Saturday, April 27, 2024
31.7 C
Jayapura

Semua Sudah Jadi Dokter, Kurangi Konsumsi Berita Covid 19

Yosephina M Watofa berfoto bersama rekannya.  (Josephine For Cepos)

Catatan Psikologi Klinis yang Jadi Rekomendasi Kepada Warga Terkait Informasi Covid 19

Paparan terkait Covid 19 nyata menimbulkan kekhawatiran. Papua sempat bertahan tiga minggu akhirnya jebol setelah dua pasien di Merauke dinyatakan positif. Semua dipusingkan tapi mungkin bisa menyimak catatan ringan berkaitan dengan psikologi 

Laporan : Abdel Gamel Naser 

Informasi soal covid 19 di media sosial berseliweran tiap detik. Puluhan bahkan ratusan jenis informasi yang bisa diupdate. Bisa dibayangkan capeknya Hp yang terus dipaksa untuk mencaritahu sana sini. Belum lagi dengan waktu yang habis hanya untuk tongkrongin perkembangan terbaru. Ada banyak ragam berita yang ditawarkan, mulai dari jumlah pasien yang positif yang umlahya terus bertambah, jumlah korban yang meninggal, jumlah pasien dalam pengawasan, penanganan covid yang banyak mengalami pertentangan hingga berita hoax yang juga dipakai untuk menambah kepanikan. 

 Dari banyaknya ragam berita covid ini menurut psikologi klinis, Yosefina M Watofa P.Si agar masyarakat tak lagi terlalu ngotot mencari informasi terkait Covid 19. Ia menyebut informasi yang dibutuhkan warga sudah cukup bahkan melebihi sehingga perlu menurunkan rasa ingin tahu soal Corona. Semua sudah menjadi ahli bahkan melebihi dokter mungkin. Semua juga sudah menjadi wartawan yang terus ikut menyebar informasi dan semua sudah menjadi penasehat ulung untuk memperhatikan kesehatan orang lain. 

 Ini yang kata Yosefine cukup berbahaya sebab ketika seseorang terus menerus dicekoki dengan berita  tertentu apalagi yang sifatnya mengkhawatirkan maka hal tersebut akan mempengaruhi imun tubuh. “Saya pikir masyarakat jangan terlalu kepo dengan terus menerus mencari informasi tentang covid. Dokter sendiri hanya mencari bahan atau informasi yang ia butuhkan sebab penanganannya sudah jelas harus seperti apa dan tidak perlu terlalu sibuk dengan selalu menggali, nanti malah terpapar dengan kekhawatiran yang berlebihan dan akhirnya berdampak pada imun,” kata Yosefine 

Baca Juga :  Kasus Covid-19 Meningkat, Polresta Cek Distributor Tabung Oksigen

 Ia menyinggung bahwa saat ini terlalu banyak orang ingin  selalu tahun melebihi tenaga medis  dan jika ini tak dibendung maka informasi covid 19 justru akan memberi efek negatif. “Dan pastinya akan mempengaruhi dan menurunkan imun tubuh,”  paparnya. Jika ini terjadi maka akan banyak orang membutuhkan assesment awal dan konseling serta relaksasi karena dipastikan akan menimbulkan kecemasan. Yosefine berpendapat bahwa dari cara berfikir justru akan memberi pengaruh menimbulkan rasa cemas apalagi informasi yang diterima tanpa memiliki pengetahuan lain alias ditelan mentah-mentah.

 “Kalau sudah mengetahui bagaimana cara penyebarannya, bagaimana mengantisipasinya dan bagaimana cara mudah untuk menjauhinya saya  pikir itu sudah cukup. Masyarakat cukup mengetahui itu dan tak perlu terlalu ngotot dengan informasi lain, toh selama ini ada pembatasan sehingga tak bisa bebas beraktifitas juga,” tambahnya. Ia  memastikan jika selalu mencari informasi soal covid maka akan muncul ketakutan hingga memunculkan stigma kepada mereka yang dinyatakan positif. Efek selanjutnya adalah muncul isu, stigma, bully dan lainnya yang justru menyudutkan pasien positif hingga mempengaruhi mental.

Baca Juga :  Potensi Hujan Ringan Hingga Lebat Masih Terjadi di Papua

 “Padalah pasien positif ini butuh spirit,  butuh semangat dan dukungan  dalam melawan penyakitnya. Bukan dijauhi apalagi di bully karena akan merusak mental,” imbuhnya. Ia memberi contoh situasi yang sedikit bertolak belakang dampak dari stigma yang muncul  dimana di Jayawijaya ada petugas medis yang mendapat  bentuk diskriminasi dari seorang warga sementara situasi sebaliknya di Di cimahi Jawa Barat warga justru berlapang dada membantu menyuplai makanan dan kebutuhan pokok selama pasien yang dinyatakan positif ini melakukan isolasi mandiri. 

 “Awalnya ada kepanikan namun setelah memahami, warga justru bantu. Warga bergantian membantu sehingga pasien yang positif ini tak perlu keluar rumah, ia mengisolasi diri hingga waktunya. Ini berbeda dengan disini yang justru diwaspadai dan dijauhi,” jelas Watofa. Di Cimahi kata dia, bantuan juga diberikan oleh mereka yang mampu, tak perlu muluk-muluk sayur, pisang pepaya dan bukan semuanya beras maupun mie instan. “Nah di Jayapura justru lebih banyak ditanggung pemerintah. Kalaupun ada biasa dilakukan untuk kelompok masyarakatnya sendiri khususnya bagi mereka yang mampu tentu lebih baik. Imun kedua pihak baik yang membantu maupun yang terbantu akan sama-sama baik,” pungkasnya. (*/wen)

Yosephina M Watofa berfoto bersama rekannya.  (Josephine For Cepos)

Catatan Psikologi Klinis yang Jadi Rekomendasi Kepada Warga Terkait Informasi Covid 19

Paparan terkait Covid 19 nyata menimbulkan kekhawatiran. Papua sempat bertahan tiga minggu akhirnya jebol setelah dua pasien di Merauke dinyatakan positif. Semua dipusingkan tapi mungkin bisa menyimak catatan ringan berkaitan dengan psikologi 

Laporan : Abdel Gamel Naser 

Informasi soal covid 19 di media sosial berseliweran tiap detik. Puluhan bahkan ratusan jenis informasi yang bisa diupdate. Bisa dibayangkan capeknya Hp yang terus dipaksa untuk mencaritahu sana sini. Belum lagi dengan waktu yang habis hanya untuk tongkrongin perkembangan terbaru. Ada banyak ragam berita yang ditawarkan, mulai dari jumlah pasien yang positif yang umlahya terus bertambah, jumlah korban yang meninggal, jumlah pasien dalam pengawasan, penanganan covid yang banyak mengalami pertentangan hingga berita hoax yang juga dipakai untuk menambah kepanikan. 

 Dari banyaknya ragam berita covid ini menurut psikologi klinis, Yosefina M Watofa P.Si agar masyarakat tak lagi terlalu ngotot mencari informasi terkait Covid 19. Ia menyebut informasi yang dibutuhkan warga sudah cukup bahkan melebihi sehingga perlu menurunkan rasa ingin tahu soal Corona. Semua sudah menjadi ahli bahkan melebihi dokter mungkin. Semua juga sudah menjadi wartawan yang terus ikut menyebar informasi dan semua sudah menjadi penasehat ulung untuk memperhatikan kesehatan orang lain. 

 Ini yang kata Yosefine cukup berbahaya sebab ketika seseorang terus menerus dicekoki dengan berita  tertentu apalagi yang sifatnya mengkhawatirkan maka hal tersebut akan mempengaruhi imun tubuh. “Saya pikir masyarakat jangan terlalu kepo dengan terus menerus mencari informasi tentang covid. Dokter sendiri hanya mencari bahan atau informasi yang ia butuhkan sebab penanganannya sudah jelas harus seperti apa dan tidak perlu terlalu sibuk dengan selalu menggali, nanti malah terpapar dengan kekhawatiran yang berlebihan dan akhirnya berdampak pada imun,” kata Yosefine 

Baca Juga :  Kasus Covid-19 Meningkat, Polresta Cek Distributor Tabung Oksigen

 Ia menyinggung bahwa saat ini terlalu banyak orang ingin  selalu tahun melebihi tenaga medis  dan jika ini tak dibendung maka informasi covid 19 justru akan memberi efek negatif. “Dan pastinya akan mempengaruhi dan menurunkan imun tubuh,”  paparnya. Jika ini terjadi maka akan banyak orang membutuhkan assesment awal dan konseling serta relaksasi karena dipastikan akan menimbulkan kecemasan. Yosefine berpendapat bahwa dari cara berfikir justru akan memberi pengaruh menimbulkan rasa cemas apalagi informasi yang diterima tanpa memiliki pengetahuan lain alias ditelan mentah-mentah.

 “Kalau sudah mengetahui bagaimana cara penyebarannya, bagaimana mengantisipasinya dan bagaimana cara mudah untuk menjauhinya saya  pikir itu sudah cukup. Masyarakat cukup mengetahui itu dan tak perlu terlalu ngotot dengan informasi lain, toh selama ini ada pembatasan sehingga tak bisa bebas beraktifitas juga,” tambahnya. Ia  memastikan jika selalu mencari informasi soal covid maka akan muncul ketakutan hingga memunculkan stigma kepada mereka yang dinyatakan positif. Efek selanjutnya adalah muncul isu, stigma, bully dan lainnya yang justru menyudutkan pasien positif hingga mempengaruhi mental.

Baca Juga :  Miliki Dedikasi, 16 Personel Polresta Terima Penghargaan

 “Padalah pasien positif ini butuh spirit,  butuh semangat dan dukungan  dalam melawan penyakitnya. Bukan dijauhi apalagi di bully karena akan merusak mental,” imbuhnya. Ia memberi contoh situasi yang sedikit bertolak belakang dampak dari stigma yang muncul  dimana di Jayawijaya ada petugas medis yang mendapat  bentuk diskriminasi dari seorang warga sementara situasi sebaliknya di Di cimahi Jawa Barat warga justru berlapang dada membantu menyuplai makanan dan kebutuhan pokok selama pasien yang dinyatakan positif ini melakukan isolasi mandiri. 

 “Awalnya ada kepanikan namun setelah memahami, warga justru bantu. Warga bergantian membantu sehingga pasien yang positif ini tak perlu keluar rumah, ia mengisolasi diri hingga waktunya. Ini berbeda dengan disini yang justru diwaspadai dan dijauhi,” jelas Watofa. Di Cimahi kata dia, bantuan juga diberikan oleh mereka yang mampu, tak perlu muluk-muluk sayur, pisang pepaya dan bukan semuanya beras maupun mie instan. “Nah di Jayapura justru lebih banyak ditanggung pemerintah. Kalaupun ada biasa dilakukan untuk kelompok masyarakatnya sendiri khususnya bagi mereka yang mampu tentu lebih baik. Imun kedua pihak baik yang membantu maupun yang terbantu akan sama-sama baik,” pungkasnya. (*/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya