Lantas apa yang salah dengan kehadiran bangunan pasar itu. Menurut dia, pemerintah terkesan asal bangun pasar itu, tanpa memikirkan faktor kenyamanan para pedagang. Dia menuturkan, Mama Papua, dalam melakukan aktivitas jualannya harus melalui proses panjang sebelum berjualan di lapak dalam pasar tersebut.
Mereka mengambil hasil kebunnya di kebun sendiri, lalu menjualnya. Disini, lanjut dia, ada harapan besar dari mama Papua ini agar barang-barang jualannya yang dipasarkan harus laku cepat. Karena selanjutnya mereka akan kembali ke rumah dan mengurus keluarganya dan begitu selanjutnya setiap hari.
“Mama Papua ini kerja kebun sendiri, bukan penadah atau pengepul yang selalu di pasar. Jadi bagaimana supaya laku cepat, salah satu jalan, mereka harus jualan di depan bergabung dengan pedagang lain. Karena kalau hanya mama Papua yang jualan di dalam, sudah pasti jualanya tidak laku,”ulasnya.
Belum lagi, pengaruh faktor lain yang menyebabkan pasar itu tidak dimanfaatkan. Mulai dari bangunan banyak mengalami kebocoran di atap. Sehingga saat hujan turun, air menggenang bagian dalam lapak jualan. Kemudian yang paling dianggap kurang layak oleh mama Papua adalah ukuran lapak yang sangat kecil, kira-kira luasnya hanya 1,5×2 meter. Ini jelas tidak bisa menampung jualan mama Papua.