
MERAUKE-Pemilik hak ulayat melakukan pemalangan menuntut pembayaran ganti rugi tanah eks Belanda yang diserahkan ke Pemerintah Republik Indonesia seluas 60 hektar, Kamis (5/12). Pemalangan dilakukan dengan cara membentangkan bendera merah putih raksasa di depan pintu masuk keluar terminal penumpang Bandara Mopah Merauke.
Agar penumpang yang mau berangkat di pagi hari tetap bisa masuk ke dalam terminal, Polisi terpaksa harus berdiri di depan bentangan bendera tersebut untuk memberi jalan bagi setiap penumpang yang akan berangkat.
Kabag Ops Polres Merauke AKP Erol Sudrajat, S.Sos, M.Si melalui pengeras suara minta agar bentangan bendera tersebut segera dikeluarkan. ‘Silakan mengajukan tuntutan kepada pemerintah, tapi jangan ganggu pelayanan publik. Kalau mau demo jangan di sini tapi di luar dari terminal ini karena menggangu pelayanan,” kata Kabag Ops.
Kasat Intel Iptu Budi Santoso terlihat melakukan pendekatan kepada para pendemo tersebut. Beberapa saat kemudian Kapolres Merauke AKBP Agustinus Ary Purwanto, SIK didampingi Wakapolres Kompol YS Kadang tiba dan melakukan dialog langsung dengan koordinator aksi H. Waros Gebze yang juga pemilik hak ulayat.
Setelah melakukan pendekatan, akhirnya H. Waros Gebze bersama dengan Hengky Ndiken dan sejumlah pemilik hak ulayat lainnya menemui Bupati Merauke Frederikus Gebze, SE, M.Si di kantor Bupati Merauke. Dalam pertemuan tersebut, Hengky Ndiken menjelaskan bahwa saat pertemuan beberapa waktu lalu dengan Kementerian Perhubungan di Manado, dari Kemenhub mengembalikan tanah eks Belanda tersebut kepada pemilik hak ulayat karena penguasaannya tidak jelas.
“Makanya, di Sentani, Pemerintah sudah bayar. Tapi di Merauke apa alasannya pemerintah tidak mau bayar,’’ kata Hengky Ndiken.
Mantan Anggota DPRD Kabupaten Merauke periode 2014-2019 ini menjelaskan bahwa sebenarnya, Pemerintah Pusat sudah mau membayar tanah tersebut, namun karena ada lagi surat ke Kementerian Perhubungan, sehingga pusat masih tunda pembayaran.
Karena itu, ia meminta Bupati Merauke Frederikus Gebze untuk segera membuat surat yang menyatakan tanah tersebut belum dibayar oleh pemerintah daerah. Sementara itu, bupati Merauke Frederikus Gebze menyatakan segera membuat surat ke Pemerintah Pusat yang menegaskan bahwa tanah seluas 60 hektar tersebut belum dibayar oleh Pemerintah Kabupaten Merauke, karena sudah menjadi kewenangan pusat dan memohon agar pemerintah pusat segera menyelesaikan agar masalah tanah tersebut bisa segera tuntas.
Selain itu, bupati juga menyatakan bersedia untuk memfasilitasi peradilan adat untuk menentukan pemilik sebenarnya dari tanah seluas 60 hektar tersebut yang nantinya menjadi dasar bagi pusat untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi tanah tersebut.
Karena menurut Hengky Ndiken, peradilan adat akan segera dilakukan untuk menentukan kepemilikan hak ulayat tersebut. Dengan pertemuan tersebut, pemilik hak ulayat bersedia untuk membuka palang di Bandara Mopah Merauke tersebut. Tak hanya membuka palang, pengukuran tanah seluas 60 hektar juga langsung dilakukan setelah pertemuan itu. (ulo/tri)