Namun, perlu dipahami bahwa hak keuangan DPRD, termasuk tunjangan, merupakan hak normatif yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa pimpinan dan anggota DPRD berhak memperoleh tunjangan.
“Hak tersebut kemudian diperinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan PP No. 1 Tahun 2023 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, yang berlaku nasional dan bersifat mengikat,” jelas Lily dalam keterangan tertulisnya kepada Cenderawasih Pos, Kamis (12/9).
Artinya kata Lily, kepala daerah tidak memiliki kewenangan untuk memangkas atau menghapus tunjangan DPRD secara sepihak, sebab hal itu akan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Meski demikian, ruang politik dan strategi pengelolaan anggaran tetap terbuka.
Lebih jauh, melalui UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), ditegaskan bahwa pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) harus memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, dan kemampuan fiskal daerah.
Dengan dasar inilah kepala daerah masih dapat mengajak DPRD untuk bersama-sama melakukan penyesuaian dalam penggunaan anggaran, misalnya dengan menekankan skala prioritas, menunda belanja yang kurang mendesak, atau membatasi pembengkakan belanja operasional. Dengan demikian, tunjangan DPRD tidak dapat dijadikan “alat tekan” secara hukum.
Akan tetapi, keberadaan pos belanja DPRD tetap bisa menjadi pintu masuk bagi kepala daerah untuk membangun kesadaran kolektif bahwa keterbatasan fiskal daerah menuntut komitmen bersama.
“Efisiensi bukanlah upaya memangkas hak, melainkan cara memastikan agar APBD lebih berpihak pada kepentingan rakyat luas,” ujarnya.