JAYAPURA-Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Cahyo Pamungkas mengatakan kebijakan pemekaran Papua yang terbaru akan mendorong ketidakpercayaan Papua yang meluas kepada pemerintah pusat dan akan semakin menyulitkan negara dalam mengakhiri konflik bersenjata Papua.
Menurutnya, pemekaran provinsi Papua yang dibuat oleh pemerintah pusat telah ditolak oleh orang asli Papua pada 1999, tetapi tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003, dan dilegalkan pada tahun 2021. Karena itu pihanya juga meyayangkan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang telah menyetujui atas rancangan undang-undang pembentukan tiga provinsi baru di Papua.
“Pemekaran ‘top down’ yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,” kata Cahyo yang juga merupakan anggota Jaringan Damai Papua (JDP).
“Siklus kekerasan politik di Papua telah menimbulkan banyak korban sipil dan pengungsian. Revisi kedua UU Otsus Papua dan kebijakan pemekaran provinsi ini telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Akibatnya, orang asli Papua semakin merasakan tidak adanya rasa aman dan memperkuat memoria passionis mereka atas pengalaman kelam masa lalu,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Public Virtue Miya Irawati menekankan jika pemerintah seharusnya membatalkan atau setidaknya menunda rencana pemekaran sampai ada putusan MK perihal gugatan revisi UU Otsus Papua yang dilayangkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Kami juga mendesak Pemerintah membatalkan rencana pembentukan provinsi baru di Papua atau setidaknya menunda rencana tersebut sampai ada putusan MK pada beberapa bulan mendatang. Ini adalah kemunduran demokrasi di Papua. Alih-alih menghormati semangat otonomi khusus, pemerintah justru melakukan resentralisasi politik pemerintahan daerah,” pungkas Miya. (oel/tri)