Jawaban Para Calon KPU-Bawaslu Tidak Diperdalam
JAKARTA – Pelaksanaan fit and proper test calon Komisioner KPU dan Bawaslu RI dinilai kurang optimal. Sebab, gagasan yang diusung masing-masing calon masih tidak diperdalam.
Pandangan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Wanita yang akrab disapa Ninis itu menilai, pertanyaan yang disampaikan para anggota komisi II terlalu acak. Mereka juga kurang fokus pada kebutuhan Pemilu 2024 mendatang. ’’Lebih banyak cerita, kaya pengalaman (pemilu) di dapilnya. Bukan inovasi apa, menggali lebih detail,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (15/2).
Idealnya, lanjut dia, seleksi difokuskan pada tantangan kompleksitas dan potensi persoalan pemilu nanti. Tak cukup itu, gagasan para calon juga tidak sebatas disampaikan, namun perlu dielaborasi lebih jauh. Selama seleksi yang sudah berjalan dua hari, hal itu tidak terjadi. ’’Hanya pertanyaan dikumpulkan, kemudian dijawab secara bersamaan, selesai. Ga ada pendalaman, katakanlah diskusi,’’ imbuhnya.
Dia mengusulkan, proses wawancara dilakukan seperti yang digunakan tim seleksi (timsel) KPU dan Bawaslu. Di mana jawaban dari para calon, ditanggapi dan didalami kembali oleh para anggota timsel. Dengan cara tersebut, maka isi kepala para calon bisa lebih diuji.
Nah, di seleksi terakhir hari ini, pihaknya berharap ada pendalaman itu. Jika merujuk jadwal, fit and proper test akan menyasar para calon komisioner Bawaslu. Ada banyak problem pangawasan yang bisa dikritisi. Seperti pengawasan kampanye hitam di sosial media, hingga problem perbedaan penafsiran UU dengan KPU.
Jalannya fit and proper test di hari kedua relatif sama dengan hari pertama. Ada delapan nama yang dihadirkan. Yakni enam calon komisioner KPU M Afifuddin, M Ali Safa’at, Parsadaan Harahap, Viryan, Yessy Yatty Momongan, dan Yulianto Sudrajat. Lalu dua calon anggota Bawaslu, Aditya Perdana dan Andi Tenri Sompa. Prosesnya berlangsung pada jam 13.00 – 22.00 WIB.
Afifuddin menawarkan inovasi dan kolaborasi sebagai visinya. Afif menilai, kedua prinsip itu merupakan kunci utama di tengah berbagai keterbatasan akibat UU Pemilu yang batal direvisi. ’’Dengan inovasi kita bisa maksimalkan,’’ ujarnya.
Inovasi, lanjut dia, bisa dilakukan dengan berbagai terobosan seperti pemanfaatan teknologi informasi. Yang terpenting, penerapannya harus sejalan dengan ketentuan UU Pemilu.
Kemudian kolaborasi, lanjut Afif, dibutuhkan untuk mencari jalan keluar atas berbagai persoalan. Urusan Daftar Pemilih Tetap (DPT) misalnya, tidak bisa dipenuhi oleh KPU saja, namun juga membutuhkan peran pemerintah, Bawaslu dan peserta pemilu.
Sementara Ali Safaat memaparkan terkait peningkatan kualitas penyelenggara, penyusunan regulasi yang berkepastian hukum, meningkatkan kualitas pelayanan hingga pengoptimalan teknologi. Beberapa misi itu melibatkan penguatan petugas ad hoc, penguatan literasi dan IT, termasuk penyusunan regulasi yang simpel. ’’Membuat Peraturan KPU yang tidak tebal sehingga mudah dipahami,’’ tuturnya. (far/bay/JPG)