Friday, April 26, 2024
24.7 C
Jayapura

Wah, Masih Ada Mahasiswa yang Sulit Baca dan Menulis

JAYAPURA – Sebuah pernyataan cukup mengejutkan disampaikan Dekan FKIP terpilih, Yan Dirk Wabiser S.Pd., M.Hum terkait wajah pendidikan khususnya di Kota Jayapura. Ia menyebut saat ini masih  ada ditemukan anak SD kelas V maupun kelas VI yang belum bisa membaca dan menulis. Mirisnya dengan kemampuan seperti itu bisa tetap naik kelas bahkan sampai ke bangku kuliah. Iapun tak memungkiri jika masih ada mahasiswanya yang belum lancar membaca dan menulis. 

 Yan berpendapat bahwa secara ekstrim ia menyatakan bahwa yang membunuh pendidikan generasi saat ini adalah pendidikan, bukan senjata. Peradaban  juga bisa jalan di tempat atau mundur karena minimnya bekal pendidikan. Ini menurut Yan tak lepas dari anak – anak yang hanya diserahkan begitu saja ke sekolah dan dipasrahkan dididik oleh guru atau dosen sementara peran orang tua sangat minim. Seharusnya menurut Yan keluarga mengambil peran lebih besar dalam hal mendidik anak – anaknya. 

 Yan sendiri mengambil satu sample sekolah di Koya Koso saya yang ternyata menurutnya masih banyak anak kelas V dan kelas VI yang belum lancer membaca dan menulis. “Di atas kertas IPM Kota Jayapura tinggi namun realitas menunjukkan teryata masih banyak masalah pendidikan di Jayapura. Ini tak lepas dari motivasi belajar anak Papua di Jayapura masih rendah. Penyebabnya adalah dukungan  dari orang tua dan dukungan dari dinas P dan P yang kurang,” ujar Yan menyampaikan sedikit hasil penelitiannya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (16/9).

Baca Juga :  ASN Pemkot Jangan Terlibat Timses Pemilu

 Pelatihan, pembinaan dan penempatan guru yang sangat terbatas akhirnya berdampak ke peserta didik. “Bayangkan saja hingga kelas 5 dan 6 anak Papua di Kota Jayapura banyak  yang tidak bisa membaca dan menulis. Namun anehnya saat ujian ternyata lulus kemudian di SMA mereka akhirnya tak bisa menulis. Kenapa saya harus kesana, itu karena  mahasiswa saya masih ada yang kesulitan membaca dan menulis. Ini fakta,” bebernya. 

Lalu hal lainnya adalah anak Papua sulit untuk tembus seleksi SNMPTN dan SBMPTN sementara yang memiliki kemampuan pendidikan baik malah memilih kuliah di luar. “Ini yang mendorong saya harus memulai dari bawah dan mereka yang harus diperbaiki agar berdampak ke atas. Dalam kota memang semua aman dan lancar namun di luar itu masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis. Fungsi control dari lembaga pendidikan masih kurang juga berpengaruh menurut saya,” tambahnya. 

Baca Juga :  Polresta Antisipasi Potensi Penimbunan BBM

 Selain Koya Koso kata Yan, ia sempat mengambil sample di salah satu di SD Nafri dan kondisinya hampir sama  padahal ini dekat dengan kota Jayapura. “Ini belum dengan pembelajaran online, karena saya pikir lebih banyak orang tua yang mengerjakan soal kemudian difoto dan dikirim,” singgungnya. Yan lantas berpikir satu solusi yang bisa diberikan adalah perlu kebijakan yang lebih membumi. Ini dimulai dari guru untuk memahami budaya anak setempat agar dari budaya anak ini dilanjutkan dengan metode pembelajaran yang dianggap cocok. “Kalau semua dipukul rata saya pikir sulit jadi perlu mencari metode yang tepat dan saya lebih setuju gurunya dulu yang diberdayakan,” imbuhnya. (ade/wen) 

JAYAPURA – Sebuah pernyataan cukup mengejutkan disampaikan Dekan FKIP terpilih, Yan Dirk Wabiser S.Pd., M.Hum terkait wajah pendidikan khususnya di Kota Jayapura. Ia menyebut saat ini masih  ada ditemukan anak SD kelas V maupun kelas VI yang belum bisa membaca dan menulis. Mirisnya dengan kemampuan seperti itu bisa tetap naik kelas bahkan sampai ke bangku kuliah. Iapun tak memungkiri jika masih ada mahasiswanya yang belum lancar membaca dan menulis. 

 Yan berpendapat bahwa secara ekstrim ia menyatakan bahwa yang membunuh pendidikan generasi saat ini adalah pendidikan, bukan senjata. Peradaban  juga bisa jalan di tempat atau mundur karena minimnya bekal pendidikan. Ini menurut Yan tak lepas dari anak – anak yang hanya diserahkan begitu saja ke sekolah dan dipasrahkan dididik oleh guru atau dosen sementara peran orang tua sangat minim. Seharusnya menurut Yan keluarga mengambil peran lebih besar dalam hal mendidik anak – anaknya. 

 Yan sendiri mengambil satu sample sekolah di Koya Koso saya yang ternyata menurutnya masih banyak anak kelas V dan kelas VI yang belum lancer membaca dan menulis. “Di atas kertas IPM Kota Jayapura tinggi namun realitas menunjukkan teryata masih banyak masalah pendidikan di Jayapura. Ini tak lepas dari motivasi belajar anak Papua di Jayapura masih rendah. Penyebabnya adalah dukungan  dari orang tua dan dukungan dari dinas P dan P yang kurang,” ujar Yan menyampaikan sedikit hasil penelitiannya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (16/9).

Baca Juga :  Tiga Mahasiswa Papua Masih Tertahan di China

 Pelatihan, pembinaan dan penempatan guru yang sangat terbatas akhirnya berdampak ke peserta didik. “Bayangkan saja hingga kelas 5 dan 6 anak Papua di Kota Jayapura banyak  yang tidak bisa membaca dan menulis. Namun anehnya saat ujian ternyata lulus kemudian di SMA mereka akhirnya tak bisa menulis. Kenapa saya harus kesana, itu karena  mahasiswa saya masih ada yang kesulitan membaca dan menulis. Ini fakta,” bebernya. 

Lalu hal lainnya adalah anak Papua sulit untuk tembus seleksi SNMPTN dan SBMPTN sementara yang memiliki kemampuan pendidikan baik malah memilih kuliah di luar. “Ini yang mendorong saya harus memulai dari bawah dan mereka yang harus diperbaiki agar berdampak ke atas. Dalam kota memang semua aman dan lancar namun di luar itu masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis. Fungsi control dari lembaga pendidikan masih kurang juga berpengaruh menurut saya,” tambahnya. 

Baca Juga :  Polresta Antisipasi Potensi Penimbunan BBM

 Selain Koya Koso kata Yan, ia sempat mengambil sample di salah satu di SD Nafri dan kondisinya hampir sama  padahal ini dekat dengan kota Jayapura. “Ini belum dengan pembelajaran online, karena saya pikir lebih banyak orang tua yang mengerjakan soal kemudian difoto dan dikirim,” singgungnya. Yan lantas berpikir satu solusi yang bisa diberikan adalah perlu kebijakan yang lebih membumi. Ini dimulai dari guru untuk memahami budaya anak setempat agar dari budaya anak ini dilanjutkan dengan metode pembelajaran yang dianggap cocok. “Kalau semua dipukul rata saya pikir sulit jadi perlu mencari metode yang tepat dan saya lebih setuju gurunya dulu yang diberdayakan,” imbuhnya. (ade/wen) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Berita Terbaru

Artikel Lainnya