Seharusnya Ada 16 Hakim, tapi Saat ini Hanya 11 Hakim
JAYAPURA-Hingga Agustus 2024 Pengadilan Negeri (PN) Jayapura menangani 1163 perkara. Adapun perkara yang ditangani meliputi perkara gugatan biasa sebanyak 178 perkara.
Kemudian perkara permohonan, atau tanpa pihak lawan 579 perkara. Perkara gugatan sederhana atau perbuatan melawan hukum yang nilai kerugian negara mencapai Rp 500 juta, ada 52 perkara.
Sementara itu perkara gugatan khusus meliputi gugatan peralihan hubungan industrial (PHI) berkas yang masuk 28 perkara, dan perkara pidana sudah 288 perkara, serta pidana anak 16 perkara, dan juga perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) terdapat 9 perkara. Dari jumlah yang ada, perkara sisa tahun 2023 sebanyak 386 perkara.
Dari seluruh perkara yang masuk yang telah selesai ada 1090 berkas perkara,” jelas Derman P. Nababan, Senin (5/8) kemarin.
Lebih lanjut untuk perkara perdata kasus yang paling menonjol adalah perkara perceraian. Adapun junlah berkas yang masuk hingga agustus ini terdapat 91 berkas perkara.
 Sementara perkara pidana, kasus yang paling menonjol kata Nababan adalah perkara narkotika. “Dari 288 perkara pidana yang masuk, perkara narkotikanya 100 perkara,” bebernya.
Perkara pidana biasa, ada 15 perkara, dari jumlah yang ada rata-rata korban anak-anak, sementara pelaku orang dewasa. Sementara pelaku anak anak rata-rata kasus pencurian. “Selain itu juga penganiayaan itu yang menonjol untuk perkara pidana biasa,” jelas Derman.
Dikatakan, jika dikalkulasikan total perkara setiap tahunnya yang masuk dimana tahun 2023 lalu pihaknya menangani hampir lebih dari 2000 perkara, maka setiap bulannya berkas perkara yang masuk di PN Jayapura 166 perkara.
Kondisi ini tidak selaras dengan jumlah hakim di PN Jayapura. Dimana saat ini hakim di PN Jayapura tersisa 11 orang. “Kadang kala kewalahan kita disitu, karena jumlah perkara banyak tidak sebanding dengan jumlah hakim,” ujarnya.
Mestinya dengan status sebagai pengadilan kelas 1, di PN Jayapura harus memiliki 16 orang hakim karir. Tapi dengan kondisi yang ada saat ini, maka kadang kala penyelesaian perkara tidak maksimal.
Secara aturan, satu perkara harus diputus tempo waktu minimal 5 bulan, tapi, kita di PN berusaha memaksimal mungkin setiap perkara harus diputus dalam tempo waktu 3 bulan, kondisi ini yang membuat hakim kita cukup kewalahan menangani perkara,” ungkap Derman.
Diapun mengatakan Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 7 Tahun 2022, tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.
Salah satu perubahan yang ada dalam PERMA tersebut adalah terkait pemanggilan sita atau eksekusi kepada pihak yang berperkara. Didalam PERMA tersebut pemanggilan sita atau eksekusi secara tercatat, bukan lagi dilakukan oleh juru sita, tapi akan dilakukan melalui pihak PT Pos, dimana pihak PT Pos akan mengirimkan surat sita tersebut kepada para pihak yang berperkara.
“Jadi kalau selama ini Jurusita PN yang mengirim surat sita secara langsung kepada pihak berperkara, tapi dengan adanya perubahan PERMA ini, nantinya petugas Kantor Pos yang akan mengirimkan surat itu kepada pihak yang berperkara,” jelasnya.
Dia mengatakan, perubahan itu dilakukan untuk selain mengurangi beban biaya bagi pihak yang berperkara. Tapi juga, akurasi waktu pemanggilannya akan terdeteksi, serta sangat valid, hal lain dari perubahan tersebut, walaupun tidak dilakukan langsung oleh Jurus sita, maupun Juru Sita Pengganti Pengadilan, tapi pihak PN bisa mendeteksi sejauh mana surat panggilan itu dilakukan oleh pihak Kantor Pos.
“Kami (PN) bisa memantau secara elektronik, status surat pangilan sita itu apakah sudah dikirim ke pihak berperkara atau masih di pihak Kantor pos, itulah keunggulan dari perubahn sistem ini,” kata Nababan. (rel/wen)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos