Thursday, April 25, 2024
31.7 C
Jayapura

Pergub dan Surat Edaran Tak Bisa Batasi Rakyat

Basir Rorohmana

Pemerintah Diminta Cepat Tuntaskan Perdasi

JAYAPURA – Dari kacamata hukum beberapa kebijakan yang diambil pemerintah provinsi dalam penanganan covid termasuk yang paling dirasa adalah menyangkut pembatasan aktifitas telah dikonfirmasi bahwa hal tersebut tak memiliki dasar hukum. Termasuk istilah Pembatasan Sosial Diperluas dan Diperketat atau PSDD juga tak tahu darimana munculnya namun selalu didengungkan pemerintah provinsi yang kemudian diikuti oleh pemerintah ditingkat kabupaten.

 Hingga akhirnya muncul lagi istilah relaksasi yang muncul  dalam rapat forkopimda, Rabu (3/6) dan semakin membingungkan. Terkait semua kebijakan yang diambil, pemerintah disarankan untuk segera menggodok lahirnya sebuah regulasi yang nantinya dipakai sebagai payung hukum yang dalam menerjemahkan semua kebijakan yang diambil. Pasalnya selama ini penyekatan, pembatasan dan lain sebagainya tidak memiliki   payung hukum meski ada pasal yang dituangkan dalam undang – undang Otsus pasal 59 ayat 2 tentang kesehatan. 

Baca Juga :  Gempa Bumi Bisa Berpotensi Picu Kebakaran

 “Agak riskan juga sebab perpanjangan masih terjadi dan jika sabarnya masyarakat telah sampai diambang batas maka ia bisa melawan. Melawan karena sulit untuk mendapatkan hak-haknya,” beber akademisi Uncen, DR Basir Rorohmana di Abepura belum lama ini. Demikian pula soal surat edaran maupun peraturan gubernur dimana kata Basir surat edaran adalah peraturan kebijakan dan bukan aturan yang sifatnya mengatur umum. Dipertegas Basir bahwa surat edaran tak boleh ada sanksi  karena tak masuk dalam hirarki perundang – undangan.

 “Tak tak boleh ada sanksi karena sifatnya administratif. Begitu juga dengan Pergub dimana Pergub tak bisa membatasi rakyat kecuali peraturan daerah yang masuk dalam hirarki perundang – undangan dan bisa memberikan mandat delegasi untuk pergub mengatur lebih lanjut dan ingat pergub tidak bisa membatasi rakyat,” kata Basir. Jika ingin membatasi rakyat maka harus berbicara  dengan wakilnya, yakni DPR  dan  yang bisa bicara dengan DPR adalah Perda. “Saat ini banyak yang salah kaprah contohnya Pergub Gubernur DKI Jakarta  41 tahun 2020 dimana Ombudsman sudah menggugat itu dan kini masyarakat paham karena itu cuma Pergub,” tambahnya.

Baca Juga :  Soal Pengangkatan DPRK, Tunggu Sinkronisasi Aturan

 Disinggung soal daerah lain  yang tak bicara Perda, kata Basir di Papua sudah ada UU Otsus yang menjadi payung di pasal 59 ayat 2 UU Otsus Papua BAB XVII tentang Kesehatan dimana pemerintah boleh membuat  Perdasi dan bukan Perdasus mengingat  kondisinya berbicara lebih umum, bukan hanya orang asli Papua. “Jadi saran kami sebaiknya Perdasi ini segera dibuatkan agar semua memiliki landasan hukum,” tandasnya. (ade/wen)

Basir Rorohmana

Pemerintah Diminta Cepat Tuntaskan Perdasi

JAYAPURA – Dari kacamata hukum beberapa kebijakan yang diambil pemerintah provinsi dalam penanganan covid termasuk yang paling dirasa adalah menyangkut pembatasan aktifitas telah dikonfirmasi bahwa hal tersebut tak memiliki dasar hukum. Termasuk istilah Pembatasan Sosial Diperluas dan Diperketat atau PSDD juga tak tahu darimana munculnya namun selalu didengungkan pemerintah provinsi yang kemudian diikuti oleh pemerintah ditingkat kabupaten.

 Hingga akhirnya muncul lagi istilah relaksasi yang muncul  dalam rapat forkopimda, Rabu (3/6) dan semakin membingungkan. Terkait semua kebijakan yang diambil, pemerintah disarankan untuk segera menggodok lahirnya sebuah regulasi yang nantinya dipakai sebagai payung hukum yang dalam menerjemahkan semua kebijakan yang diambil. Pasalnya selama ini penyekatan, pembatasan dan lain sebagainya tidak memiliki   payung hukum meski ada pasal yang dituangkan dalam undang – undang Otsus pasal 59 ayat 2 tentang kesehatan. 

Baca Juga :  Soal Pengangkatan DPRK, Tunggu Sinkronisasi Aturan

 “Agak riskan juga sebab perpanjangan masih terjadi dan jika sabarnya masyarakat telah sampai diambang batas maka ia bisa melawan. Melawan karena sulit untuk mendapatkan hak-haknya,” beber akademisi Uncen, DR Basir Rorohmana di Abepura belum lama ini. Demikian pula soal surat edaran maupun peraturan gubernur dimana kata Basir surat edaran adalah peraturan kebijakan dan bukan aturan yang sifatnya mengatur umum. Dipertegas Basir bahwa surat edaran tak boleh ada sanksi  karena tak masuk dalam hirarki perundang – undangan.

 “Tak tak boleh ada sanksi karena sifatnya administratif. Begitu juga dengan Pergub dimana Pergub tak bisa membatasi rakyat kecuali peraturan daerah yang masuk dalam hirarki perundang – undangan dan bisa memberikan mandat delegasi untuk pergub mengatur lebih lanjut dan ingat pergub tidak bisa membatasi rakyat,” kata Basir. Jika ingin membatasi rakyat maka harus berbicara  dengan wakilnya, yakni DPR  dan  yang bisa bicara dengan DPR adalah Perda. “Saat ini banyak yang salah kaprah contohnya Pergub Gubernur DKI Jakarta  41 tahun 2020 dimana Ombudsman sudah menggugat itu dan kini masyarakat paham karena itu cuma Pergub,” tambahnya.

Baca Juga :  Kapolsek Akui Banyak Warga yang Bandel

 Disinggung soal daerah lain  yang tak bicara Perda, kata Basir di Papua sudah ada UU Otsus yang menjadi payung di pasal 59 ayat 2 UU Otsus Papua BAB XVII tentang Kesehatan dimana pemerintah boleh membuat  Perdasi dan bukan Perdasus mengingat  kondisinya berbicara lebih umum, bukan hanya orang asli Papua. “Jadi saran kami sebaiknya Perdasi ini segera dibuatkan agar semua memiliki landasan hukum,” tandasnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya