JAYAPURA-Sejumlah anak muda peduli lingkungan yang tergabung dalam Ecodefender dan baru saja mengikuti School Eco Diplomasi (SED) menyampaikan bentuk protes mereka terhadap banyaknya sampah plastik yang masuk di Perairan Teluk Youtefa.
Sampah – sampah ini seakan tidak habis – habis dan mencerminkan perilaku masyarakat yang masih belum sadar untuk bertanggungjawab atas sampahnya. Tak hanya itu, para pemuda yang bertatus mahasiswa ini juga mengkritisi bahwa Papua masih memesan sampah dari luar Papua.
“Terlalu banyak sampah yang tertambat di kawasan hutan bakau dan seakan tidak habis – habis. Kami bingung asal sampah tersebut tapi pastinya dari perumahan atau perkotaan,” kata Yance Airai usai mengikuti gerebek sampah di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Yotefa, Sabtu (19/6).
Ia bersama beberapa rekannya, Ayungga, Stevanus Morke, Adolof Majiwi, Jamina Rumbewas, Maria Numberi dan Riswandi Asra sengaja masuk ke hutan bakau untuk memastikan apakah lokasi tersebut sudah lebih baik atau sama saja.
“Kami masuk menyusur perairan di hutan bakau selama hampir 2 jam dan menemukan banyak sekali sampah botol plastik dan juga stereofoam,” kata Yance.
Lalu jika selama ini produk botol Aqua yang mendominasi, kini hasil tersebut berubah dimana jika sebelumnya produk terbanyak adalah botol Aqua, kini sampah terbanyak justru botol air minum Qualala yang diperoleh sebanyak 181 botol. Kemudian produk Teh Pucuk sebanyak 159 botol, produk Aqua sebanyak 133 botol, Produk Le Minerale sebanyak 46 botol dan Coca cola sebanyak 21 botol.
“Untuk botol minum dari luar kami bingung karena kita masih memesan air mineral dari luar dimana botol – botolnya pasti akan menjadi sampah. Makanya kami katakan bahwa Papua masih memesan sampah dari luar Papua karena karakter manusia di Papua belum mengarah ke bagaimana mengolah sampah, logika berfikir kami seperti itu,” beber Stevanus Morke.
Mereka juga menyinggung soal produk lokal yang dikaitkan dengan kepedulian terhadap isu lingkungan. Produk Qualala misalnya yang menurut Riswandi masih belum ramah lingkungan.
“Sama seperti botol – botol lainnya yang membutuhkan 750 tahun untuk terurai. Pertanyaan kami dari anak muda apakah perusahaan ini sudah berkontribusi terhadap lingkungan sebab produknya sendiri belum ramah lingkungan. Lalu apakah ada CSR yang diberikan untuk lingkungan sebab air yang dipakai semua bertujuan untuk ekonomi,” sindirnya.
“Kami juga minta DLH melihat jauh ke dalam terkait perusahaan di Jayapura dan kontribusi yang diberikan untuk lingkungan seperti apa. Jangan hanya duit melulu,” tutur Riswandi. (ade/tri)