianggap sebagai puncak dari varian omicron. Namun ini belum berarti Indonesia sudah meninggalkan era pandemi Covid-19. Hal tersebut ditegaskan Nadia dalam kesempatan yang sama. “Tapi dengan banyaknya tren indikator yang menunjukkan hal positif, kita sudah siapkan langkah menuju endemi,” katanya.

Lebih lanjut, dari pandemi ke endemi dibutuhkan transisi. Ada tahapan yang harus dilalui, yakni pengendalian pandemi. Sedankan di Indonesia, angka kasus harian dan kematian masih tinggi serta keterisian rumah sakit masih 20 persen. “Laju penularan masih terjadi dan pandemi belum terkendali,” ungkap Nadia.

Baca Juga :  Ketua KPK Firli Bahuri Mangkir dari Panggilan Pemeriksaan Polda Metro Jaya

Untuk disebut terkendali, Nadia menyebutkan bahwa laju penularan harusnya kurang dari 1. Sementara positivity rate dan tingkat perawatan di rumah sakit dibawah 5 persen. Untuk case fatality ratenya harus kurang dari 3 persen. Lalu transmisi lokal harus pada level 1. “Kondisi ini harus terjadi dalam waktu tertentu. Missal enam bulan,” tuturnya.

Dia menegaskan pemerintah tidak terburu-buru untuk memutuskan perubahan status dari pandemi ke endemi. Endemi bukan berarti kasus akan hilang.

Dirut RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril mengatakan keterisian rumah sakit semakin turun. Di RSPI Sulianti Saroso sendiri angka keterisian rumah sakit sudah mencapai 18 persen. “Itu pun terus turun,” ujarnya. (lyn/JPG)

Kemenkes Masih Kaji dengan Ahli

JAKARTA – Badan Kesehatan Dunia atau WHO sudah mengeluarkan panduan rapid tes Covid-19 untuk pengujian secara mandiri. Namun sepertinya ini belum bisa segera diterapkan di Indonesi. Sebab, pemerintah belum memiliki regulasi untuk mengatur tes mandiri ini.

Menurut WHO, tes mandiri adalah tes bisa dilakukan oleh individu di mana pun. Mereka akan mengumpulkan spesimennya lalu melakukan tes dan mengartikan secara mandiri hasil tes tersebut. Syarat melakukan tes mandiri ini adalah alat yang digunakan sensitifitasnya lebih dari 80 persen. Dengan adanya tes mandiri maka tes Covid-19 lebih merata.

Kemarin Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan saat ini masih dilakukan pembahasan dengan para ahli. Untuk itu rapid test Covid-19 masih sesuai dengan aturan lama. Yakni tetap dilakukan di laboratorium atau fasilitas kesehatan. ”Testing saat ini dilakukan oleh tenaga kesehatan,” ujarnya.

Baca Juga :  Batas Usia Penerimaan ASN 48 Tahun bagi S1

Nadia juga menjelaskan dengan pemeriksaan antigen angka positivity ratenya hanya 5 hingga 8 persen. Sementara jika menggunakan PCR dapat mendeteksi lebih sensitif. Angka positivity rate tes PCR hingga 40 persen. Sementara untuk mengukur laju penularan diukur dari pemeriksaan diagnosis. Bukan dari skrining.

Sementara itu kasus Covid-19 di Indonesia, belakangan cenderung melandai. Februari lalu dianggap sebagai puncak dari varian omicron. Namun ini belum berarti Indonesia sudah meninggalkan era pandemi Covid-19. Hal tersebut ditegaskan Nadia dalam kesempatan yang sama. “Tapi dengan banyaknya tren indikator yang menunjukkan hal positif, kita sudah siapkan langkah menuju endemi,” katanya.

Lebih lanjut, dari pandemi ke endemi dibutuhkan transisi. Ada tahapan yang harus dilalui, yakni pengendalian pandemi. Sedankan di Indonesia, angka kasus harian dan kematian masih tinggi serta keterisian rumah sakit masih 20 persen. “Laju penularan masih terjadi dan pandemi belum terkendali,” ungkap Nadia.

Baca Juga :  Vaksin Boster di Bandara Didominasi Penumpang

Untuk disebut terkendali, Nadia menyebutkan bahwa laju penularan harusnya kurang dari 1. Sementara positivity rate dan tingkat perawatan di rumah sakit dibawah 5 persen. Untuk case fatality ratenya harus kurang dari 3 persen. Lalu transmisi lokal harus pada level 1. “Kondisi ini harus terjadi dalam waktu tertentu. Missal enam bulan,” tuturnya.

Dia menegaskan pemerintah tidak terburu-buru untuk memutuskan perubahan status dari pandemi ke endemi. Endemi bukan berarti kasus akan hilang.

Dirut RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril mengatakan keterisian rumah sakit semakin turun. Di RSPI Sulianti Saroso sendiri angka keterisian rumah sakit sudah mencapai 18 persen. “Itu pun terus turun,” ujarnya. (lyn/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya