Thursday, April 25, 2024
32.7 C
Jayapura

Horden Jadikan Selimut, Pernah Kehabisan Stok Makanan

PENGAP – Kondisi ruangan kamar putri yang terlihat minim cahaya dan terasa pengap karena minimnya sirkulasi udara. Bangunan pondok Madrasyah Al Masthury ini hingga kini belum rampung karena minimnya anggaran.  (FOTO : Gamel Cepos)

Menyambangi Pondok Madrasyah Al Masthury Koya Timur yang Tak Kunjung Rampung Sejak 1993

Pendidikan kerap dianggap sebagai dasar sebuah pembangunan manusia. Hanya saja bila kondisi tidak terlalu layak tentunya akan mempengaruhi banyak hal. Cenderawasih Pos bersama Forum Komunitas Jayapura (FKJ) menyambangi Pondok Al Masthury yang sejak 1993 bangunannya tak kunjung rampung. 

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura 

Tak banyak yang tahu jika di Koya Timur, Kota Jayapura terdapat sebuah pondok madrasyah yang menampung puluhan siswa siswi asal berbagai daerah di Papua maupun luar Papua. Posisinya berada di Jalan Matoa 1 Kelurahan Koya Timur. Akses kesini juga tak sulit, setibanya di Koya Timur bisa langsung menuju lokasi baik menggunakan mobil maupun motor. 

 Hanya saja jika ingin bersilaturahmi, pengunjung disarankan mengikuti jalur Koya Tengah yang melewati jalan menuju Skouw. Meski sedikit memutar namun kondisi jalannya jauh lebih bagus ketimbang harus melewati jalan umum yang masuk lewat Koya Barat. Kondisi jalannya rusak parah dan mejengkelkan jika dilalui. Dari kondisi jalan juga bisa membuat waktu perjalanan bertambah panjang. Hanya saja meski sudah sering dikeluhkan ternyata jalan ini tak kunjung diperbaiki.  

 Jalur menuju Matoa 1 juga tak jauh,  dari ruas jalan utama hanya sekitar 100 meter sebelah kanan jalan sudah bisa mendapati lokasi pondok madrasyah yang dimaksud. Beberapa pohon kelapa menjadi tiang selamat datang bagi pengunjung dan setelah itu langsung tersaji gedung berlantai dua yang terlihat termakan usia. Bangunan ini mulai ditumbuhi lumut dan tiang dan dinding bangunan juga  mulai terlihat tak kokoh lagi akibat termakan usia. Dinding bangunan mulai menghitam bahkan ada ruangan yang ditumbuhi tanaman merambat. 

 Bangunan inilah yang sedang digarap menjadi Musholla yang menjadi satu dengan asrama putri dan beberapa kamar untuk guru. Pondok Madrasyah Al Masthury ini memiliki luas 100 x 25 meter dan berada di tengah pemukiman warga. Di bagian depannya terdapat bangunan memanjang berukuran sekitar 15 meter yang dalamnya disekat menggunakan tripleks. Ruangan inilah yang digunakan sebagai ruang kelas dimana sekat tripleks tersebut sengaja dijebol untuk bisa digunakan lebih luas. Dibagian belakangnya terdapat kamar untuk santri putri sedangkan di bagian belakang terdapat sebuah gazebo (pondok) yang bersebelahan dengan sebuah kolam. Tak jauh dari itu dibuat teras dengan sebuah meja kayu yang ditutupi plastik baliho.

Baca Juga :  Manusia Layaknya Tamu yang Harus Sadar Diri Terhadap Bumi

 Di teras yang ditopang tiang-tiang kayu inilah yang sering digunakan oleh penghuni pondok untuk berdiskusi maupun makan bersama disaat berbuka puasa. Sementara bangunan paling belakang berjejer kamar untuk santri laki – laki dan kamar untuk pengurus pondok. Jika sesuai dengan SK pendirian, pondok madrasyah ini dibangun tahun 2006 dengan SK pendirian Mts W.Z 2-6/1765/1996 untuk Madrasyah Thanawiyah sedangkan untuk Aliyahnya SK W.Z-2e/PP/001756/2003 dengan bendera Yayasan Pendidikan Nusantara Intim (Yapni). 

 Awalnya lembaga pendidikan ini digagas oleh alm Drs Muhammad Saleh SAG, MM dimana awalnya  berdiri dengan nama SMEA Cenderawasih di sekitar Pasar Yotefa pada tahun 1993 namun kemudian dipindahkan ke Koya untuk lebih fokus pada mata pelajaran agama lewat Madrasyah Tsanawiyah hingga 2 tahun berikutnya dibuka kelas madrasyah aliyah. Nah semenjak kepindahannya di tahun 1993 ini semua operasional yayasan dihandle secara swadaya. Menurut H Idris selaku pengelola yayasan,  sudah banyak alumni yang dihasilkan. Ada yang menjadi tentara, polisi hingga pegawai swasta lainnya.

 Dan untuk operasionalnya lanjut Idris, pihak yayasan mencoba bertahan dengan apa yang dimiliki terutama bantuan warga. “Kadang kalau ada kunjungan disitu ada yang menitipkan beras, dan bahan makanan lainnya. Kami sendiri sudah berkali-kali memasukkan proposal ke pemerintah namun dikembalikan,” kata Idris. Alasan dikembalikannya juga lantaran akreditasi yang masih mengantongi predikat C. “Kami ingin naik grade B tapi tentunya butuh banyak dukungan atau bantuan mengingat selama ini kami hanya mengandalkan dana swadaya. Tenaga pengajar juga tak digaji, kalaupun ada itu kami coba sisihkan dengan menyebut tunjangan kehormatan,” jelasnya. 

 Penghuni pondok madrasyah ini sendiri berasal dari  berbagai daerah. Ada yang dari Timika, Sulawesi hingga Maluku. Totalnya ada 30 anak dimana dua diantaranya yatim piatu. Dalam mengenyam pendidikan semua peserta didik tak dibebankan biaya alias gratis. Mereka cukup datang, mengisi formulir dan menempati asrama yang sudah disiapkan. Untuk makan dan biaya pendidikan semua gratis. Di pondok ini terdapat 4 ruangan kelas dengan 8 tenaga pengajar dan kata H Idris pihaknya juga tak meminta para penghuni pondok untuk bekerja di luar karena bisa mengganggu konsentrasi sekolah.

 Dari jumlah 30 ini disebutkan ada 8 anak yang telah disertifikasi dengan hafalan yang unik mulai dari mengafal nama surah, arti hingga tempat turunnya surah. “Beberapa bulan ke depan jika tak berhalangan kami juga menghasilkan hafdiz,” kata Idris. Iapun menceritakan tentang sulitnya bertahan dengan kondisi yang dimiliki. Tahun 2018 lalu disebutkan bahwa pihak pondok pernah mengalami kekurangan bahan makanan. Itu belangsung hampir 2 minggu dan selama itu anak-anak pondok diminta untuk berpuasa dan terus berdoa. 

Baca Juga :  Pemkot Agendakan Safari 5 Ramadan di 10 Tempat 

 Untungnya setelah itu ada bantuan yang datang dan situasi kembali seperti semula. “Jadi stok menipis jadi saya meminta anak-anak berpuasa dan mereka mau,” ceritanya. Untuk memasak mereka didampingi ibu pendamping yang semuanya menggunakan kayu bakar. Yang dimasak setiap hari biasanya  hanya nasi, sayur dan tempe tahu. Untuk ikan atau daging diakui jarang diperoleh. Cenderawasih Pos sempat menilik kondisi kamar pria dan wanita dan ternyata sangat memprihatinkan. 

 Dalam ruangan berukuran sekitar  8 x 10 ini diisi 15 anak yang tidur menggunakan tempat tidur tingkat.  Kondisinya bisa dibilang tak nyaman karena minim penerangan, pengap, panas, lembab dan banyak nyamuk. “Ya kondisinya sudah seperti ini, untuk sementara belum bisa kami rehab jadi anak-anak menyesuaikan. Nyamuknya memang banyak, bahkan bisa dibilang setiap bulan pasti ada yang kena malaria,” beber Idris. Para penghuni  asrama baik pria maupun wanita sama – sama menggunakan tempat tidur tingkat dan menggunakan kelambu. Namun kadang karena panas akhirnya kelambu dibuka. 

 Ada juga yang terlihat tertidur menggunakan  selimut dari kain horden. Pihak pengelola memang tidak merekomendasikan anak ponpes untuk bekerja karena dari evaluasi ternyata setelah bekerja dan mengantongi uang, terkadang fokus untuk belajar menjadi menurun. Sebelumnya anak-anak pondok yang laki-laki biasanya membantu di sawmill atau pemotongan kayu. Dari pekernyaan “nyambi” ini mereka mendapatkan uang saku. 

 “Tapi saat ini sudah kami larang karena jangan sampai menggangu waktu belajar dan puasa,” ujarnya. Nah kadang kayu limbah dari sawmill ini juga  dipake sebagai bahan bakar untuk memasak. Sementara di asrama putri terlihat lebih bersih namun kondisinya tak jauh berbeda. Pengap, panas dan minim pencahayaan. Kata Idris pihaknya pernah menerima bantuan ketika jamannya pak Walikota Kambu   dan dari Kakandep. Sementara untuk belakangan ini pihaknya juga sempat mendapat bantuan dari managemen Persipura. Namun karena anggaran yang dibutuhkan cukup besar untuk menyelesaikan pondok akhirnya pembangunan hingga kini belum diteruskan. (*)

PENGAP – Kondisi ruangan kamar putri yang terlihat minim cahaya dan terasa pengap karena minimnya sirkulasi udara. Bangunan pondok Madrasyah Al Masthury ini hingga kini belum rampung karena minimnya anggaran.  (FOTO : Gamel Cepos)

Menyambangi Pondok Madrasyah Al Masthury Koya Timur yang Tak Kunjung Rampung Sejak 1993

Pendidikan kerap dianggap sebagai dasar sebuah pembangunan manusia. Hanya saja bila kondisi tidak terlalu layak tentunya akan mempengaruhi banyak hal. Cenderawasih Pos bersama Forum Komunitas Jayapura (FKJ) menyambangi Pondok Al Masthury yang sejak 1993 bangunannya tak kunjung rampung. 

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura 

Tak banyak yang tahu jika di Koya Timur, Kota Jayapura terdapat sebuah pondok madrasyah yang menampung puluhan siswa siswi asal berbagai daerah di Papua maupun luar Papua. Posisinya berada di Jalan Matoa 1 Kelurahan Koya Timur. Akses kesini juga tak sulit, setibanya di Koya Timur bisa langsung menuju lokasi baik menggunakan mobil maupun motor. 

 Hanya saja jika ingin bersilaturahmi, pengunjung disarankan mengikuti jalur Koya Tengah yang melewati jalan menuju Skouw. Meski sedikit memutar namun kondisi jalannya jauh lebih bagus ketimbang harus melewati jalan umum yang masuk lewat Koya Barat. Kondisi jalannya rusak parah dan mejengkelkan jika dilalui. Dari kondisi jalan juga bisa membuat waktu perjalanan bertambah panjang. Hanya saja meski sudah sering dikeluhkan ternyata jalan ini tak kunjung diperbaiki.  

 Jalur menuju Matoa 1 juga tak jauh,  dari ruas jalan utama hanya sekitar 100 meter sebelah kanan jalan sudah bisa mendapati lokasi pondok madrasyah yang dimaksud. Beberapa pohon kelapa menjadi tiang selamat datang bagi pengunjung dan setelah itu langsung tersaji gedung berlantai dua yang terlihat termakan usia. Bangunan ini mulai ditumbuhi lumut dan tiang dan dinding bangunan juga  mulai terlihat tak kokoh lagi akibat termakan usia. Dinding bangunan mulai menghitam bahkan ada ruangan yang ditumbuhi tanaman merambat. 

 Bangunan inilah yang sedang digarap menjadi Musholla yang menjadi satu dengan asrama putri dan beberapa kamar untuk guru. Pondok Madrasyah Al Masthury ini memiliki luas 100 x 25 meter dan berada di tengah pemukiman warga. Di bagian depannya terdapat bangunan memanjang berukuran sekitar 15 meter yang dalamnya disekat menggunakan tripleks. Ruangan inilah yang digunakan sebagai ruang kelas dimana sekat tripleks tersebut sengaja dijebol untuk bisa digunakan lebih luas. Dibagian belakangnya terdapat kamar untuk santri putri sedangkan di bagian belakang terdapat sebuah gazebo (pondok) yang bersebelahan dengan sebuah kolam. Tak jauh dari itu dibuat teras dengan sebuah meja kayu yang ditutupi plastik baliho.

Baca Juga :  Meski Berpuasa, Wakil Walikota Semangat Sidak Kelilingi Pasar

 Di teras yang ditopang tiang-tiang kayu inilah yang sering digunakan oleh penghuni pondok untuk berdiskusi maupun makan bersama disaat berbuka puasa. Sementara bangunan paling belakang berjejer kamar untuk santri laki – laki dan kamar untuk pengurus pondok. Jika sesuai dengan SK pendirian, pondok madrasyah ini dibangun tahun 2006 dengan SK pendirian Mts W.Z 2-6/1765/1996 untuk Madrasyah Thanawiyah sedangkan untuk Aliyahnya SK W.Z-2e/PP/001756/2003 dengan bendera Yayasan Pendidikan Nusantara Intim (Yapni). 

 Awalnya lembaga pendidikan ini digagas oleh alm Drs Muhammad Saleh SAG, MM dimana awalnya  berdiri dengan nama SMEA Cenderawasih di sekitar Pasar Yotefa pada tahun 1993 namun kemudian dipindahkan ke Koya untuk lebih fokus pada mata pelajaran agama lewat Madrasyah Tsanawiyah hingga 2 tahun berikutnya dibuka kelas madrasyah aliyah. Nah semenjak kepindahannya di tahun 1993 ini semua operasional yayasan dihandle secara swadaya. Menurut H Idris selaku pengelola yayasan,  sudah banyak alumni yang dihasilkan. Ada yang menjadi tentara, polisi hingga pegawai swasta lainnya.

 Dan untuk operasionalnya lanjut Idris, pihak yayasan mencoba bertahan dengan apa yang dimiliki terutama bantuan warga. “Kadang kalau ada kunjungan disitu ada yang menitipkan beras, dan bahan makanan lainnya. Kami sendiri sudah berkali-kali memasukkan proposal ke pemerintah namun dikembalikan,” kata Idris. Alasan dikembalikannya juga lantaran akreditasi yang masih mengantongi predikat C. “Kami ingin naik grade B tapi tentunya butuh banyak dukungan atau bantuan mengingat selama ini kami hanya mengandalkan dana swadaya. Tenaga pengajar juga tak digaji, kalaupun ada itu kami coba sisihkan dengan menyebut tunjangan kehormatan,” jelasnya. 

 Penghuni pondok madrasyah ini sendiri berasal dari  berbagai daerah. Ada yang dari Timika, Sulawesi hingga Maluku. Totalnya ada 30 anak dimana dua diantaranya yatim piatu. Dalam mengenyam pendidikan semua peserta didik tak dibebankan biaya alias gratis. Mereka cukup datang, mengisi formulir dan menempati asrama yang sudah disiapkan. Untuk makan dan biaya pendidikan semua gratis. Di pondok ini terdapat 4 ruangan kelas dengan 8 tenaga pengajar dan kata H Idris pihaknya juga tak meminta para penghuni pondok untuk bekerja di luar karena bisa mengganggu konsentrasi sekolah.

 Dari jumlah 30 ini disebutkan ada 8 anak yang telah disertifikasi dengan hafalan yang unik mulai dari mengafal nama surah, arti hingga tempat turunnya surah. “Beberapa bulan ke depan jika tak berhalangan kami juga menghasilkan hafdiz,” kata Idris. Iapun menceritakan tentang sulitnya bertahan dengan kondisi yang dimiliki. Tahun 2018 lalu disebutkan bahwa pihak pondok pernah mengalami kekurangan bahan makanan. Itu belangsung hampir 2 minggu dan selama itu anak-anak pondok diminta untuk berpuasa dan terus berdoa. 

Baca Juga :  Pemkot Agendakan Safari 5 Ramadan di 10 Tempat 

 Untungnya setelah itu ada bantuan yang datang dan situasi kembali seperti semula. “Jadi stok menipis jadi saya meminta anak-anak berpuasa dan mereka mau,” ceritanya. Untuk memasak mereka didampingi ibu pendamping yang semuanya menggunakan kayu bakar. Yang dimasak setiap hari biasanya  hanya nasi, sayur dan tempe tahu. Untuk ikan atau daging diakui jarang diperoleh. Cenderawasih Pos sempat menilik kondisi kamar pria dan wanita dan ternyata sangat memprihatinkan. 

 Dalam ruangan berukuran sekitar  8 x 10 ini diisi 15 anak yang tidur menggunakan tempat tidur tingkat.  Kondisinya bisa dibilang tak nyaman karena minim penerangan, pengap, panas, lembab dan banyak nyamuk. “Ya kondisinya sudah seperti ini, untuk sementara belum bisa kami rehab jadi anak-anak menyesuaikan. Nyamuknya memang banyak, bahkan bisa dibilang setiap bulan pasti ada yang kena malaria,” beber Idris. Para penghuni  asrama baik pria maupun wanita sama – sama menggunakan tempat tidur tingkat dan menggunakan kelambu. Namun kadang karena panas akhirnya kelambu dibuka. 

 Ada juga yang terlihat tertidur menggunakan  selimut dari kain horden. Pihak pengelola memang tidak merekomendasikan anak ponpes untuk bekerja karena dari evaluasi ternyata setelah bekerja dan mengantongi uang, terkadang fokus untuk belajar menjadi menurun. Sebelumnya anak-anak pondok yang laki-laki biasanya membantu di sawmill atau pemotongan kayu. Dari pekernyaan “nyambi” ini mereka mendapatkan uang saku. 

 “Tapi saat ini sudah kami larang karena jangan sampai menggangu waktu belajar dan puasa,” ujarnya. Nah kadang kayu limbah dari sawmill ini juga  dipake sebagai bahan bakar untuk memasak. Sementara di asrama putri terlihat lebih bersih namun kondisinya tak jauh berbeda. Pengap, panas dan minim pencahayaan. Kata Idris pihaknya pernah menerima bantuan ketika jamannya pak Walikota Kambu   dan dari Kakandep. Sementara untuk belakangan ini pihaknya juga sempat mendapat bantuan dari managemen Persipura. Namun karena anggaran yang dibutuhkan cukup besar untuk menyelesaikan pondok akhirnya pembangunan hingga kini belum diteruskan. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya