Tuesday, April 29, 2025
27.7 C
Jayapura

DAP : Masyarakat Adat Makin Termarginal di Tengah Otsus

Leonard J Imbiri (Gamel Cepos)

JAYAPURA – Pleno XV Dewan Adat Papua (DAP) tahun 2021 menghasilkan sejmlah kesimpulan yang berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua dan dampak terhadap masyarakat adat itu sendiri. Jika ditarik kesimpulannya yang tertuang dari pokok – pokok pandangan DAP adalah semakin termarginalnya masyarakat adat di tengah kebijakan Otonomi Khusus. Dengan catatan ini DAP  menganggap bahwa pemerintah tidak serius dan konsisten dalam melaksanakan UU Otsus sehingga DAP berpandangan menyatakan menolak dan mengembalikan Otsus. 

 Ini sama persis dengan hasil komunike DAP pada 12 Agustus 2005 dan rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP)  pada 16 Juni 2010 yang disampaikan kepada DPR Papua. DAP juga menyampaikan hasil pleno XV DAP berkaitan dengan pokok – pokok pandangan DAP tentang revisi  kedua UU Otsus Papua termasuk situasi terkini di tanah Papua. Sekum DAP, Leonard J Imbiri  menyampaikan bahwa DAP menilai selama 20 tahun penyelenggaraan Otsus di Papua dan kini memasuki  revisi pertama dalam bentuk UU Nomor 35 tahun 2008 tidak terlalu memberi dampak pada masyarakat adat Papua padahal dalam UU Otsus ada kalimat adat yang disebut sebanyak 109 kali, adat istiadat sebanyak 4 kali, masyarakat hukum adat sebanyak 32 kali, hak ulayat 18 kali dan kultur sebanyak 5 kali. 

 Dari banyaknya tulisan ini mencerminkan penghargaan yang tinggi kepada keberadaan adat. Hanya saja dalam implementasinya adat justru terabaikan. Laporan yang dibacakan Leonard Imbiri ini ditandatangani Willem Zaman Bonay selaku Ketua I DAP, George Weyasu selaku Ketua III, Weynand Watori selaku Wakil Ketua I dan Jack Kasimat selaku Sekretaris I. DAP menilai hingga kini tak ada upaya nyata yang dilakukan negara serta pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi hak – hak masyarakat adat, baik atas tanah, hutan, air dan sumber daya alam lainnya. Masyarakat adat di tengah keberlangsungan Otsus justru semakin termarginal bahkan di atas tanahnya sendiri akibat pencaplokan tanah adat atas nama pembangunan dan terjadi praktek pemberian uang dan sedikit barang kemudian tanah dan hutan berpindah tangan selamanya. Ini berdampak pada kebingungan bagaimana masyarakat adat bisa tetap eksis. 

Baca Juga :  Bawa 85 Paket Ganja, Warga PNG Terancam 20 Tahun Penjara

 “Selain itu, pemerintah pusat dan daerah menyatakan Otsus telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat namun indikator yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan hal yang bertolak belakang. IPM yang naik hanya di daerah perkotaan yang masyarakat adatnya menjadi minoritas. Sementara di kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah orang asli Papua, bisa dibilang IPM nya menjadi terendah di Papua bahkan dunia,” singgung Leo Imbiri di Sekretariat DAP di Abepura, Sabtu (29/5). 

DAP juga mencatat focus dari Otsus seharusnya pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan namun hingga 20 tahun ini ternyata masih jauh dari harapan. Begitu juga dengan aspek kesehatan yang dianggap masih buruk. 

 Selain itu, lanjut pria yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Dusun Papua (Yadupa) ini, DAP mendapat laporan dari lembaga HAM di Papua yang menyampaikan kasus pelanggaran HAM di era Otsus mengalami kenaikan. 

 Ia menyebut pada tahun 2019 terdapat 32 kasus pelanggaran HAM yang kemudian pada 2020 meningkat menjadi 51 kasus. Selain itu lokasinya juga meluas yang tidak hanya di daerah konflik melainkan sudah terjadi di Nduga, Puncak Jaya, Puncak, Nabire, Tambrauw maupun Intan Jaya. 

 Proyek pembangunan bandara antariksa di Biak Utara juga dikatakan tidak  melalui satu konsultasi yang menggunakan prinsip Free Pior and Informed Consent dengan pemilik tanah  sehingga menimbulkan keresahan dan peluang konflik sesama masyarakat adat. “Dampak dari proyek ini juga tak lain semakin termarjinalisasinya masyarakat adat terhadap akses tanah dan sumber penghidupannya,” kata Leo. DAP juga ikut  mengkritisi bahwa amanat Otsus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM melalui pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi ternyata tidak juga ditindaklanjuti.

Baca Juga :  Pemerintah DOB Diingatkan Soal Pergub

Dari semua catatan di atas, DAP memberi seruan untuk dilakukan, pertama, mendesak pemerintah dan DPR RI agar  tidak tergesa – gesa melakukan revisi kedua tentang Otsus bagi Papua. Pemerintah dan DPR harus menjawab masalah –  masalah yang dikemukakan di atas dan sebagai masalah laten lainnya yang dialami orang asli Papua selama puluhan tahun.

 Kedua mendesak pemerintah segera melakukan dialog yang bermartabat dengan masyarakat adat Papua dengan melibatkan semua  pihak yang berkompeten. Dialog dilakukan dengan kepala dingin dan hati yang terbuka menilai evektifitas keberhasilan pelaksanaan Otsus selama ini. Ketiga Presiden Joko Widodo dengan kewenangan yang dimiliki bisa membuat kebijakan yang menjawab pergumulan masyarakat adat Papua selama ini. 

 “Yang keempat, Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota agar segera membentuk Peraturan Daerah yang mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat dan menjamin kepemilikan masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam pada wilayah hukum adatnya masing-masing,” beber Leo. Kelima, Terkait dengan berbagai turbelensi keamanan dan politik yang terjadi selama ini, yang eskalasinya cenderung meningkat. 

 Keenam, Dewan Adat Papua mendesak pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Biak Numfor untuk menghentikan pembangunan bandar antariksa yang menghilangkan hak Masyarakat Adat Biak Utara atas tanah adat dan kemungkinan terjadi konflik diantara Masyarakat Adat Biak Numfor. Selain itu, Dewan Adat Papua mendesak pihak pemilik proyek bandar antariksa, Alon Muskh- USA untuk dapat bertemu Masyarakat Adat Biak untuk mengklarifikasi proyek dan memastikan adanya jaminan terhadap keberlanjutan hidup Masyarakat adat pemilik tanah tersebut. 

“Dan yang terakhir, menyerukan kepada seluruh masyarakat adat Papua untuk tetap menggunakan cara-cara damai dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Papua dan eksistansi serta keselamatan anak-cucu di atas tanah sendiri dengan jujur melakasanakan Manifesto Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Papua,” tutupnya. (ade/wen)

Leonard J Imbiri (Gamel Cepos)

JAYAPURA – Pleno XV Dewan Adat Papua (DAP) tahun 2021 menghasilkan sejmlah kesimpulan yang berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua dan dampak terhadap masyarakat adat itu sendiri. Jika ditarik kesimpulannya yang tertuang dari pokok – pokok pandangan DAP adalah semakin termarginalnya masyarakat adat di tengah kebijakan Otonomi Khusus. Dengan catatan ini DAP  menganggap bahwa pemerintah tidak serius dan konsisten dalam melaksanakan UU Otsus sehingga DAP berpandangan menyatakan menolak dan mengembalikan Otsus. 

 Ini sama persis dengan hasil komunike DAP pada 12 Agustus 2005 dan rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP)  pada 16 Juni 2010 yang disampaikan kepada DPR Papua. DAP juga menyampaikan hasil pleno XV DAP berkaitan dengan pokok – pokok pandangan DAP tentang revisi  kedua UU Otsus Papua termasuk situasi terkini di tanah Papua. Sekum DAP, Leonard J Imbiri  menyampaikan bahwa DAP menilai selama 20 tahun penyelenggaraan Otsus di Papua dan kini memasuki  revisi pertama dalam bentuk UU Nomor 35 tahun 2008 tidak terlalu memberi dampak pada masyarakat adat Papua padahal dalam UU Otsus ada kalimat adat yang disebut sebanyak 109 kali, adat istiadat sebanyak 4 kali, masyarakat hukum adat sebanyak 32 kali, hak ulayat 18 kali dan kultur sebanyak 5 kali. 

 Dari banyaknya tulisan ini mencerminkan penghargaan yang tinggi kepada keberadaan adat. Hanya saja dalam implementasinya adat justru terabaikan. Laporan yang dibacakan Leonard Imbiri ini ditandatangani Willem Zaman Bonay selaku Ketua I DAP, George Weyasu selaku Ketua III, Weynand Watori selaku Wakil Ketua I dan Jack Kasimat selaku Sekretaris I. DAP menilai hingga kini tak ada upaya nyata yang dilakukan negara serta pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi hak – hak masyarakat adat, baik atas tanah, hutan, air dan sumber daya alam lainnya. Masyarakat adat di tengah keberlangsungan Otsus justru semakin termarginal bahkan di atas tanahnya sendiri akibat pencaplokan tanah adat atas nama pembangunan dan terjadi praktek pemberian uang dan sedikit barang kemudian tanah dan hutan berpindah tangan selamanya. Ini berdampak pada kebingungan bagaimana masyarakat adat bisa tetap eksis. 

Baca Juga :  Frans Pekey: Penting Untuk Penguatan Lembaga Adat 

 “Selain itu, pemerintah pusat dan daerah menyatakan Otsus telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat namun indikator yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan hal yang bertolak belakang. IPM yang naik hanya di daerah perkotaan yang masyarakat adatnya menjadi minoritas. Sementara di kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah orang asli Papua, bisa dibilang IPM nya menjadi terendah di Papua bahkan dunia,” singgung Leo Imbiri di Sekretariat DAP di Abepura, Sabtu (29/5). 

DAP juga mencatat focus dari Otsus seharusnya pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan namun hingga 20 tahun ini ternyata masih jauh dari harapan. Begitu juga dengan aspek kesehatan yang dianggap masih buruk. 

 Selain itu, lanjut pria yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Dusun Papua (Yadupa) ini, DAP mendapat laporan dari lembaga HAM di Papua yang menyampaikan kasus pelanggaran HAM di era Otsus mengalami kenaikan. 

 Ia menyebut pada tahun 2019 terdapat 32 kasus pelanggaran HAM yang kemudian pada 2020 meningkat menjadi 51 kasus. Selain itu lokasinya juga meluas yang tidak hanya di daerah konflik melainkan sudah terjadi di Nduga, Puncak Jaya, Puncak, Nabire, Tambrauw maupun Intan Jaya. 

 Proyek pembangunan bandara antariksa di Biak Utara juga dikatakan tidak  melalui satu konsultasi yang menggunakan prinsip Free Pior and Informed Consent dengan pemilik tanah  sehingga menimbulkan keresahan dan peluang konflik sesama masyarakat adat. “Dampak dari proyek ini juga tak lain semakin termarjinalisasinya masyarakat adat terhadap akses tanah dan sumber penghidupannya,” kata Leo. DAP juga ikut  mengkritisi bahwa amanat Otsus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM melalui pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi ternyata tidak juga ditindaklanjuti.

Baca Juga :  Sanksi Berat Bagi yang “Bermain” Senjata dan Amunisi

Dari semua catatan di atas, DAP memberi seruan untuk dilakukan, pertama, mendesak pemerintah dan DPR RI agar  tidak tergesa – gesa melakukan revisi kedua tentang Otsus bagi Papua. Pemerintah dan DPR harus menjawab masalah –  masalah yang dikemukakan di atas dan sebagai masalah laten lainnya yang dialami orang asli Papua selama puluhan tahun.

 Kedua mendesak pemerintah segera melakukan dialog yang bermartabat dengan masyarakat adat Papua dengan melibatkan semua  pihak yang berkompeten. Dialog dilakukan dengan kepala dingin dan hati yang terbuka menilai evektifitas keberhasilan pelaksanaan Otsus selama ini. Ketiga Presiden Joko Widodo dengan kewenangan yang dimiliki bisa membuat kebijakan yang menjawab pergumulan masyarakat adat Papua selama ini. 

 “Yang keempat, Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota agar segera membentuk Peraturan Daerah yang mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat dan menjamin kepemilikan masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam pada wilayah hukum adatnya masing-masing,” beber Leo. Kelima, Terkait dengan berbagai turbelensi keamanan dan politik yang terjadi selama ini, yang eskalasinya cenderung meningkat. 

 Keenam, Dewan Adat Papua mendesak pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Biak Numfor untuk menghentikan pembangunan bandar antariksa yang menghilangkan hak Masyarakat Adat Biak Utara atas tanah adat dan kemungkinan terjadi konflik diantara Masyarakat Adat Biak Numfor. Selain itu, Dewan Adat Papua mendesak pihak pemilik proyek bandar antariksa, Alon Muskh- USA untuk dapat bertemu Masyarakat Adat Biak untuk mengklarifikasi proyek dan memastikan adanya jaminan terhadap keberlanjutan hidup Masyarakat adat pemilik tanah tersebut. 

“Dan yang terakhir, menyerukan kepada seluruh masyarakat adat Papua untuk tetap menggunakan cara-cara damai dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Papua dan eksistansi serta keselamatan anak-cucu di atas tanah sendiri dengan jujur melakasanakan Manifesto Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Papua,” tutupnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya