Thursday, April 25, 2024
31.7 C
Jayapura

Waspada Rusaknya Morfologi Pantai

JAYAPURA – Pesatnya pembangunan disepanjang jalan Pantai Hamadi hingga Holtekam dianggap bisa menimbulkan satu dampah negatif jika para pemodal yang menjadi pemilik lahan tak memahami soal dampak buruk dari hilangnya vegetasi pantai. Saat ini sepanjang jalan tersebut khususnya daerah pantai terlihat lebih terang, banyak pohon dan ilalang yang dibabat agar terlihat nyaman dan mudah dalam pembangunan.

Yehuda Hamokwarong ( FOTO: Gamel/cepos )

 Namun akan salah kaprah jika hanya berfikir sesimple seperti itu mengingat sistem pengakaran maupun morfologi pantai dengan sendirinya akan hilang. Ini tak lepas dari pembangunan yang  tak terkontrol tanpa adanya pemahaman soal kajian lingkungan. Selain itu masyarakat pemilik ulayat juga tidak paham status hutannya.  Masyarakat berfikir semua lokasi di Jalan Holtekam ini bisa digunakan untuk apa saja padahal ada satatus semisal taman wisata alam termasuk status terkait hutan lindung. Yang paling memungkinkan terjadi adalah abrasi di bibir pantai atau pengurangan bibir pantai. 

 “Ini terjadi karena vegetasi yang selama ini menjadi pengikat pasir dan tanah itu hilang atau tidak berfungsi karena sudah dibabat. Dulu ada pohon cemara udang, pandanus dan ilalang lainnya dan sebenarnya fungsi akar pohon – pohon ini adalah membentuk struktur dan membantu mengikat pasirnya. Kalau semua pohon ditebang bagaimana mau menjaga konsistensi profile tanah,” beber salah satu akademisi Uncen, Yehuda Hamokwarong kepada Cenderawasih Pos, Rabu (23/7).

Baca Juga :  Tak Terawat, Tanaman di Ember Bekas Malah Rusak Pemandangan

 Dosen geografi Uncen yang beberapa kali melakukan penelitian di Teluk Yotefa hingga Skow ini  meyakini abrasi pasti akan terjadi mengingat ia sendiri sudah pernah melakukan penelitian di tahun 2015-2016 dimana mulai dari Skow hingga Tanjung  Kasuari akan terjadi kemunduran garis pantai  dari 1 – 3 meter. 

 Pengakaran inilah yang dianggap memiliki fungsi seperti bronjong alami agar tanah atau karang tidak bergerak. Hal lain yang  patut diantisipasi adalah aktifitas gelombang pasang yang biasa terjadi diakhir tahun. Gelombang ini biasa jauh lebih tinggi dan gelombang biasa dan bisa menyeberang hingga ke lokasi venue dayung. “Lalu ada tahun – tahun tertentu akan terjadi pasang tertinggi, ini diluar normal karena ketinggiannya bisa 2-3 meter,” imbuhnya.

Baca Juga :  500 Personel Brimob Disiapkan Hadapi Situasi Konjensi saat PON

 Pemilik lokasi juga perlu belajar dari sejarah dimana Jayapura pernah terkena imbas dari Tsunami Jepang tahun 2012 dimana ketika itu air melompati Teluk Yotefa. “Nah tsunami ini yang ketinggiannya bisa 5 – 7 meter dan air  saat menyentuh darat terkadang lebih tinggi ketimbang datangnya, itu mirip orang jumping,” sambung Yehuda. 

 Di tempat terpisah, Ketua Pokja Perempuan MRP Nelince Wamuar Rollo menyesalkan pembangunan venue dayung yang diguakan dalam PON XX, karena kian menyulitkan masyarakat Port Numbay dalam mencari nafkah.   “Mereka telagh melakukan penimbunan di teluk kamim, harusnya sebelum membangun perlu  ada buat presentase kepada kami soal penimbunan ini,” Tegasnya.

Dia mengatakan tanah milik adat tersebut seharusnya dibicarakan bersama perempuan adat dan masyarakat sehingga dapat dilakukan prosesi adat.

Dia mengatakan meski pembangunan tersebut mendapat persetujuan dari para lelaki, tapi dia menegaskan bahwa daerah tersebut merupakan tempat pencaharian perempuan Port Numbay.

“Bapa-bapa dong setuju itu urusan tapi kami perempuan mau kasih makan tong pu anak- anak bagaimana,” katanya menyesalkan pembangunan itu. (ade/oel/wen) 

JAYAPURA – Pesatnya pembangunan disepanjang jalan Pantai Hamadi hingga Holtekam dianggap bisa menimbulkan satu dampah negatif jika para pemodal yang menjadi pemilik lahan tak memahami soal dampak buruk dari hilangnya vegetasi pantai. Saat ini sepanjang jalan tersebut khususnya daerah pantai terlihat lebih terang, banyak pohon dan ilalang yang dibabat agar terlihat nyaman dan mudah dalam pembangunan.

Yehuda Hamokwarong ( FOTO: Gamel/cepos )

 Namun akan salah kaprah jika hanya berfikir sesimple seperti itu mengingat sistem pengakaran maupun morfologi pantai dengan sendirinya akan hilang. Ini tak lepas dari pembangunan yang  tak terkontrol tanpa adanya pemahaman soal kajian lingkungan. Selain itu masyarakat pemilik ulayat juga tidak paham status hutannya.  Masyarakat berfikir semua lokasi di Jalan Holtekam ini bisa digunakan untuk apa saja padahal ada satatus semisal taman wisata alam termasuk status terkait hutan lindung. Yang paling memungkinkan terjadi adalah abrasi di bibir pantai atau pengurangan bibir pantai. 

 “Ini terjadi karena vegetasi yang selama ini menjadi pengikat pasir dan tanah itu hilang atau tidak berfungsi karena sudah dibabat. Dulu ada pohon cemara udang, pandanus dan ilalang lainnya dan sebenarnya fungsi akar pohon – pohon ini adalah membentuk struktur dan membantu mengikat pasirnya. Kalau semua pohon ditebang bagaimana mau menjaga konsistensi profile tanah,” beber salah satu akademisi Uncen, Yehuda Hamokwarong kepada Cenderawasih Pos, Rabu (23/7).

Baca Juga :  Tidak Lulus, Ratusan  Casis Bintara Noken Datangi DPRP

 Dosen geografi Uncen yang beberapa kali melakukan penelitian di Teluk Yotefa hingga Skow ini  meyakini abrasi pasti akan terjadi mengingat ia sendiri sudah pernah melakukan penelitian di tahun 2015-2016 dimana mulai dari Skow hingga Tanjung  Kasuari akan terjadi kemunduran garis pantai  dari 1 – 3 meter. 

 Pengakaran inilah yang dianggap memiliki fungsi seperti bronjong alami agar tanah atau karang tidak bergerak. Hal lain yang  patut diantisipasi adalah aktifitas gelombang pasang yang biasa terjadi diakhir tahun. Gelombang ini biasa jauh lebih tinggi dan gelombang biasa dan bisa menyeberang hingga ke lokasi venue dayung. “Lalu ada tahun – tahun tertentu akan terjadi pasang tertinggi, ini diluar normal karena ketinggiannya bisa 2-3 meter,” imbuhnya.

Baca Juga :  Ini Aturan Terbaru Standar Harga di Pemkot Jayapura

 Pemilik lokasi juga perlu belajar dari sejarah dimana Jayapura pernah terkena imbas dari Tsunami Jepang tahun 2012 dimana ketika itu air melompati Teluk Yotefa. “Nah tsunami ini yang ketinggiannya bisa 5 – 7 meter dan air  saat menyentuh darat terkadang lebih tinggi ketimbang datangnya, itu mirip orang jumping,” sambung Yehuda. 

 Di tempat terpisah, Ketua Pokja Perempuan MRP Nelince Wamuar Rollo menyesalkan pembangunan venue dayung yang diguakan dalam PON XX, karena kian menyulitkan masyarakat Port Numbay dalam mencari nafkah.   “Mereka telagh melakukan penimbunan di teluk kamim, harusnya sebelum membangun perlu  ada buat presentase kepada kami soal penimbunan ini,” Tegasnya.

Dia mengatakan tanah milik adat tersebut seharusnya dibicarakan bersama perempuan adat dan masyarakat sehingga dapat dilakukan prosesi adat.

Dia mengatakan meski pembangunan tersebut mendapat persetujuan dari para lelaki, tapi dia menegaskan bahwa daerah tersebut merupakan tempat pencaharian perempuan Port Numbay.

“Bapa-bapa dong setuju itu urusan tapi kami perempuan mau kasih makan tong pu anak- anak bagaimana,” katanya menyesalkan pembangunan itu. (ade/oel/wen) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya