Site icon Cenderawasih Pos

Kurang Dokter Spesialis Menyengsarakan Rakyat

   Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar

Pasien JKN Keluhkan Soal Durasi Tatap Muka dengan Dokter

JAKARTA – Adanya kekurangan dokter di beberapa wilayah ini membuat kerugian pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bisa jadi karena tidak ada dokter spesialis, mereka harus dirujuk dan memakan biaya serta waktu lagi. Di sisi lain, kekurangan dokter spesialis ini menjadi alasan pemerintah untuk mengimpor dokter. Selain alasan transfer ilmu.

  “Negara kita ini mengalami ketidakadilan sosial di bidang kesehatan,” kata Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto saat rapat dengan Menteri Kesehatan Rabu lalu (3/7).

   Dia mencontohkan reaksi peserta JKN dari golongan mampu dan tidak mampu ketika di wilayahnya tidak ada dokter spesialis. Yang tidak mampu, akan pasrah karena ketika mau dirujuk akan berpikir akomodasi. Sementara yang kaya tidak memikirkan itu.

  “Bupati mau mendirikan rumah sakit, duit dan sarana ada tapi tidak ada dokter,” keluhnya. Dokter spesialis dan sub spesialis banyak berada di kota.

   Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kemarin (10/7) menyatakan hal senada. Dia menyebut kepuasan peserta JKN terhadap layanan kesehatan sangat tergantung pada layanan SDM Kesehatan di faskes. Memang pada faskes yang kerjasama dengan BPJS Kesehatan telah dilakukan kredensialing untuk memeriksa kesiapan faskes. Terutama dokter spesialis dan dokter umum.

   “Kehadiran dokter spesialistik di RS menjadi keharusan. Hal ini dipersyaratkan dalam kredensialing atau rekredensialing,” kata Timboel. Harapannya pasien rujukan dari FKTP yang membutuhkan layanan spesialistik akan terlayani dengan baik.

   Timboel menegaskan kalau SDM kesehatan di faskes tidak memberikan kualitas layanan yang baik maka pasien JKN akan kecewa. “Ketidakpuasan pasien JKN akan berdampak keinginan peserta JKN membayar iuran, ini khususnya bagi peserta mandiri” ucapnya. Kalau tidak mau membayar iuran, menurut Timboel akan mempengaruhi pendapatan JKN yang berdampak pada kondisi defisit. Respon lainnya yang ditunjukkan oleh peserta penerima bantuan iuran (PBI) yakni dengan tidak mau datang ke faskes tersebut. “Mereka akan pindah rumah sakit,” imbuhnya.

   BPJS Kesehatan memang memiliki wewenang untuk menempatkan dokter. Namun ketiadaan dokter ini mempengaruhi layanan kesehatan yang diterima pesertanya. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti kemarin menyebutkan bahwa kompetensi, sikap, dan komunikasi yang bagus dari seorang dokter sangat penting. “Menentukan tingkat kepuasan,” ucapnya.

   Ghufron menyebut tidak pernah dapat keluhan dari pasien JKN terkait berapa jumlah tempat tidur di kamar tempatnya dirawat. “Pasien pernah mengeluh tidak bertemu dokter atau jadwal dokter kurang sesuai,” ucapnya. Dapat disimpulkan kurangnya dokter akan memperbanyak keluhan pasien.

  “Peran dokter spesialis dan sub spesialis sangat penting untuk menegaskan diagnosis dan terapi yang lebih akurat,” kata Ghufron. Apalagi BPJS Kesehatan kini sedang menjalankan transformasi mutu layanan kesehatan yang menekankan pada kemudahan, kecepatan, dan kesetaraan.

   Pasien JKN yang tidak puas atas layanan di faskes dapat melaporkan dan memberikan bintang. Mirip ketika membeberkan reviu tempat di Google Review. Program itu adalah BPJS SATU.

Dokter Asing Bikin Pusing

Kurangnya dokter spesialis  dan sub spesialis menjadi salah satu alasan. Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya menyebutkan fungsi dokter spesialis dan sub spesialis dari luar negeri ke Indonesia adalah untuk mengisi kekosongan. Sehingga Kemenkes menunggu usulan dari dinas kesehatan dan rumah sakit.

Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah dr Iqbal Mochtar SpOk menyebut substansi impor dokter ini jelas. Yakni untuk memenuhi kebutuhan dokter di daerah pinggiran. Dia menyebut, di beberapa negara untuk menentukan kebutuhan dokter tidak hanya perbandingan jumlah penduduk dan dokter. “Mengukur beban kerja yang ada dan level of burn out dokter yang ada,” ucapnya.

   Lebih lanjut Iqbal menyatakan negara yang menerima dokter asing telah memberikan kesejahteraan bagi dokter lokalnya. Misalnya dengan gaji yang layak bahkan memberikan fasilitas belajar gratis kepada dokternya.

  “Di Jerman, dokter asing itu harus penuhi kualifikasi c2 untuk bahasanya. Di mana itu sangat susah,” ucapnya. Iqbal juga membandingkan dengan Amerika yang harus mewajibkan residensial dokter  dari awal. Meskipun dokter asing yang masuk sudah spesialis.

   Iqbal mengkritisi terkait wacana dokter asing di Indonesia. Dia menyebut tujuan impor dokter ini belum jelas. “Selama ini Kemenkes selalu ingin mengatasi dokter dalam lima tahun mendatang. Kalau ingin mengatasi kekurangan dokter, berarti ada ribuan dokter asing yang direkrut?” tanyanya.

   Selanjutnya dia mempertanyakan siapa yang akan menggaji dokter asing. “Apakah rumah sakit atau pemerintah?” Ungkapnya. Dia mencontohkan dokter spesialis jantung di Amerika takehome paynyasampai 400 juta perbulan dan itu di luar dari tunjangan lain. Sementara jika Rp 400 juta digunakan untuk menggaji dokter lokal akan mendapatkan lebih banyak dokter.

   Dia juga mempertanyakan apakah dokter asing ini untuk melayani masyarakat umum atau kelas atas. Kalau ini ditujukan untuk masyarakat umum, pembayaran dokter asing harus tinggi. “Apakah mereka mau dibayar dengan standar BPJS Kesehatan? Apakah mereka mau melayani pasien yang sangat banyak?”kritik Iqbal. Untuk itu dia menyarankan agar perlu pertimbangan masak-masak terkait wacana impor dokter. (Lyn)

Gambaran Jumlah Dokter Spesialis

No   Provinsi   Jumlah Dokter

  1. 1. Aceh  856
  2. 2. Sumatera Utara  2134
  3. 3. Sumatera Barat  1009
  4. 4. Riau 920
  5. 5. Jambi 396
  6. 6. Sumatera Selatan 1.028
  7. 7. Bengkulu 204
  8. 8. Lampung 711
  9. 9. Kep Bangka Belitung 219
  10. 10. Kep Riau 396
  11. 11. DKI Jakarta 6.757
  12. 12. Jawa Barat 6.269
  13. 13. Jawa Tengah 4.478
  14. 14. DI Jogjakarta 1.103
  15. 15. Jawa Timur 5.749
  16. 16. Banten 1.925
  17. 17. Bali 1.583
  18. 18. NTB   435
  19. 19. NTT   384
  20. 20. Kalimantan Barat 437
  21. 21. Kalimantan Tengah  292
  22. 22. Kalimantan Selatan 700
  23. 23. Kalimantan Timur 731
  24. 24. Kalimantan Utara 126
  25. 25. Sulawesi Utara 558
  26. 26. Sulawesi Tengah 305
  27. 27. Sulawesi Selatan 1.659
  28. 28. Sulawesi Tenggara 258
  29. 29. Gorontalo 144
  30. 30. Sulawesi Barat 115
  31. 31. Maluku 169
  32. 32. Maluku Utara 119
  33. 33. Papua 302
  34. 34. Papua Barat 127

Catatan : data diambil 2022

Sumber : Paparan PB IDI pada Selasa (10/7)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version