“Seperti dulu ada Kamoro Kakuru, dua tahun saja 2002-2003 saja sudah berakhir. Tempatnya di Lopong, banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri yang datang. Kalau mau tampil sembarang itu agak sulit, kesulitannya banyak, bisa karena tidak ada event atau momennya tidak pas,” terang Dominggus saat ditemui di kediamannya, Senin (29/4/2024).
Tarian adat dari Suku Kamoro memiliki relevansi yang sejajar dengan taraf hidup masyarakat Kamoro. Namun, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, banyak pihak yang tidak lagi dapat memaknai tarian-tarian adat Suku Kamoro, terutama di kalangan muda-mudi.
Dominggus menjelaskan, seperti Tari Sukun, tari ini memiliki makna dimana para masyarakat akan menyambut hasil panen sukun dan dirayakannya dengan tarian tersebut.
Dominggus menyebut, ini dikarenakan kaum muda-mudi di zaman sekarang tidak lagi peduli untuk bertanya tentang adat dan budaya di orang-orang tuanya.
Hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat di era globalisasi.
Semua makna seolah tidak lagi tersirat tatkala tiktok dan platform sosial media lainnya mengambil alih perhatian semua kalangan di seluruh dunia.
“Dia lebih senang dengan pakaian bersih, dia tidak suka dengan coret-coretan di badan dan pakai pakaian adat (untuk menari) entah karena apa,” sesal Dominggus.
Faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi muda-mudi Kamoro sehingga tidak adanya ketertarikan menggali lebih dalam adat dan budayanya sendiri dikarenakan masalah mentalitas.
Anak-anak Kamoro punya kebiasaan tidak percaya diri yang mengganggu minat belajarnya. Mereka mudah patah semangat, menyerah dan gampang untuk mundur.
“Jadi mendidik anak Kamoro itu ibarat gelas yang takut jatuh pecah. Jadi melatih anak Kamoro haris mentalitasnya disiapkan baru prestasinya,” ujar Dominggus. (mww)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos