Belum habis duka di Koya Barat, Kota Jayapura kembali terguncang. Tapasya, gadis ceria berusia 9 tahun, menghilang begitu saja dari lingkungan padat penduduk di Dok IX, Jayapura Utara.
 Tanggal 7 April 2025 menjadi saksi bisu terakhir kali Iriyanti, sang ibu, melihat anak sulungnya itu. Tapasya, si kecil yang riang dan penuh semangat mengaji di masjid dekat rumah, saat itu sedang mencuci piring di depan rumah mereka, di Kompleks Dok IX Bawah, Distrik Jayapura Utara.
 Awalnya, tak ada yang aneh. Seperti hari-hari biasa, sepulang dari kota, Iriyanti mengira Tapasya tengah bermain dengan teman-temannya. Namun, waktu berlalu. Senja merambat jadi malam. Tapasya tak kunjung kembali. Rasa cemas mulai menyelinap, berubah menjadi kepanikan yang membuncah seiring berlalunya jam.
Sejak hari itu, keluarga dan warga sekitar terus berharap, menggantungkan doa di langit Jayapura, memohon kabar, sekecil apa pun, tentang Tapasya.Namun harapan itu diuji. Seminggu kemudian, pada 14 April 2025, sesosok jasad perempuan ditemukan di Perairan Teluk Youtefa, tanpa kepala, tangan, dan kaki.
Hingga kini identitasnya masih misterius. Kondisi jenazah yang telah membusuk membuat proses identifikasi menjadi nyaris mustahil. Isu sempat bergulir cepat yang menyebut itu Tapasya. Namun hingga kini rasa penasaran itu tak kunjung dijawab.
Berbagai langkah telah dilakukan oleh aparat. Salah satunya melakukan tes DNA kepada orang tua kandung dari Tapasya. Sampel DNA dari orang tua Tapasya diambil dan dikirim ke Jakarta untuk dicocokkan.
Meski secara logika, ada kemungkinan bahwa jenazah tersebut adalah Tapasya. Pasalnya hingga kini belum ada laporan kehilangan anak lain di Jayapura. Pihak keluarga pun mengakui adanya kemiripan pakaian yang ditemukan pada mayat itu dengan pakaian terakhir yang dikenakan Tapasya. Namun kondisi jenazah tanpa kepala, membuat identifikasi menjadi sulit.
 Karena itu, untuk memastikan perlu adanya hasil yang autentik baik dari hasil Tes DNA orang tua Tapasya maupun hasil penyidikan resmi dari aparat kepolisian. “Meskipun ada dugaan, kita tidak bisa menyimpulkan tanpa bukti akurat,” tegas Fredrickus.
 Waktu terus berjalan, tetapi jawaban tak kunjung datang. Sementara itu, luka di hati keluarga Tapasya dan juga masyarakat Jayapura kian menganga. Kasus hilangnya Tapasya, dan tragedi Nur Aulya di Koya Barat, adalah tamparan keras bagi banyak pihak. Ini bukan sekadar kisah dua keluarga yang dirundung duka. Namun cerminan retak yang menunjukkan betapa rentannya anak-anak hilang di tengah hiruk pikuk kehidupan kota.
 Kota Jayapura, seperti banyak kota lainnya, terlalu sibuk membangun gedung, jalan, dan fasilitas. Tapi di tengah gegap gempita pembangunan itu, ada yang luput membangun ruang hati, membangun jejaring sosial yang kuat, tempat dimana setiap anak dikenal, dijaga, dan dicintai bersama-sama.